5 Januari 2012

Hip Hop is Dead

Oleh : Henrikus

“We went from nuttin to somethin, bein real and not frontin
Growin up and we comin, up the ladder not bummin
Hip-Hop in the media, y’all know it’s wack
But just like them dopefiends who keep comin back”
KRS-One – “Hiphop


Beberapa akhir ini tradisi kebudayaan yang dinamanakan Hip Hop tengah berkembang pesat di Indonesia. Namun perkembangannya tidak di barengi dengan perkembangan wacana yang cukup mumpuni tentang Hip Hop itu sendiri. Jadi apabila ditelisik lebih dalam, Hip Hop yang berkembang di Indonesia adalah warisan nyata dari MTV yang berkembang sekitar awal tahun 1990an.Lahir di NY di akhir 70an, hiphop tentu saja bukan ‘Hiphop’ ketika Kool Herc membeli dua buah piringan hitam yang identik sama untuk kemudian ia putar di pesta-pesta komunitas yang haus hiburan namun tak pernah punya cukup uang untuk menyewa club. Bisa pula kalian bayangkan, hiphop bukanlah ‘Hiphop’ yang kalian kenal (apapun itu) hari ini, saat beberapa pembawa acara pesta jalanan memulai ritual MC dengan menyapa crowd dan memanfaatkan mic untuk hura-hura karena instrumen musik sukar diakses, atau mungkin pula saat sekumpulan anak muda brengsek menari kejang-kejang melawan arus dansa-dansi disco yang membosankan. Pula saat seorang bomber bernama SuperKool mengganti caps standar pada spraycan dengan sebuah fatcap untuk dapat membuat graffiti blockbuster yang kemudian hari menghiasi kereta-kereta NY di tahun-tahun sesudahnya.


Karena kita tidak sedang berada di New York circa 70-an, ketika kota itu disapu bencana ekonomi, hampir bankrut dan melewati sebuah proses transformasi sosial, politik dan budaya besar-besaran. Perkembangan teknologi dan perubahan infrastrukur yang dibarengi pula dengan pemotongan subsidi atas hampir semua pelayanan publik, tingginya angka kekerasan dan kriminalitas, rasisme akut, imigrasi besar-besaran plus penumpukan veteran perang Vietnam yang berhadapan dengan ketiadaan pekerjaan dan tempat tinggal yang cukup, semuanya meninggalkan para penghuni ghetto-ghetto di NY dalam kemiskinan sistematis dan dalam situasi ‘no-go’ dimana mereka yang diizinkan masuk adalah mereka yang tak diizinkan pula untuk keluar. Dalam kata lain, kita tidak sedang mencoba melihat fenomena graffiti lokal sama dengan cerita-cerita di NY tentang anak muda di ghetto-ghetto yang tak memiliki apapun untuk mengekspresikan diri mereka kecuali pergi ke taman-taman dan pojok-pojok kota, sedemikian rupa sehingga melahirkan tradisi memutar lagu (DJ), membacot (Rap), menari (Breakdance) dan ‘menulisi’ subway dan tembok (Graffiti). Juga saat Grand Wizard Theodore menemukan teknik scratch, membolak-balik piringan hitam. Saat itu hiphop bukanlah ‘Hiphop’, hiphop masih berupa imajinasi liar tak terkendali yang datang dari hasrat dan kebutuhan yang membebaskan di tengah segala keterbatasan.

Dari awal 80-an hingga awal 90-an hip hop masih terlihat original, liar, pembangkang, imajinatif, dan belum memiliki stigma, penilian apapun. bahkan saat itu tidak ada ketertarikan industri kapitalis yang mencoba untuk mengambil budaya ini yang hingga saat ini telah menghasilkan puluhan bahkan milliaran dollar tiap tahun. hip hop masih sebagai ide-ide liar dalam masyarakat yang belum memiliki definisi baku bahkan hip hop bukanlah hip hop hari ini. tradisi ini benar-benar muncul seperti produk kultural lainnya. hip hop lahir di tengah masyarakat yang panic, hopeless, kriminalitas tinggi, harapan hidup rendah, inflasi berlebihan, kondisi ekonomi yang tak menentu akibat perang. wajar apabila musik dalam rap juga berbicaya tentang getirnya hidup, menjadi pengedar narkoba, pembunuh. namun yang perlu di garis bawahi bahwa karena kondisi yang mendesak mereka untuk melakukan itu. bukan seperti imajinasi hip hop hari ini dengan mobil dan sound besar berdiri di atas panggung club-club mewah dikelilingi wanita dan bling-bling sambil menenggak minuman keras dan menghisap narkoba. jadi hip hop bukanlah hip hop yang seperti ini anda nikmati, dimana di pentaskan dalam acara yang mewah dengan label-label industri kapitalis. bahkan acara breakdance dengan panggung super besar luar biasa tanpa mengetahui filosofi kenapa tarian kejang-kejang itu ada.

Saat Afrika Bambaataa memulai mengorganisir komunitas para DJ, MC, Breakers dan Bombers untuk berbuat sesuatu di ghetto-ghetto mereka, hiphop masih belum memiliki ‘judul’. Mungkin karena itu pula mereka membuat lagu bertitel ‘Renegades of Funk’. Sebagai salah satu pelopor hiphop, Bambaataa bisa saja memberi judul lagu itu ‘Pioneers of Hiphop’, namun saya yakin Bambaataa tidak lah melihatnya demikian, paling tidak, tidak saat itu. Bambaataa tidak menyadari bahwa apa yang sedang mereka lakukan merupakan awal sesuatu yang baru namun lebih merupakan sebuah usaha pembangkangan terhadap musik pendahulu mereka, Funk, yang pada saat itu mencapai titik jenuh. Renegades of Funk, para pembangkang ‘funk’.

Kata-kata memang kadang membebaskan namun pula memenjarakan ketika ia sudah mencapai status totem. Di hari Bambaataa men-sample Kraftwerk tak pernah satu media pun bilang bahwa Bambaataa melakukan hal yang ‘eksperimental’, di hari DJ DST berkolaborasi dengan the Last Poets tak ada yang menyebutnya dengan ‘nyeleneh’. Saat N.W.A meledak, media lah yang paling ganas menamai fenomena mereka sebagai gangster-rap, sama halnya saat Public Enemy menggetarkan dunia dengan “It Takes A Nation…”-nya, tak pernah ada yang namanya political hiphop, yang ada hanya hiphop, and thats the way it was. Hiphop yang selalu berarti petualangan, pengembaraan ‘berbahaya’ di medium apapun anak muda NY saat itu gemari. Entah mengapa terminologi itu hari ini dianggap ‘eksperimental’, keluar jalur’, ‘tidak lazim’, seolah memang ada sesuatu yang ‘seharusnya’ dalam memaknai hiphop, terlebih hidup dan keterasingan yang coba direpresentasikannya.

Hiphop, mungkin, seperti layaknya produk kultural lainnya, sudah selayaknya dibiarkan menjadi sebuah ide dan imajinasi terbuka. Ia harus tetap liar dan terbuka untuk kemungkinan apapun. Dengan kondisi seperti itu, kita akan berkesempatan menjumpai beragam wujudnya dalam bentuk yang terburuk sekaligus yang terindah. Kita pernah menyaksikan hiphop berwujud musik generik butut tak ada ampun seperti 2 Live Crew atau MC Hammer, namun kondisi itu pula yang melahirkan hiphop masterpiece dari Public Enemy hingga Nas. Seperti halnya tembok polos tanpa otoritas, akan sempat melahirkan coretan tagging nama geng motor yang tak akan pernah bisa dibilang bagus, namun pula akan melahirkan piece graffiti berwarna pelangi yang akan membuat kalian menghentikan kendaraan dan berdiri di depannya tertegun selama beberapa menit, atau mungkin jam. Ini akan sangat berbeda ketika kalian menyaksikan piece serupa di sebuah event ‘street art’ bersponsorkan korporasi rokok raksasa yang memaksakan kalian definisi ‘seni jalanan’ tadi ke sebuah wilayah pemaknaan yang sempit. Sama halnya dengan adrenalin yang menghilang ketika kalian menyaksikan breakdance tak lagi menarik meski ditampilkan dalam suguhan ‘battle’ di sejumlah event televisi yang selalu begitu-begitu saja.

Seperti halnya fenomena luar biasa lainnya di dunia ini, hiphop adalah potret sebuah usaha keluar dari keterasingan dan kebosanan. Namun sama nasibnya dengan Rock N Roll dan Punk yang tereduksi menjadi sekedar ‘Rock N Roll’ dan ‘Punk’, hiphop hari ini tak lebih dari sekedar ‘Hiphop’. Tak lagi menyegarkan, kadang menggelikan, seringnya amit-amit membosankan. Hiphop sudah selalu dianggap sesuatu yang ‘given’ alias ‘sudah dari sananya’. Persis argumen-argumen konservatif yang berfikir bahwa semua hal di dunia memang sudah begitu adanya, tak terbantahkan tanpa pernah terlintas di benak bagaimana sebuah proses tersebut terlahir.

Hiphop –atau apapun dalam hidup- seharusnya membebaskan, dari keterasingan dan kebosanan, pula memberi gairah tertentu pada mereka yang berkeinginan untuk hidup lebih dari sekedar hidup. Hiphop used to move me. But It doesnt move me anymore, i don’t even know whether i’m for it or against it.

itulah gambaran umum tentang hip hop yang sejauh ini diketahui,kondisi ini sangat berbeda. Hip Hop berangkat dari kelas borjuasi dan menengah di indonesia. bahkan perguliran wacana tentang hip hop disini lebih rendah ketimbang di gehto2 yang ada di tempat asalnya. reproduksi kapitalisme dalam merangkul hip hop sebagai budaya masa tak bedanya seperti che dan Lenin ada di tengah mall dalam beragam bentuk dari kaos katun hingga mug, punk rock masuk MTV dan menjadi bagian dari industri fashion, hiphop dijadikan alat dagang sirup instan, motor hingga celana kolor, bahkan agama sekalipun tak lebih dari sekedar marketing kit pelengkap kampanye beragam industri dan senjata utama institusi dominan yang kita sama-sama paham juga dimana ujungnya. kelas menengah di indonesia hanya mengadopsi hip hop era 90-an dimana MTV telah mulai mengklaim Hip HOp itu seperti yang ada sekarang ini. bahkan cukup menggelikan ketika tradisi gangster diadopsi di Indonesia, persis seperti anak kecil sedang bermain perang-perangan.

Untungnya, hiphop selalu personal. Tak perlu dibela -bela absurd seperti nasionalisme, tak perlu dimanifestokan serupa ideologi usang dan tak perlu diusung junjung tinggi-tinggi seperti panji-panji partai di musim kampanye. Hiphop cukup serupa pakaian atau mungkin serupa tissue wc, serupa suara bit hook sekian detik dari tumpukan piringan hitam kusam yang kalian sample, yang kapanpun kalian dapat memakainya atau meninggalkannya. Dapat mencampurnya dengan lainnya atau membuangnya sama sekali. Tak pernah ada masalah.

Tidak ada komentar: