7 Januari 2012

Tak Mengenal Batas, Eksploitasi dan Eksplorasi Tubuh Perempuan Kini

Oleh : Itsnain Ginanjar Bagus Setiadi

“Ibu, aku mau rambut aku dilurusin kaya yang di iklan itu. Mamah, aku pengen pasang behel kaya yang di sinetron itu biar trendy. Bu, aku ingin beli sabun ini, biar putih kaya artis”, pinta remaja perempuan zaman sekarang kepada ibunya

Bukan lagi hitungan tahun, kini hitungan hari, trend atau gaya hidup bisa berubah dan berganti setiap hari. Dari sekian banyak merek dagang yang membanjiri hidup kita mayoritas adalah diperuntukkan untuk seorang perempuan. Hampir semua bagian dari tubuh perempuan bisa dijadikan sebuah komoditas. Mulai dari rambut hingga ujung kaki. Pantaslah jika kaum hawa kini terus dieksploitasi oleh para pemain pasar. Cepatnya proses penyebaran gaya hidup ini pun didukung oleh media kini, yang semakin efektif efisien. Apapun itu bentuk medianya, mulai dari konvensional hingga yang paling mutakhir. Media menjadi sarana penebar racun yang paling efektif, dan televisi adalah garda depannya.

Televisi, baik dengan program acara maupun iklan yang ditayangkan, memang menjadi sarana produksi kebudayaan yang ampuh. Kebudayaan pop, begitulah ungkap kritikus Mazhab Frankfurt. Diproduksi bukan oleh masyarakat, dan dijadikan komoditas serta menjadikannya tidak auntetik, manipulatif, disinilah titik tekan Mazhab Frankfurt akan kebudayaan pop, yang mengistilahkannya dengan ‘Industri Kebudayaan’. Menurut Adorno dan Horkheimer, industri kebudayaan ini nantinya akan membubuhkan stempel yang sama atas berbagai hal. Keragaman produk industri pun hanya satu ilusi untuk sesuatu yang disediakan bagi semua orang sehingga tak seorang pun bisa lari darinya. (Adorno dan Horkheimer,1979;;123).


Mengamini perkataan Adorno dan Horkheimer, berarti ada semacam sesuatu yang berkuasa dan menginginkannya terproduksi dan tertanamnya suatu kebudayaan atas kelas yang lebih lemah. Antonio Gramsci menjelaskan persoalan tersebut dengan bahasanya yang kita kenal dengan hegemoni. Otoritas dan superioritas akan penciptaan dan reproduksi kultural maupun ideologi, terhadap kaum inferior. Begitulah hegemoni secara sederhana bisa kita pahami. Dalam konteks media, praktik hegemoni Gramsci, bisa kita interpretasikan seperti perusahaan dagang mencoba menghegemoni para penonton atau masyarakat untuk memakai atau menjadi sesuatu yang dijualnya. Hal ini dilakukan dengan tanpa paksaan kekuaatan secara langsung atau ancaman, melainkan dengan ‘pemaksaan tak sadar’, dan akhirnya yang muncul setiap individu akan berkeinginan atau sukarela menjadi sesuatu yang industri budaya inginkan. Konsep hegemoni Gramcsi dapat direkflesikan kepada para ikon pop yang menjadi sosok panutan atau pahlawan bagi fans beratnya dalam hal ini bisa dikatakan ikon pop sebagai kolompok yang dominan.

Iklan sebagai sebuah hegemoni

Entah apa yang dijadikan alasan, perempuan selalu dijadikan obyek yang menarik untuk dieksploitasi dalam sebuah iklan. Dan mayoritas kaum perempuan pun mengikuti dan menuruti apa yang dimau iklan tanpa sungkan. Ini berarti sudah ada sebuah hegemoni kultural dan ideologi terhadap kaum perempuan dewasa ini, dan iklan terutama dalam media audio visual adalah alat pelanggeng hegemoni ini.

Sebuah paradoks akan alasan eksploitasi perempuan dalam sebuah iklan pun muncul. Ekonomi yang bergerak dari ‘politik ekonomi komoditi’ (kapitalisme era Marx) ke arah ‘politik ekonomi tanda’ (kapitalisme lanjut) dan kini menuju ‘politik ekonomi hasrat’ (libdynal economy) menjadi alasan eksploitasi perempuan dalam sebuah iklan. Dari paradoks inilah, kemudian iklan hadir dan bahkan keberadaannya mejadi kewajiban yang tak pernah absen dalam riwayat kinerja sebuah produksi (baik barang maupun jasa). Dalam artian, iklan tidak hanya terbatas sebagai elemen pelengkap, tetapi ia malah menjadi main course. Artinya eksistensi iklan di dalam format ekonomi kapital merupakan bagian dari motor penggerak komoditas yang amat efektif, yang sudah terbukti mampu sebagai penyumbang terbesar terhadap dorongan nafsu dan hasrat (desire) daya beli sebuah produk di masyarakat.

Penekanan pada desire atau hasrat ini lah yang akhirnya menjadi penindasan baru terhadap perempuan. Dimana perempuan semakin dianggap hanya pemuas nafsu belaka dan stereotip lainnya, dengan tubuh – tubuhnya yang semakin ditonjolkan dalam setiap iklan. Seperti apa yang tersirat dalam iklan Lux yang diperankan Tamara Bleszinsky yang mencitrakan dirinya seorang penggoda. Bibirnya yang dicat merah sehingga menarik perhatian. Bibirnya yang merah merona itu tidak tersenyum, tetapi warnanya menyiratkan sesuatu. Warna merah atau tua disini tentu akan berlawanan makna dengan warna muda semisal pink, yang menggambarkan citra anak gadis baik – baik. Lipstik tua disini tidak sekedar merepresentasi ‘kotoran’ melainkan juga representasi ‘pengalaman seksual’. (Prabasmoro, 2003:54).

Disamping pemaknaan tersebut, ada pula politik bujuk rayunya yang berpotensi besar bagi pengaburan perihal substansi material dan nilai guna (use value) suatu produk barang ataupun jasa. Sehingga bukan lagi value yang dijual, tapi mengikuti hasrat masyarakat.

Tubuh perempuan adalah komoditi utama

Persoalan eksploitasi dan ‘pendisiplinan tubuh perempuan’ yang berlebihan adalah sebuah problema yang terus ada dari dulu hingga saat ini. Dengan sejuta alasan, entah untuk alasan kesehatan, kecantikan dan lainnya. Seolah menjadi penghalalan tubuh dan segala tetek bengek ‘onderdil’ kewanitaan perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai objek tanda , dan bukannya sebagai subjek. Sebagaimana diungkapkan oleh Rosinta Situmorang, dkk. (1999) bahwa di dalam wacana iklan media massa, perempuan sering diposisikan bukan sebagai subjek, tetapi sebaliknya sebagai objek tanda (sign object) yang dimasukkan ke dalam sistem tanda (sign system) di dalam sistem komunikasi ekonomi kapital. Media menjadikan tubuh dan fragmen-fragmen tubuh perempuan sebagai penanda (signifier) yang dikaitkan dengan makna atau petanda (signified) tertentu.

Dari berbagai macam pendisiplinan tubuh perempuan yang ada, yang terus termanifestokan dan abadi adalah universalisme tubuh langsing dan tubuh kulit putih.

Mitos bahwa tubuh perempuan harus langsing adalah sebuah representasi paling kuat kebudayaan barat terhadap dunia dan mempromosikannya sebagai norma kultural disipliner (Barker, 2008:268). Alhasil anggapan perempuan harus bertubuh langsing semakin nyata, dan dilanggengkan dengan berbagai macam iklan mengenai makanan rendah kalori dan obat diet. Dan hingga kini, kelangsingan adalan kondisi ideal bagi daya tarik perempuan sehingga perempuan kini akan sangat menjaga pola makannya. Agar tak mendapat kutukan karena gagal menjaga bentuk tubuhnya, baik itu obesitas (kegemukan) atau bahkan anorexia (kekurusan).

Persoalan universalitas tubuh kulit putih pun menjadi ‘penyakit’ lain dalam kehidupan perempuan. Representasi tubuh kuit putih terus dilanggengkan oleh iklan sabun, dari awal kemunculannya, tubuh yang ditampilkan adalah kulit putih. Muncul anggapan bahwa kulit putih adalah sempurna, lambang perempuan baik, cantik, dan sukses. Dengan dalih ini, kampanye iklan sabun, terus digencarkan. Fantasi memiliki tubuh kulit putih terus dijejalkan kepada masyarakat. Hal ini pun menjadi jamur di Indonesia. Dimana maraknya serbuan artis Indo, dengan kulit putih mulusnya.

Penutup yang tidak menutup

Hegemoni yang terjadi memang telah mendarah daging, dan akan cukup sulit untuk menghilangkannya. Terlebih lagi, ketika menyentuh dan membicarakan kapitalis atau penguasa modal, semakin peliklah masalah ini. Bagaimanapun, perlu kearifan dalam menanggapi persoalan ini. Jangan sampai menjadi bias tersendiri ketika membicarakan dan berusaha menyelesaikannya. Kearifan juga diperlukan agar kita tidak semakin hanyut dalam hegemoni ini.


Referensi :

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George. 2009. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Prabasmoro, A. Priyatna. 2003. Becoming White, Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta : Jalasutra
Rosinta situmorang, Bernadet, dkk. Pemberitaan Kekerasan terhadap Perempuan di Surat Kabar, dalam Media dan Gender, Perspektif Gender atas Industri Surat Kabar Indonesia. Yogyakarta: LP3Y dan The Ford Fondation

Tidak ada komentar: