21 Oktober 2011

Haji Misbach : Sosok di Pinggir Sejarah

Oleh: Wildanshah          

Membaca pemikiran tokoh politik, tidak mungkin melupakan kondisi sejarah yang membentuk pemikirannya. Di saat bersamaan, bergulat dengan sejarah pun, dirasa sama sekali tidak mungkin untuk mengadakan rekonstruksi keseluruhan masa lalu. Tentu saja, penulisan sejarah kebanyakan merupakan hasil dari penafsiran pemenang, pertarungan penafsiran kembali atas sejarah masih menjadi problematik. Sebagaimana umumnya,  ada juga usaha rekonstruksi sejarah yang dilakukan untuk terus melegetimasi kekuasaan, bukannya mencari kebenaran sejarah namun terjebak pada mencari pembenaran kekuasaan.

Berkaca pada Milan kundera, seorang pengarang Cekoslowakia, mengingatkan bahwa cerita masa lalu sangatlah penting, Baginya perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah melawan lupa. Sebagai ilmu politik, seharusnya apa yang dikatakan Kundera menjadi peringatan, karena keberadaan sejarah merupakan bahan kajian untuk membuat formulasi politik yang berorientasi masa depan, dimana sosok pemikir merupakan lahir dari zamannya. Antar sejarah dengan pemikiran politik sangat erat kaitannya.


Seperti halnya Indonesia hari ini, banyak bermacam-macam pemikiran yang lahir dengan ideologi yang berbeda, seperti pancasila, koperasi, wahabiisme, nasionalisme, liberalisme, islamisme dan berbagai ideologi besar lainnya yang tetap eksis. Namun, ada juga yang mulai diberangus dari permukaan seperti komunisme. Bila kita merujuk sejarah, Indonesia merupakan lahan basah munculnya gerakan-gerakan berhaluan marxis, seolah Karl Marx menjadi guru dari berbagai tokoh politik pada masa sebelum dan awal kemerdekaan.

Mungkin Soerkarno, Hatta, Shajrir dan Tan malaka tidak akan menjadi revolusioner bila tidak pernah bersentuhan dengan marxis. Walaupun mereka akhirnya berjalan dengan langkah berberbeda. Soekarno dengan nasional komunis dan agama (NASAKOM); Hatta berjuang melalui koperasi; Shajrir memegang teguh semangat sosialismenya: dan, Tan malaka masih mencita-cita terwujudnya komunis. Empat orang berbeda ini, lahir dari satu ideogi yang sama yakni marxisme.    

Pemikiran marxisme mungkin sedikit banyak mempengaruhi pola sistem pemerintahan di Indonesia. Banyak yang mendukung mau pun menentangnya, di era sebelum kemerdekaan sampai orde lama, ideologi berbau kiri menjamur diberbagai organisasi perjuangan untuk  menentang keberadaan koloni. Seperti Shjarir dengan sosialisme-nya, Aidit yang berhaluan marxime-maoisme, Musso dengan Marxis-leninisme dan tentunya  Komunis yang selalu diajukan oleh Samaoen.

Masa kejayaan ideologi kiri hanya saat pada masa orde lama, ia terpuruk pada masa orde baru, diberangus dan dihabisi seperti yang terlihat dalam buku-buku sejarah kita. Waktu itu, tahun enam puluh lima, pamlet maupun berita mulai diramaikan oleh teriakan “bubarkan PKI”, “Komunisme sesat”, “orang komunis anti-tuhan” dan coretan lainnya yang menyebarkan kebencian disudut-sudut tempat. Anggota PKI yang tak mengerti, menjadi kambing hitam dari rekayasa pembunuhan para Jendral. Atas nama pengamanan dari bahaya komunisme, makin digalakan pemburuaan, pembunuh bahkan perkosaan terhadap orang-orang yang dicurigai komunis. Dalam tragedi berbahaya itu, sekitar 500.000 juta jiwa telah menjadi korban, karena hanya diduga komunis, disiksa dan keluarganya disingkirkan menjadi warga negara kelas dua.    

Dari gambaran diatas, mungkin inilah pentingnya kembali membaca sejarah dan menelusuri tokoh pemikir yang terlupakan atau sengaja untuk ditinggalkan. Ideologi kiri bukanlah ideologi yang hanya terjebak pada satu aliran epistemologi saja, ia terus melakukan dialektika untuk mencapai kesempurnaan. Seperti halnya Haji Misbach yang mencoba menyatukan komunis dengan Islam. Ia seorang agamawan revolusioner asal solo, mendirikan surat kabar Medan Moeslimin dan banyak menulis tetang kesatuaan komunis dengan Islam, berberbeda dengan Tjokroaminoto yang moderat, Haji Misbach terlibat langsung dalam gerakan radikal anti-pemerintah, dengan Samaoen, ia membuktikan bahwa komunisme tidaklah bertentangan dengan nilai ketuhanan dan mendorong Serikat Islam untuk menjadi PKI (Partai Komunis Islam).

Haji merah : Berdiri di Pinggir Sejarah

Dididik oleh pesantren, Mohammad Misbach tidak pernah terbayang menjadi pendukung komunisme. Dibanding tokoh-tokoh lain sezamannya, ia relatif tidak terkenal dikalangan pergerakan. Ia tidak membaca buku-buku Belanda dan tidak membaur dengan orang Belanda. Misbach pertama kali dikenal sebagai tokoh gerakan pada pertengahan tahun 1910 saat memimpin pergerakan kaum muda Islam di Surakarta.

Saat dewasa Misbach sempat sukses berjualan batik, namun hatinya tak tahan untuk bergerak dalam organisasi yang menyalurkan watak revolusionernya, ia meninggalkan usahanya untuk terjun kedunia intelektual dan gerakan dalam Serakat Islam. Aktif mengkritik penjajah, dengan tulisannya yang tajam. Penjara menjadi rumah kedua baginya, demi mencapai keadilan ia rela menghabiskan waktu dalam perburuaan. Keterlibatannya menggalang, mengerakan massa melakukan demo membuat pemerintah kolonial selalu mengawasi gerak-gerik tokoh yang di juluki Haji merah.

Sempat di Muhammadiyah, namun hanya sesaat ia meninggalkannya. Ketertarikan  dengan pemikiran  Samaoen membawanya ikut merumuskan Serikat Islam merah di Semarang yang kemudian hari menjadi PKI. Pilihan Haji Misbach bergabung dengan PKI semakin menunjukan kekuatannya menentang segala bentuk kolonialisme dan kapitalisme. PKI bagi Misbach, merupakan manifestasi dari apa yang dicita-citakannya terkait mewujudkan keadilan tanpa penindasan. Disamping itu, Misbach berpendapat organisasi Islam yang ada pada saat itu pada umumnya tidak dapat menampung aspirasi bagi rakyat jelata. Serikat Islam dan muhammadiyah, waktu itu dianggap mandul dan bersikap kooperatif dengan pemerintah. Berbanding terbalik, dengan organisasi komunis yang anti-pemerintah, karena bagi kelompok komunis kerjasama dengan pemerintah sama saja dengan bunuh diri.

Misbach kemudian tidak lama setelah bergambung dengan PKI, ia diangkat menjadi pemimpin PKI di Vostenlanden. Di Surakarta, ia turut membangun basis, serta mengorganisir pertemuan dengan rapat-rapat umum. Apa yang dilakukan Misbach selalu dicurigai dan diawasi oleh polisi. Oleh karena itu, polisi dengan mudah mendecah dan menangkap gerakan politik  Misbach. Pada bulan juli 1924, Misbach ditangkap dan dibuang ke Manokwari. Pada periode inilah Misbach dicap sebagai komunis Islam paling terkemuka. Cap ini tidaklah salah, jika mengingat bahwa ia selalu ingin memajukan Islam untuk bersinergi dengan PKI.

Semasa Misbach hidup, Islam selalu dipertetangkan dengan komunisme. Hal ini diperkuat ketika Muhammadiyah menarik diri dari hingar-birngar politik pada masa itu. Penarikan diri Muhammadiyah dari politik membuat citra bahwa Islam bertentangan dengan komunisme dan keduanya tidak dapat satukan. Islam selalu di posisikan sebelah kanan dan komunis disebelah kiri, selalu dipertetangkan kedua Ideologi ini dalam tulisan-tulisan yang beredar yang terus memperkuat argument bahwa keduanya tak dapat disatukan. Hal ini terus berlanjut setelas zaman Misbach telah selesai, yang diperkuat dengan tragedi G30 S/PKI dan keruntuhan Soviet.

Di arena percaturan politik pada masa Misbach, pertentangan antara Islam dan Komunisme sebenarnya hanya karena disebabkan pertikaian SI dan Muhammadiyah. Pertentangan itu muncul karena Muhammadiyah tidak mau terlibat untuk menentang kolonialisme Belanda. Akhirnya mereka saling tuding, mencari pembenarannya masing-masing, dalam klaim siapakah “Islam sejati” yang terlibat dalam politik atau tanpa menggerakan Islam dalam area politik.

Perdebatan tersebut semakin tajam saat mulai muncul tulisan-tulisan yang bersebrangan di media massa antara SI dan Muhammadiyah yang mengerucut pada perdebatan ideologi, yaitu Islam dan komunisme. Misbach yang terkenal keras juga membantah habis kesimpulan Islam dalam menghadapi kapitalisme yang digagas Tjokroaminoto. Tjokoaminoto hanya menampilkan Islam sebagai “ajaran moral” untuk mengkritik sistem kapitalisme.

Dalam kongres SI tahun 1919, terjadilah perdebatan antara Tjokroaminoto dengan Semaoen. Tjokroaminoto berkata bahwa musuh pergerakan bukanlah kapitalisme, tapi “kapitalisme yang berdosa”. Dalam kerangka pemikirnya, kapitalis itu terbagi menjadi dua, yaitu “kapitalis yang jahat” adalah kapitalisme yang “dimiliki oleh kapitalis Belanda atau kapitalis non-Islam sedangkan “kapitalis yang baik” adalah kaum kapitalis yang bergabung dalam Sarekat Islam. Semaoen jelas menentang prisip ini, baginya, kapitalisme tidak mengenal “baik dan jahat”. Menurutnya, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang diciptakan untuk “mencari laba” sebesar-besarnya. Haji Miscbah yang lebih mewakili Islam kaum kromo, mayoritas rakyat yang tidak begitu memperdulikan ajaran Islam dengan teguh. Menganggap apa yang disampaikan oleh Tjokroaminoto merupakan standar ganda untuk mengamankan posisi elit dan pedagang muslim pribumi yang bergabung dengan SI. Maka dalam tulisan dan propagandanya, Misbach secara gamblang mengambarkan bahwa kapitalisme adalah penyebab dari penindasan umat manusia. Oleh Karena itu, kapitalisme diharamkan dan tugas umat muslim untuk memusnahkannya

Islam Komunis: Persatuan dalam Pertentangan

Islam dan komunisme sering dipertentakan terutama dalam hal yang sensitif yakni terkait ke-Tuhan-an. Memang keduanya berangkat dari titik tolak yang berbeda. Kemudian pertentangan ini dipersempit dengan terminologi agama dan khususnya Islam yang di bawa oleh Misbach. Bagi Marx sendiri, agama itu adalah candu bagi masyarakat, namun Misbach mampu berbicara sebaliknya, baginya agama juga bisa menjadi penggerak utama gerakan-gerakan pembebasan dan motor pendorong revolusi dalam kekuasaan yang menindas manusia. Keteguhan hati Misbach, memang terbukti dalam tulisannya “Islam dan Kommoenisme”, ia memaparkan bahwa Islam dan Komunis merupakan kekuatan besar untuk menghacurkan kapitalisme, jelas bahwa kedua ideologi ini masih bisa disatukan untuk saling melengkapi.

Tulisan Haji Misbach banyak mengupas ajaran Islam maupun Komunis. Kacah politik pada masa itu, ajaran Islam dan  komunis sangat mewarnai, dan menjadi kekuatan besar melawan kolonial. Misbach berhasil menunjukan kepada umat Islam sisi revolusiner agama, seperti apa yang terlihat di surat kabar Medan Moeslimi dan Islam Bergerak. Selain itu, Misbach selalu mengingatkan tugas manusia di dunia untuk mengapai keadilan. Dorongan ajaran komunisme menjadi jantung dari gerakan Haji Misbach untuk menghilangkan kelas dalam masyarakat, karena Misbach yakin masyarakat yang “sama rasa dan sama rata” adalah sebuah cara pembebasan manusia dari kemiskinkan, ketidakadilan dan kesengsaraan. Islam dan Komunisme bergolak dalam pemikirannya, untuk itulah ia menggabungkan ajaran yang telihat bertentangan, dalam upaya menjawab persoalan masyarakat dan tentunya menjadi ajaran yang menentang imperialis Belanda .

Agama menurut Misbach, merupakan pentunjuk dari Tuhan yang bersifat kuasa untuk semua manusia seisi dunia. Semua agama pada hakekatnya sama, yaitu petunjuk Tuhan yang satu. Seperti apa yang di katakan Misbach, “ Toehan jang bersifat koewasa itoe hanja satoe, dari itoe sesoenggoehnja agama jang sedjati itoepoen djoega tjoema satoe”. Misbach tahu, bahwa dalam dunia ini masih banyak berbagai agama. Menurutnya, Tuhan tidak menurunkan agama dengan memberi nama yang berbeda-beda. Ditambahkan oleh Misbach, Agama hakekatnya untuk menuju keselamatan.

Maka, salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mencapai keselamatan adalah pikiran yang jujur dan suci. Selain itu, tugas seorang muslim adalah menyelamatkan dunia dari kesewenang-wenangan, kedzaliman dan kekejian dari orang-orang yang serakah yang munafik. Misbach menggunakan istilah kapitalis untuk menyebut orang-orang serahkah yang munafik. Kaum kapitalis jelas melenceng dari ajaran Islam sejati, Misbach beranggapan Islam justru lebih mengajarkan umatnya untuk memberi Jiwa dan kehidupan sosial baru kepada peradaban-peradaban yang terpecah-belah dan yang mati. Islam tidak semata aqidah dan ritual, tetapi juga cara hidup.

Misbach juga memberikan penekanan, bahwa tidak pada tempatnya untuk memisahkan hubungan antara aqidah dan politik, begitu juga moral dalam ekonomi, atau ilmu seolah bertetangan dengan hikmah. Karena sebagai seorang muslim, ini tak dapat terbagi, merupakaan kesatuan dalam sinergi yang pasti untuk menjadikan Islam sebagai demensi dalam kehidupan dan praktek sosialnya.

Kebenciannya terhadap penindasan, khususnya kaum kapitalis. Misbach tidak ragu menyerukan perang terhadap kapitalis yang menghisap dan menindas bangsa. Misbach menggambarkan tetang terbelenggunya rakyat yang mayoristas umat muslim dari cengkraman kapitalisme dan imprialisme. Keberlangsungan kapitalis dan Imperialis menuru Misbach menggunakan “tipoe moeslihatnja dengan memfitnah, menindas, menghisap, dan lain-lain perkataan poela”. Dengan demikian, jelas bahwa kapitalis musuh dari rakyat, terlihat dalam tulisan Misbach pada 20 November 1922, menyamakan kapitalis dengan setan dengan mengutip Al Qur’an: “Hai, semua mukmin, Masuklah Agama Islam, Jangan ikuti jalan setan karena jelas setan adalah musuhmu”.  Bagi Misbach, orang yang mengaku Islam atau partai-partai yang mengaku berasas Islam, tapi menghalang-halangi rakyat untuk masuk dalam pergerakan politik menentang kapitalisme dan Imprialisme adalah munafik. Adapun sikap munafik itu dekat sekali dengan kafir, yaitu orang yang tidak percaya perintah agama.

Kapitalisme jelas membawa kepada jurang kemiskinan yang berakibat pada terkikisnya rasa moral dan kemanusian dalam diri manusia. Menurut Misbach—seperti yang ia pelajari dari Marx—kemiskinan itu disebabkan adanya mesin kapitalisme yang terus memreproduksi penghisapan, istilah yang digunakan Misbach adalah “spirit kapital”—adalah ketamakan ini, spirit capital, berbentuk uang. Kapitalisme mengunakan berbagai “soelapannja” untuk ‘mengikat” orang. Akan tetapi, kuncinya adalah uang karena kebanyakan orang “tjinta boeta” dengan uang dan kemudian “moeka jang diboetakan oleh mata oewang”. Dari itu  ketamakan akan menghancurkan nilai kemanusiaan ketika hanya berbicara tetang Uang. Kemiskinan banyak menimbulkan masalah seperti pelacuran, pencurian, penipuan dan lain-lain. Lembaga keamanan bagi Misbach, tidak akan mampu mengurangi masalah tersebut bila sistem kapitalisme belum dibubarkan.

Dalam sistem kapitalis, pengejaran keuntungan merupakan hal yang hakiki. Maka, efektifitas kerja dan kuatitas hasil produksi harus terus ditingkatkan untuk mencapai tujuan mecari laba. Dengan demikian, pemakaian mesin menjadi hal yang pasti. Berkait dengan ini, Misbach menjelaskan hubungan dengan mekanisme produksi modern tersebut. Adanya alat produksi dari mesin akan berakibat pada dikuranginya tenaga kerja sehingga angka pengaguran semakin bertambah dan upah buruh semakin rendah untuk mengambil keuntungan yang maksimal. Efek lainya, Misbach memaparkan, keterikatannya buruh dengan pemilik modal dan uang semakin besar sehingga membuat tidak melakukan kewajibannya, sebagai seorang yang beragama Islam, seperti sholat, puasa dan lain-lain. Misbach menarik kesimpulan, sistem kapitalisme tidak saja merusak hak buruh sebagai manusia, tetapi juga sebagai mahluk Tuhan.

Ketika penindasan telah memuncak, massa yang mulai sadar, maka akan timbul semangat perlawan dari kaum tertindasan untuk melepaskan diri dari belenggu penindasan. Dalam proses melepaskan diri itulah cita-cita terwujud masyarakat tanpa kelas sesuai dengan propaganda dalam masa Misbach yang selalu menekan pada perjuangan kelas sebagai semangat gerakan melenyapkan kelas-kelas yang ada dalam masyarakat. Misbach yakin, pada materialism histori yang mengatakan bahwa di zaman kapitalis adalah bibit dari munculnya komunisme. Yang kemudian di sebut Misbach bahwa “ Timboelja Kommoenisme itoe bidji dari kapitalisme jang tertanam dalam sanoebarinja ra’jat, teroetama pada kaoem boeroeh2”.

Menurut Misbach, Islam tidak membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya. Setiap manusia mempunyai hak sama dan Tuhan-lah yang maha tinggi. Karena itu, kita tidak boleh meninggikan selain Allah. Pembedaan sekarang ini karena dibentuk oleh sistem kapitalisme dan imperialisme, maka Misbach menambahkan, bagi orang yang sangat mengerti Islam, seharusnya sudah menjadi jiwanya untuk melawan sistem yang menindas tersebut.

`Melihat uraian di atas tampak sesekali Misbach ingin menjadikan Islam sebagai kekuatan trasformatif dengan menaikan sisi revolusiner dari agama dalam upaya mengkonstruksi “ideal moral” dari Islam. Secara praktis, hal itu dapat terwujud dalam suatu gerakan sosial menentang sistem kapitalisme. Mengenai Islamisme dan Komunisme, Misbach memberi gambaran kedudukan keduanya. Menurutnya, Islam yang sejati adalah Islam yang mengakui kebenaran dari ajaran komunis. Karena keduanya memiliki tujuan yang sama juga sebaliknya. Orang yang mengklaim dirinya sebagai komunis harus mengakui Islam sebagai suatu nilai yang memiliki kebenaran hakiki. Walaupun, kedua ideologi tidak bisa bersatu dalam kerangka filosofis, namun Misbach mensintesikan keduanya diranah sosiologis saja untuk menjawab persoalan kemiskinan pada masa kolonialisme dan kapitalisme, dengan cara membangunan dasar religiusitas revolusionerlah Misbach berharap dapat menyelesaikan keluguan pemeluk agama dalam menghapus permasalahan sosial pada masa kolonial. Itulah sedikit gambaran sosok dan pemikiran Haji Misbach yang terus-menerus membantah penindasan dan menolak kemiskinan, semata dalam upaya bertakwa untuk mencari ridho Allah.

Agama Bukanlah Candu

Sudah seharusnya hak manusia harus diperjuangkan karena itu perjuangan untuk melawan penindasaan terhadap martabat dan nilai-nilai kemanusiaan merupakan sebuah keharusan. Keberpihakan terhadap kaum tertindas merupakan sebuah ajaran agama. Inilah jelas tertananam pada setiap ajaran agama khususnya agama Islam terlihat dalam Al-Qur’an surat Al Qashash Ayat 5 “ Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”.  Agama bukanlah candu seperti apa yang disampaikan Marx, agama pun banyak berperan berpihak kepada orang yang ditindas dan turut memerangi kezaliman, seperti halnya Islam sebagai teologis pembebasan.

Sumbangan besar Haji Misbach yang terpenting adalah sangat jeli menemukan titik temu antara Islam dan komunisme, kedua Ideologi besar ini sama-sama mengharamkan riba dan akhirnya mampu merevolusi paradigma dalam teologi. Dan akhirnya sekarang Haji Misbach dikenal sebagai pelopor teologi pembebasan yang mulia banyak berkembang awal tahun 1960-an di Amerika latin. Keberhasilannya menunjukan sisi revolusiner agama menjadi jawaban bagi parapemikir materialis yang meragukan ajaran agama yang dianggap terserabut dari permasalahan nyata yang dialami masyarakat. Dan disaat bersamaan, Ia mampu menjelaskan sisi religiusitas agama dalam komunisme, yang akhirnya memberikan nilai-nilai spritualitas akan eksistensi Allah dalam  perjuangan.

Dengan mempelajari dan menulusuri pemikiran Haji Misbach, kita dapat melihat bahwa agama tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah sebatas ritual. Namun, Ia juga menjelaskan bagaimana Islam menjadi jawaban dan menjelaskan hubungan horizontal antara sesama manusia untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi umat manusia. Bagi Ziaul Haque, revolusi yang dilakukan oleh para nabi terutama bertujuan untuk melawan kekuatan-kekuatan diskriminasi kelas, penindasan dan takhayul. Dan inilah, yang dilakukan oleh sosok agamawan revolusioner yang pernah dimiliki ibu pertiwi, Haji Misbach.[]

Tidak ada komentar: