22 Oktober 2011

Tarian Bumi: Suara- Suara Perempuan Atas Pergumulan Tradisi Masyarakat Bali

Oleh : Nissa Rengganis

Setiap perempuan tahu betapa menyiksanya bangkit untuk bicara.
Jantungnya berdebar kencang, terkadang benar-benar kehilangan kata-kata, bahasa, serta bumi yang dipijak seakan lenyap (Helene-Cixous) 

Novel Tarian Bumi (terbitan GPU 2007) karya Oka Rusmini menjadi salah satu novel rujukan saya dalam menuntaskan gelar sarjana. Dalam penelitian itu, saya menyoroti tentang perkembangan sastra perempuan (novel) pasca reformasi yang karya mereka banyak menyuarakan isu yang sama yaitu menyoal seks, tubuh, ketimpangan gender, perlawanan patriarki hingga isu lesbianisme. Meminjam istilah Cixous “Write Yourself. Your Body Must be Heard” barangkali sedikit-banyak telah memberikan pengaruh terhadap beberapa teks sastra yang diproduksi oleh pengarang perempuan. Siapa menduga, konteks sosial pasca reformasi dengan isu demokratisasi  menjadi momen penting bagi pengarang perempuan untuk melakukan perlawanan dan pemberontakan besar feminisme dalam koridor memerdekakan diri dari eksploitasi laki-laki. Semoga benar demikian. Bukan sekedar latah dengan hiruk pikuk ‘trend’ wacana  soal isu demokratisasi, multikulturalisme, feminisme atau isme-isme lainnya.


Tentunya saya memiliki alasan dan ketertarikan sendiri ketika menemukan novel Tarian Bumi yang kemudian menjadi bahan penelitian saya. Dalam tangkapan saya, Oka Rusmini berhasil mengangkat persoalan perempuan yang berhadapan dengan realitas masyarakat Bali. Seperti yang ditulis Dami N Toda dimana Tarian Bumi berhasil memunculkan karakter local genius. Tokoh-tokoh perempuan “dengan sengaja” dimunculkan lebih “vulgar”, “berani” dan lantang menyuarakan ketidakdilan yang dialami oleh kaum perempuan akibat budaya patriarki yang masih mendominasi pada masyarakat Bali. Persepsi patriarki yang dimunculkan dalam novel Tarian Bumi ditunjukkan dengan tokoh-tokoh perempuan yang mempertanyakan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bali.  Selain menggugat persoalan patriarki secara gamblang, novel ini pun memunculkan tokoh Luh Kenten sebagai seorang lesbian.  Gagasan lesbianisme yang terdapat dalam novel Tarian Bumi dimunculkan dengan masih ragu-ragu, walaupun Luh Kenten secara tegas menolak untuk menikah dengan laki-laki.

Perempuan-Perempuan Keras Kepala
Novel Tarian Bumi meggambarkan alur cerita dengan penuh gugatan terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh.  Pembaca diperkenalkan dengan empat tokoh utama yang kesemuanya adalah perempuan.  Tokoh-tokoh perempuan dicitrakan sebagai sosok yang kuat, gelisah, mandiri, radikal, dan memberontak.  Dua tokoh paling penting yang diceritakan dalam novel ini adalah tokoh ibu dan anak, yaitu Luh Sekar dan Ida Ayu Telaga Pidada.  Luh Sekar adalah perempuan yang lahir dari kasta terendah di Bali (sudra) yang memiliki keinginan keras untuk menikahi seorang lelaki turunan bangsawan (brahmana).

Singkat cerita, Luh Sekar akhirnya mendapatkan seorang lelaki brahmana, yaitu Ida Bagus Ngurah Pidada.  Hidup Luh Sekar digambarkan tidak bahagia dengan memiliki suami pemabuk, tukang main perempuan, dan ibu mertuanya yang kerap memojokkan Luh Sekar perempuan sudra. Rupanya ia harus membayar mahal kenyamanan hidupnya untuk memasuki kelas bangsawan.  Ini menyebabkan Luh Sekar sangat keras mendidik anaknya Ida Ayu Telaga dengan berbagai peraturan yang harus diikuti, termasuk menikah dengan lelaki yang mempunyai gelar Ida Bagus.  Sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan, karena terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya.

Novel ini bercerita dengan alur kilas balik, dan mengungkapkan pergolakan batin Telaga yang kecewa dengan orang-orang yang “menjadi peta” dalam proses kelengkapan pembentukan Telaga sebagai perempuan.  Telaga ternyata tidak seperti ibunya yang kerap kali menjunjung tinggi nilai kebangsawanan.  Dalam penilaian Telaga, justru kasta brahmana penuh dengan kebohongan dan kemunafikan. Ini yang membuat ia memilih mengawini Wayan lelaki sudra. Telaga ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang berani untuk menabrak nilai sakral adat kebangsawanannya.  Hal ini ditunjukkan dengan pilihan Telaga untuk bersedia dikawini oleh laki-laki sudra,sebagai kasta terendah di Bali. Ini gila! Ketika banyak perempuan berebut ingin masuk dalam kelas brahmana, justru Telaga melepas kebangsawanannya dengan prosesi upacara untuk menanggalkan kebangsawanannya. Menjadi perempuan sudra.

Novel Tarian Bumi juga menampilkan salah satu tokoh perempuan yang sangat menarik.  Salah satu tokoh perempuan dimunculkan sebagai tokoh lesbian, yaitu Luh Kenten.  Walaupun tidak ada kata “lesbian” dalam novel ini, namun Luh Kenten digambarkan sebagai tokoh yang radikal, terutama dalam menggugat budaya patriarki di Bali.  Kebencian Luh Kenten pada laki-laki membuat Luh Kenten memutuskan untuk tidak menikah dengan laki-laki.  Dalam pandangannya, laki-laki hanyalah sumber dari penindasan yang dialami oleh perempuan. Dengan lantang ia mengatakan pada Memenya bahwa ia bisa hidup tanpa laki-laki!

Isu Lesbian dan Gugatan Atas Kultur Patriarki
Novel Tarian Bumi dengan setting budaya Bali menampilkan budaya masyarakat yang masih memegang teguh kultur patriarki.  Kultur masyarakat Bali yang masih mengagungkan laki-laki mendorong tokoh perempuan dalam novel ini menggugat hal tersebut.  Luh Kenten dengan watak yang keras menggugat budayanya, juga mempertanyakan posisi laki-laki dalam masyarakatnya.  Mulanya, kebencian Luh Kenten pada laki-laki disebabkan oleh ayahnya yang pergi meninggalkan keluarganya tanpa tanggung jawab. Kemudian berlanjut pada laki-laki yang ia temui dalam kehidupannya dimana mereka lebih banyak bersikap sbg penggunjing, tukang main perempuan dan sok’ superior. Kebencian ini seolah mengakar pada diri Luh Kenten, bahkan sampai ia memutuskan untuk tidak mencintai dan menikah dengan laki-laki. Selama hidupnya Luh Kenten hanya menaruh hati pada sahabatnya, Luh Sekar. 

Meme:  Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan.  Mereka lebih memlilih berpeluh.  Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka bisa hidup, dan harus tetap hidup.  Keringat mereka adalah api.  Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga.  Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka.  Mereka pun menyusui laki-laki.  Menyusui hidup itu sendiri.” (hal:25)

Kutipan dialog tersebut diungkapkan Memenya Luh Kenten yang menunjukkan bahwa dalam kultur masyarakat Bali masih cenderung adanya perlakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki.    Kultur masyarakat Bali yang cenderung patriarkis mendapat sorotan dan tokoh-tokoh perempuan menggugat diskriminasi dalam masyarakat Bali.   Selain meyoal tradisi lokal Bali dengan keragaman gugatan dari tokoh-tokohnya, isu lesbian pun menjadi tema pendukung dalam novel ini.  pun memperkuat gugatan yang lebih keras terhadap tekanan yang dialami kaum perempuan. Luh Kenten sebagai lesbian telah menunjukkan pemberontakan yang cukup vulgar terhadap tradisi masyarakat Bali yang konon cenderung patriarkis.

Tidak ada komentar: