29 Januari 2011

Demokratisasi Layanan Publik

Oleh : Suroto

Tuntutan masyarakat atas demokratisasi bentuk-bentuk layanan publik terlihat terus mengejala seiring dengan bergulirnya wacana demokrasi. Institusi-institusi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, pengaman sosial, transportasi, air dll dituntut adanya transparansi, keterlibatan, dan juga pembiayaan yang murah bahkan bila dimungkinkan malah gratis seperti dalam fungsi layanan utama dalam sektor pendidikan dan kesehatan.

Dalam penyelenggaraan layanan publik yang demokratis, setidaknya harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut ; berorientasi pada pelayanan terbaik (benefit oriented), nirlaba (non-profit), ada jaminan partisipasi langsung masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan, dijamin adanya kesetaraan atas partisipasi orang (one man one vote), perlindungan dana kembali (economic patrone refund) dari yang dibayarkan masyarakat, pertanggungjawaban pada masyarakat, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan administrasi dan keuangan, tidak ada pembedaan (non-diskriminasi) dan keberpihakan pada yang lemah.


Sampai saat ini kita memang belum punya sebuah pilihan yang mantap dan mau dibawa kemana sebetulnya visi dari fungsi-fungsi layanan publik kita ini. Ada kecenderungan bahwa fungsi-fungsi layanan publik kita yang semula negara sentris (govermance-led) akan dibawa kearah proses kapitalistik melalui istilah privatisasi (swastanisasi) dan atau dibolak-balik kembali ke sistem state dengan jargon nasionalisme. Gejala ini terlihat dari ketidakmenentuan proses privatisasi dan nasionalisasi kembali beberapa fungsi layanan publik yang diselenggarakan dalam model BUMN.

Di republik ini kita kenal dengan dua model Badan Hukum yang merupakan subyek hukum yang diciptakan oleh hukum. Pertama Badan Hukum Publik seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah kota. Kedua adalah Badan Hukum Privat/Perdata seperti ; perseroan, yayasan, BUMN, perhimpunan, BHP, perhimpunan, perkumpulan, koperasi dll. Agar demokrasi berjalan, penyelenggaraan layanan publik dapat menggunakan bentuk-bentuk badan hukum perdata yang diakui oleh negara.

Kalau kita coba konstruksikan dari model pengelolaan dari badan-badan hukum perdata/Privat yang telah kita miliki selama ini maka ada tiga jenis. Pertama model pengelolaan oleh negara (pemerintah) murni. Kedua model swasta kapitalistis/feodalistik. Ketiga adalah model demokratis.

Pertama model kepemilikan/pengelolaan oleh negara. Di negara kita berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), BHMN (Badan hukum Milik Negara), perusahaan jawatan, dan bahkan perseroan. Model kepemilikanya adalah oleh Pemerintah, dibiayai oleh pemerintah dan dikelola oleh Pemerintah dengan status karyawanya sebagai pegawai negeri/pembantu negeri(public servant). Landasan filosofinya karena pemerintah dipilih oleh rakyat dan melekat padanya otoritas tunggal bagi pengaturan tata hubungan sosial ekonomi warganya. Negara (baca : pemerintah) menjadi memiliki hak legitimasi mutlak bagi penyelenggaraan layanan publik atas biaya dari sumber-sumber pajak dan utang negara yang dibayarkan dan ditanggung oleh masyarakat.

Badan Hukum negara ini karena otoritas yang melekat padanya sangat kuat maka bisa menjadi kehilangan nafasnya untuk memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat dan seringkali malah berperilaku sebagai majikan atas asset-aset yang dikuasainya. Karena masyarakat adalah hanya sebagai obyek dari pelayanan, maka masyarakat tidak banyak terlibat. Termasuk dalam hal penjualan-penjualan asset negara ke pasar (privatisasi). Negara menjadi semau-maunya karena negara punya sifat memaksa. Tuntutan, keluhan masyarakat laksana anjing menggonggong kafilah berlalu.

Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang bobroknya bentuk layanan publik yang dikelola oleh negara ini. Selain birokratif, seringkali banyak pemborosan yang dilakukan oleh organisasi layanan publik model negara ini dengan istilah yang sangat permisif “in-efisiensi” yang bebannya ditanggung oleh masyarakat sebagai pembayar pajak. Cerita privatisasi (swastanisasi) adalah drama pengalihan yang skenario dan aktornya ditentukan sendiri oleh Pemerintah. BUMN ini diorientasikan juga oleh Pemerintah kita dalam rangka untuk mencari keuntungan (profit making). Bahkan bisa dijual ke swasta kapitalis dengan dalih untuk menutup defisit anggaaran.

Kedua, model kepemilikan swasta kapitalistik dan feodalistik. Bentuknya bisa seperti perseroan (PT), CV. Firma, UD, atau Yayasan. Model kepemilikannya adalah orang perorangan dan atau beberapa gelintir orang yang memiliki modal. Diinvestasi dan dibiayai oleh mereka para pemilik modalnya dan dalam proses pengaturanya digunakan prinsip otoritas dominan pada pemilik saham terbesar dalam prinsip satu saham satu suara (one share one vote) atau otoritas pendiri dan pengurus pada bentuk Yayasan.

Filosofinya ditekankan pada pemikiran bahwa apabila layanan publik diserahkan kepada swasta kapitalis/feodalistik model Perseroan atau Yayasan ini maka yang akan terjadi adalah fungsi layanan publik akan mendapatkan layanan prima karena akan terjadi efisiensi karena persaingan yang terjadi di pasar. Motifnyanya adalah untuk pencarian keuntungan(profit oriented). Pada masa kompetisi (persaingan) mungkin masyarakat akan banyak diuntungkan dengan harga murah, namun celakanya, karena kepemilikanya adalah bersifat perorangan atau oleh sekelompok orang yang memiliki modal besar, pada saat kepemilikan modal mereka menjadi akumulatif, maka yang muncul adalah monopoli di pasar itu sendiri. Konsep layanan publik yang dikelola oleh swasta kapitalis ini akan memunculkan tiran minoritas bagi kepentingan layanan mayoritas masyarakat.

Ketiga, model kepemilikan demokratis. Kepemilikan/pengelolaan dari model ini sebetulnya di Indonesia sudah kita kenal dengan model Badan hukum koperasi. Investasinya bias darimana saja, dari masyrakat langsung atau dari pemerintah, dikelola oleh masyarakat dan ditujukan untuk melayani masyarakat. Prinsip kepemilikan dan otoritas pengambilan keputusanya adalah satu orang satu suara (one man one vote) karena berbeda dari model layanan sebelumnya, koperasi ini adalah bentuk dari perkumpulan orang (people base association) dan bukan perkumpulan modal (capital base association). Jumlah kepemilikan modal didalam sistem koperasi ini tidak dijadikan sebagai penentu, betapapun modal dianggap penting, didalam koperasi hanya sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan manfaat(benefit). Tujuan dari koperasi ini tidak bagi akumulasi keuntungan (profit oriented)tapi diorientasikan kepada fungsi peningkatan manfaat layanan (benefit oriented). Koperasi dalam layanannya juga bukan seperti dalam yang ada pada model Yayasan yang penekananya adalah karitas.

Di negara lain seperti Amerika Serikat misalnya, Badan Hukum koperasi dijadikan sebagai alternatif dalam pelaksanaan layanan publik dalam sektor perlistrikan hingga menguasai 17% infrastuktur perlistrikan di desa-desa. Sementara di Columbia, Badan hukum koperasi ini juga telah menyajikan layanan kesehatan hingga 23 % (International Co-operative Alliance, 2007). Dari pengalaman yang ada, layanan-layanan public yang ada selalu menunjukkan tingkat pelayanan yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang diselenggarakan melalui Negara maupun swasta kapitalistik. Model koperasi yang menangani urusan layanan public ini disebut sebagai koperasi pemangku kepentingan (multistakeholder co-operative) yang merupakan salah satu model dari koperasi generasi baru.

Konsep Koperasi pemangku kepentingan (co-operative multistakeholder) adalah bentuk koperasi yang melibatkan seluruh komponen baik perwakilan pemerintah, pegawainya, masyarakat pengguna jasanya yang dijamin dalam fungsi demokrasi yang benar-benar setara (equal) karena yang dihargai sekali lagi adalah orangnya dan bukan modal yang ditanamkan. Prinsipnya capital is not master, but servant. Modal bukan penentu tapi hanyalah sebagai pembantu.

Memang, di negara kita koperasi ini mengalami nasib yang sial. Selain Undang-Undangnya sendiri (UU No. 25 Tahun 1992) tidak memberikan landasan yang cukup baik agar koperasi berjalan sesuai dengan filosofinya, Pemerintahpun tidak menganggap koperasi ini sebagai bentuk Badan Hukum yang layak bagi semua orang tapi hanya layak untuk yang skala kecil, hingga perlu ditangani oleh satu kantor kementrian negara sendiri seperti Kemenegkop dan UKM sebagai “pembina” yang kita tahu malah justru banyak bersifat interventif dan membunuh prakarsa masyarakat sendiri. Apabila kita anulir, ada semacam by design agar koperasi di negara kita supaya kerdil dengan dilekatkan pada birokrasi instansi/organisasi lainya dan dilakukan pembatasan keanggotaan dan bukan diposisikan untuk compete di pasar sehingga tidak bisa mencapai skala layanan yang lebih luas (economic of scale).

Berangkat dari analisa diatas, menurut saya, tanpa mengabaikan telah disyahkanya Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagai badan hukum perdata baru dalam urusan layanan pendidikan, kelihatanya kita perlu melakukan kajian lebih dalam lagi atas kemungkinan koperasi sebagai alternatif badan hukum layanan publik yang demokratis. Hingga untuk masalah bentuk tata kelola layanan publik kita tidak perlu setiap sektor membentuk UU nya sendiri kedepanya. Penyatuan ego sektoral sudah saatnya dilakukan, dengan tujuan untuk menghentikan penghamburan uang negara dan untuk mempertajam substansi dari semangat produk-produk perundangan yang sudah ada agar lebih mengarah pada pencapaian tujuan sejatinya. Demi kepentingan demokrasi. []

*) Penulis adalah ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2i)

Tidak ada komentar: