Oleh : Itsnain Ginanjar Bagus Setiadi
“Ibu, aku mau rambut aku dilurusin kaya yang di iklan itu. Mamah, aku pengen pasang behel kaya yang di sinetron itu biar trendy. Bu, aku ingin beli sabun ini, biar putih kaya artis”, pinta remaja perempuan zaman sekarang kepada ibunya
Bukan lagi hitungan tahun, kini hitungan hari, trend atau gaya hidup bisa berubah dan berganti setiap hari. Dari sekian banyak merek dagang yang membanjiri hidup kita mayoritas adalah diperuntukkan untuk seorang perempuan. Hampir semua bagian dari tubuh perempuan bisa dijadikan sebuah komoditas. Mulai dari rambut hingga ujung kaki. Pantaslah jika kaum hawa kini terus dieksploitasi oleh para pemain pasar. Cepatnya proses penyebaran gaya hidup ini pun didukung oleh media kini, yang semakin efektif efisien. Apapun itu bentuk medianya, mulai dari konvensional hingga yang paling mutakhir. Media menjadi sarana penebar racun yang paling efektif, dan televisi adalah garda depannya.
Televisi, baik dengan program acara maupun iklan yang ditayangkan, memang menjadi sarana produksi kebudayaan yang ampuh. Kebudayaan pop, begitulah ungkap kritikus Mazhab Frankfurt. Diproduksi bukan oleh masyarakat, dan dijadikan komoditas serta menjadikannya tidak auntetik, manipulatif, disinilah titik tekan Mazhab Frankfurt akan kebudayaan pop, yang mengistilahkannya dengan ‘Industri Kebudayaan’. Menurut Adorno dan Horkheimer, industri kebudayaan ini nantinya akan membubuhkan stempel yang sama atas berbagai hal. Keragaman produk industri pun hanya satu ilusi untuk sesuatu yang disediakan bagi semua orang sehingga tak seorang pun bisa lari darinya. (Adorno dan Horkheimer,1979;;123).