16 Oktober 2010

Hanya Ada Aku, Kamu dan Mata Itu

Yahya Zakaria 

Malam itu seperti biasanya, hanya bintang dan pucatnya cahaya rembulan yang sedikit mewarnai kegelapan. Aku berjalan sendirian, meyusuri trotoar yang sudah rusak karena banyak galian, tujuanku hanya satu, membeli sebungkus rokok, di warung yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah. Sesampainya disana, hanya ada ibu penjaga warung dengan matanya yang lesu, sorotnya tanpa gairah, serta diterangi lampu 5 watt, seakan enggan bercahaya.

Suara langkah kecil tiba-tiba datang persis di belakangku, dibarengi dengan bunyi khas kresek hitam. Sepersekian detik, langkah kecil itu kini terhenti, aku tidak menoleh, karena mataku sedang khusyuk menunggu sang Ibu warung membawakan pesananku. Tak berselang lama, Ibu warung berjalan dari dalam sambil membawa sebungkus rokok, dengan cara berjalannya yang berwibawa, gemulai. Transaksi pun dimulai. Beberapa koin receh kugenggam, sebagai kembalian, sambil mengucapkan terima kasih, aku membalikan badan. Sepasang mata menatapku, mata dari anak kecil umur belasan, yang duduk di pelataran warung persis di belakangku, kini aku tahu sumber suara itu.


Tak ada yang aneh memang dari anak kecil itu, Ia hanya duduk, mengenakan celana pendek, sweater kecil yang sudah agak robek di bagian leher. Sambil terus mengunyah makanan, yang berasal dari kresek hitam, aku melihat sedikit bumbu belepotan di pinggir bibir, tak ada yang Ia hiraukan, hanya Ia dan dunianya.

Di tengah sibuk mengunyah, mata anak kecil itu terus menatapku, sorotnya yang lugu, mendamaikanku. Kini aku mulai terpaku, aku jatuh dalam sorot keluguan bocah ingusan itu. Aku mematung beberapa detik, langkahku tercekat, tak ada kata yang mampu kuucap. Hanya aku dan sorot lugu mata itu.

Ada kerinduan yang kudapat dari balik bola matanya, ada kehangatan sekaligus keindahan dari tatapannya. Bocah belasan, hanya ada dia dan dunianya, sibuk mengunyah dengan bumbu makanan di sekitar bibir yang kecoklatan, sibuk menggenggam keresek hitam, sibuk mengatur volume pipinya yang naik turun, kembang kempis karena penuh terisi makanan. Aku rindu keluguan itu, sangat rindu.

Aku hanya melihat sorot lugu dari mata yang teduh dan tidak mengenal ragu. Dari balik matanya tersimpan makna, yang seakan berujar padaku, kalau anak ingusan itu, hanyalah bocah dengan ketidaktahuannya. Matanya kuat, sekuat kejujurannya menatap. Aku menjadi malu. Malu karena sering merasa sudah tahu, sering merasa pintar, sering congkak, tak tahu aturan.

Mata itu mengajaku tamasya ke masa lalu, masa dimana aku selalu hidup dan bangga atas ketidaktahuanku, masa dimana aku senang mendengar mitos, senang dibohongi oleh cerita-cerita ibu, masa yang belum mengenal abu-abu. Ya, masa itu yang menjadi alasan untuk terus mendalami tatapan bocah itu.

Kini bocah itu beranjak menuju muka warung, tatapannya lepas dan aku mulai berpikir, sambil berlalu. Baragam rasa bersilangan, meloncat, kacau. Ada malu, takut, bimbang dan ragu. Aku yang beranjak dewasa ini kadang lupa, betapa indah hidup dalam ketidaktahuan, betapa indah selalu mempertanyakan sesuatu, betapa indah ketika kita sadar bahwa hidup hanyalah waktu yang kita gunakan untuk selalu mencari tahu. Layaknya bocah ingusan itu yang tidak malu atas ketidaktahuannya di atas dunia yang semu.


Sumber gambar disini

Tidak ada komentar: