21 Oktober 2010

Koperasi, Negara dan Politik; Berbagai Kenaifan dan Keanehan Gerakan Koperasi Indonesia

Oleh: Firdaus Putra

Adanya istilah "gerakan" di depan kata "koperasi"seharusnya membuat gerakan koperasi kritis terhadap posisi diri, hak serta perannya. Bukan sekedar perkumpulan orang/ entrepreneur yang berbicara tentang perubahan sosial sambil lalu, melainkan sebenar-benarnya perjuangan sosial. Jika tidak, pecahkan saja gelasnya.

Avant Propos

Gerakan koperasi selalu mengumandangkan kemandirian internal dalam rangka membangun organisasi sekaligus usaha agar mengakar dan besar. Dilatari oleh semangat self help, maju-mundur, mati-tidaknya koperasi bergantung pada kemauan kolektif memperjuangkan nasibnya. Artinya, berkembang-tidaknya koperasi adalah murni tanggungjawab anggota koperasi. Bukan yang lain!

Dengan perspektif tersebut, gerakan koperasi meletakkan negara pada lingkaran luar anasir. Bahkan mengesampingkan begitu saja ada-tidaknya peran-serta negara (kebijakan pemerintah) mendukung atau tidak gerakan koperasi. Kebijakan negara, dalam konteks yang lebih khusus misalnya kebijakan ekonomi, pun serta-merta diabaikan.

Dalam klaim heroisme, kemandirian dan semangat self help nampak begitu memukau. Hanya saja masalahnya, adakah perspektif semacam itu berbasis pada realitas? Atau justru sebuah perspektif yang naïf? Atau ada ambiguitas pemaknaan hubungan antara koperasi, negara dan politik?


Beberapa Kenaifan dan Keanehan

Sebenarnya bukan hal yang tabu untuk membicarakan relasi antara koperasi dengan negara. Sekurang-kurangnya, Indonesia pernah mempunyai sejarah bahwa koperasi (per istilah) pernah tercantum dalam UUD 1945. Klaim yuridis ini juga didukung oleh fakta historis dimana salah satu founding father, Mohammad Hatta, secara aktif menyebarluaskan gagasan koperasi di Indonesia.

Tentu saja negara dalam konteks ini adalah sebagai eksekutor dan legislator sekaligus. Sebagai eksekutor yang mengeluarkan kebijakan yang diharapkan pro-koperasi. Dan sebagai legislator yang melahirkan undang-undang yang secara langsung atau tidak pro terhadap perkembangan koperasi. Lebih jauh lagi, secara langsung atau tidak negara bertanggungjawab untuk menumbuhkembangkan koperasi di tanah air. Bukan hanya melalui undang-undang khusus tentang koperasi, melainkan juga melakukan sinkronisasi terhadap perundang-undangan lainnya.

Sebagai contoh, adalah aneh ketika negara membebaskan masuknya investasi asing seperti; Carrefour, Giant, Common Wealth, Hypermart dan sebagainya di tengah masyarakat melalui UU Penanaman Modal. Berbagai investasi asing dalam bentuk usaha dagang atau lembaga keuangan itu, secara langsung atau tidak merupakan kompetitor gerakan koperasi di Indonesia. Gerakan koperasi Indonesia yang baru sedikit menorehkan kisah sukses harus beradu jotos dalam ring pasar bebas. Ya, bak David versus Goliath.

Tentu saja kejahatan negara seperti itu adalah cerita usang, klise dan berkali-kali kita dengar. Namun justru yang lebih aneh adalah ketika gerakan koperasi sendiri tidak merespon kebijakan ekonomi makro/ mikro secara serius. Sebagai asosiasi bebas individu atau badan usaha, koperasi merupakan salah satu pelaku ekonomi di tanah air. Sehingga aneh jika gerakan koperasi adem-ayem dengan perilaku negara yang begitu banal dan bias itu.

Mungkin gerakan koperasi Indonesia sudah ngrumongso kuwat (merasa tangguh) berhadapan dengan rezim kapital global. Namun nampaknya hal ini sekedar kege-eran yang terlalu naïf. Merasa mampu berdiri sendiri, padahal cukup tertatih. Merasa mampu adu jotos di ring pasar bebas, padahal kuda-kuda pun belum tangguh.

Keanehan lainnya adalah ketika gerakan koperasi malu-malu berbicara atau berperan dalam domain politik. Padahal, sebagai salah satu entitas organisasi/ usaha, gerakan koperasi Indonesia dipayungi oleh UU No. 25 tahun 1992 yang perlu kita ingat bahwa semua undang-undang adalah produk politik. Sehingga, sangat naïf bagi gerakan koperasi diam dalam domain politik.

Dalam konteks ini, politik yang dimaksud adalah politik non-kepartaian. Meminjam istilah Amien Rais adalah politik adiluhung. Yakni sebuah tanggungjawab dalam rangka mengawal kebijakan, mengontrol bahkan menekan negara demi kepentingan publik. Sebuah medan politik dalam makna dasarnya yakni policy atau ruang penggodogan kebijakan. Bahkan dalam konteks ini tidak menutup kemungkinan gerakan koperasi memainkan diri sebagai pressure group atau kelompok penekan.

Sebagai pioner, Rochdale (Inggris) menggariskan salah satu prinsip bahwa koperasi harus netral dalam politik. Jangan-jangan ragunya koperasi terlibat dalam wilayah politik akibat kekurangtepatan memaknai prinsip tersebut. Netral dalam politik artinya koperasi tidak terlibat dukung-mendukung partai atau calon tertentu. Seharusnya, koperasi wajib berpolitik dalam makna politik adiluhung di atas.

Mengambil opsi a-politis adalah langkah yang naïf. Dalam ruang hidup yang serba terlembagakan, penuh dengan berbagai peraturan, bersikap a-politis sama halnya dengan membiarkan orang lain mengatur diri kita. Di sisi lain, kita menjadi anak manis yang penurut. Justru dengan a-politis, berbagai kemudaratan sudah kita rasakan, yakni meluasnya kapling-kapling modal asing di republik ini. Berbanding lurus dengan menyempitnya lahan-lahan atau usaha-usaha koperasi. Meluasnya konsumtivisme dan hedonisme. Mengakarnya cara pandang materialistik yang cenderung artifisial dan seterusnya.

Di tengah berbagai kemudaratan itu, gerakan koperasi memainkan diri sebagai bengkel yang membenahi alam pikir sosial-ekonomi-budaya masyarakat. Gerakan koperasi begitu rupa mengampanyekan serta mengajarkan tentang arti penting gemar menabung, sikap hidup hemat, tidak konsumtif/ boros, pemakaian produk lokal/ dalam negeri dan sebagainya.

Polanya, gerakan koperasi berada di hilir masalah yang dengan paradigma pemberdayaannya berusaha me-recovery kerusakan-kerusakan yang ada. Anehnya, kita selalu diajarkan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Sehingga pemberdayaan yang ada tidak akan cukup efisien tanpa menyelesaikan atau terlibat aktif di hulu masalah.

Di sisi lain, klaim gerakan koperasi sebagai asosiasi bebas individu yang berbasis ideologi mungkin perlu kita uji. Salah satu indikator ideologi adalah kuatnya altruisme (sikap dan tindakan pengorbanan sosial) dalam suatu kelompok. Bagaimana koperasi (anggota) dapat dikatakan ideologis bila motivasi yang Nampak, cenderung rasional-transaksional daripada sebuah kemauan untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik-berkeadilan secara bersama-sama. Kemanfaatan yang selalu dikumandangkan koperasi adalah salah satu indikator dari nalar rasional-transaksional tersebut. Yang bisa jadi tidak berbeda dengan fasilitas/ menu yang ditawarkan oleh perusahaan/ badan usaha lainnya.

Kemudian perlu juga untuk mempertanyakan apakah klaim asosiasi yang tercipta merupakan ikatan ideologis atau teknis semata. Maksudnya, jangan-jangan perkumpulan orang yang ada sekedar pendekatan teknis dalam rangka memupuk modal untuk membangun usaha tertentu. Yang mana bila sendirian, yang bersangkutan tidak mampu mengoperasionalkan usaha tersebut. Sehingga agar efisien dan kapasitas modal tercukupi, perlu satu dengan yang lain berkumpul. Jangan-jangan membayangkan suatu motivasi ideologis dalam ikatan tersebut adalah ilusi yang terlampau mewah dan aneh!

Sintetis Paradigma

Secara paradigmatik gerakan koperasi merupakan usaha pembedayaan masyarakat melalui pendekatan sosial-ekonomi. Pola gerakan lebih berorientasi pada pembangunan basis, mengorganisasikan resources lokal, menciptakan sebuah model komunitas (mungkin seperti New Harmony dulu kala),mandiri dan bergantung pada komunitas. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada kultur masyarakat.

Di sisi lain, ada pendekatan ekonomi-politik yang lebih memusatkan bagaimana kebijakan negara dianggap sangat mempengaruhi hidup dan kehidupan masyarakat secara struktural. Polanya adalah advokasi suatu kebijakan tingkat nasional maupun lokal. Aktif sebagai pressure group yang independen dan sadar hak.

Dua paradigma gerakan sosial tersebut tidak menutup kemungkinan disintesiskan dalam tubuh koperasi. Membangun basis sekaligus sadar terhadap berbagai kebijakan struktural yang mau dinafikan atau tidak pasti berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya gerakan koperasi.

Ada beberapa alasan untuk mensintesiskan dua paradigma tersebut dalam tubuh koperasi:

  1. Gerakan koperasi di Indonesia dipayungi hukum yakni UUD 1945 dan UU No. 25 tahun 1992. Sedangkan undang-undang lahir dari jejaring anasir ekonomi-politik.
  2. Adagium mencegah lebih baik daripada mengobati mengisyaratkan bahwa koperasi perlu kritis bahkan terlibat aktif dalam merumuskan kebijakan negara, tidak hanya me-recovery kerusakan di masyarakat akibat kebijakan tersebut.
  3. Membangun model komunitas hanya mungkin benar-benar mandiri (a-politis total) jika koperasi mengisolasi diri dari dunia luar. Hal ini tidak memungkinkan di tengah-tengah struktur negara modern. Alih-alih, koperasi terjebak pada “autisme perjuangan”.
  4. Motivasi rasional-transaksional anggota dapat ditransformasi melalui pendidikan ekonomi-politik yang akan mendekatkan anggota kepada kontradiksi realitas yang ada saat ini.

Kemudian sintesa paradigma sosial-ekonomi-politik akan memberikan semangat bagaimana gerakan koperasi (cooperative movement) di Indonesia menjadi gerakan sosial sekaligus badan usaha yang benar-benar berbasis pada ideologi, sadar posisi dan juga sadar lapangan. Sebagai awalan perlu kiranya dilakukan beberapa usaha:

  1. Menuntut negara untuk melakukan affirmative action for cooperative yakni mengarusutamakan koperasi seperti halnya ketika negara melalui berbagai aparatusnya (termasuk dunia pendidikan, media massa, lembaga penelitian dan sebagainya) mampu mengarusutamakan isu gender di tengah-tengah masyarakat. Pengarusutamaan ini akan sangat tepat jika dimasukan dalam agenda menyongsong Hari Koperasi Internasional 2012.
  2. Menyusun kurikulum pendidikan perkoperasian yang kritis, kreatif dan produktif. Perlu kiranya gerakan koperasi memasukan materi ekonomi-politik dalam media ajar yang renyah misalnya melalui film animasi semisal Upin-Ipin. Sehingga diskursus yang melangit itu bisa dibumikan dan merangsang sikap altruisme anggota. Jadi bukan materi tentang kepemimpinan, managerial, akuntansi, kewirausahaan semata.
  3. Gerakan koperasi harus memainkan diri sebagai pressure group dan secara aktif mengawal atau mengontrol kebijakan pemerintah khususnya yang menyangkut persoalan ekonomi. Misalnya, revisi UU No. 25 tahun 1992, UU Penanaman Modal, UU Pertambangan, RUU Demokrasi Ekonomi dan sebagainya.
  4. Semangat ideologis cenderung lahir dalam median gerakan sosial daripada kewirausahaan semata. Sehingga perlu mendesain angle baru bagi gerakan koperasi, yakni sebagai gerakan sosial (social movement) yang mana, usaha hanyalah salah satu tools. Bukan sebaliknya!
  5. Mencetak ulang dan menyebarluaskan kepada gerakan koperasi Indonesia buku-buku karangan Mohammad Hatta yang memiliki nafas perjuangan yang tegas dan jelas.
  6. Membangun basis pengkaderan pemuda-pemuda koperasi secara serius, seperti Koperasi Mahasiswa (Kopma), Koperasi Pemuda (Kopeda) dan sebagainya.
Semacam Penutup

Saya khawatir bahwa di tahun 1979 Mohammad Hatta pernah berujar bahwa “Cita-cita koperasi Indonesia adalah dalam rangka menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamentil” adalah sesuatu yang salah dan ilusif. Karena yang nampak hari ini banyak koperasi tak ubahnya seperti mesin kapitalis atau sebuah perkumpulan wirausaha yang jika mereka besar jadilah kapitalis dengan omong kosong tentang gerakan ekonomi rakyat atau kemandirian ekonomi dan bla bla bla.

Saya pikir saat ini gerakan koperasi Indonesia bukan waktunya lagi untuk adem-ayem. Gerakan koperasi Indonesia wajib mengambil peran yang signifikan di republik yang kondisi perekonomiannya memasuki fase Siaga-3 ini. Atau jika tidak, pecahkan saja gelasnya!

Tidak ada komentar: