6 Oktober 2010

PBB dan Hak Veto yang Menjadi Senjata Perang Amerika Serikat

Oleh : Dodi Faedlulloh

Tercatat dalam sejarah bahwa lahirnya PBB (United Nations) didunia adalah dengan tujuan yang sangat mulia yaitu untuk menjaga perdamaian di dunia, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa, memupuk kerjasama internasional untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi, sosial, dan budaya, serta mengembangkan penghormatan atas Hak Asasi Manusia dan kebebasan. Lembaga internasional yang berdiri pada tanggal 24 oktober 1945 adalah bentuk lembaga yang menggantikan liga bangsa-bangsa yang telah berdiri sebelumnya. Konfrensi di San Fransisco, Amerika Serikat adalah saksi bisu yang menyaksikan hadirnya 50 wakil dari negara-negara di dunia dalam pendirian dan pengesahan piagam PBB yang mana para promotornya adalah negara-negara pemenang perang dunia II, yakni negara-negara sekutu yang terdiri dari AS, Uni Soviet, Inggris dan Perancis.

Dalam piagam PBB tersebut secara eksplisit mencantumkan apa yang namanya azas-azas PBB. Ada lima azas yang kemudian dijadikan landasan dalam setiap kegiatan PBB untuk merealisasikan tujuannya, yaitu : Persamaan derajat dan kedaulatan semua negara anggota. Persamaan hak dan kewajiban semua negara anggota. Penyelesaian sengketa dengan cara damai. Setiap anggota akan memberikan bantuan kepada PBB sesuai ketentuan Piagam PBB. dan PBB tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara anggota.


Tak dapat disangkal bahwa PBB telah melakukan banyak hal yang patut dipuji untuk kedamain dunia. Namun, adanya hak veto untuk lima negara anggota tetap Dewan Keamanan, yaitu AS, Rusia (dulu Uni Soviet), Inggris, Prancis dan China, telah membuat kebijakan Dewan Keamanan sebagai salah satu badan utama PBB, selalu mengikuti langkah kelima negara tersebut, khususnya AS. Sebaliknya, Majelis Umum yang menjadi forum seluruh anggota PBB justru tidak memiliki kekuatan yang berarti dibanding dengan Dewan Keamanan. Ketidakadilan inilah yang telah menghambat keberhasilan PBB dalam mengemban misinya, dan bahkan telah melahirkan protes dari banyak negara anggotanya.

Berdasarkan statistik dari tahun 1946-2002, negara yang paling banyak menggunakan hak veto adalah Uni Soviet, yaitu sebanyak 122 kali. Kemudian diikuti oleh Amerika Serikat sebanyak 81 kali, Inggris sebanyak 32 kali dan Prancis menggunakan hak veto sebanyak 18 kali. Sedangkan China baru menggunakannya sebanyak 5 kali. Dari statistik di atas, terlihat jelas bahwa hak veto didominasi oleh dua negara yang pernah bersiteru dalam perang dingin, yaitu Uni Sovyet dan Amerika Serikat.

Ini menjadi suatu hal yang konyol ketika PBB yang sejatinya adalah lembaga yang mengusung kedamain namun bak menjadi mobil yang mudah disetir semau pemilik Hak Veto. Celakanya setelah salah satu negara adidaya, Uni Soviet pada tahun 1991 runtuh membuat kekuatan dunia hanya dikuasai secara tunggal oleh satu Amerika Serikat sang pengusung ideologi liberalisme dan kapitalisme, sehingga kiblat dunia akan dipaksa selalu mengacu padanya.

Lihatlah salah satu contoh konkret saat ini ketika berkecamuknya agresi Israel di wilayah Gaza. Hak veto yang dimiliki Anggota Tetap Dewam Keamanan PBB menjadi menarik untuk dibahas dan dikaji ulang. Secara kasat mata jelas kini hak veto berubah menjadi senjata perang yang digunakan Amerika Serikat untuk melegalkan penindasan Israel terhadap Palestina. Padahal hampir mayoritas negara mengecam dan mengutuk aksi brutal Israel di wilayah Gaza.

Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Global Policy Forum pada tahun 2006 menyatakan kalau Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya guna membendung tindakan internasional terhadap kebrutalan agresi Israel sebanyak 41 kali dari 82 hak veto. Pada tahun yang sama (2006) saat itu juga Amerika Serikat melalui juru bicaranya, John Bolton, memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan yang mengecam serangan Israel di Gaza dan menggunakan hak vetonya juga untuk menolak keputusan agar Israel menghentikan serangannya ke Lebanon. Dengan ini untuk kesekian kalinya sejarah kelam mencatat ketidakberdayaan Dewan Keamanan PBB mengatasi konflik yang terjadi di Timur-Tengah.

Penggunaan hak veto yang dimiliki Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB adalah bertentangan dengan asas keadilan dan mengingkari realitas sosial. Seringkali sebuah keputusan yang telah ditetapkan dalam forum PBB dibatalkan oleh negara pemilik hak veto. Tidak hanya sekali-dua kali hak veto digunakan AS untuk melapangkan jalan bagi Israel melancarkan perang, ironis bukan ?.

Sebagai manusia yang menjungjung tinggi humanisme, dari hati yang paling dalam kita bisa meng-iyakan bahwa agresi Israel ke wilayah Gaza adalah melanggar hukum-hukum humaniter internasional yang ditetapkan PBB sendiri, namun karena adanya hak veto justru membiarkan hukum-hukum humaniter internasional itu dilanggar oleh Israel.

Masa Depan Demokrasi dalam Tubuh PBB

PBB sebagai penjaga hukum internasional agar dapat dilaksanakan ternyata mandul dihadapan salah satu organ dalam tubuhnya sendiri, yakni Dewan Keamanan, berbagai keputusan keputusan PBB selalu dapat dimentahan begitu saja jika tidak sejalan dengan kepentingan para pemilik veto terutama Amerika serikat, yang riil menjadi kekutaan tunggal di dunia saat ini.

Keberadaan hak veto perlu dikaji ulang. Semana yang diketahui, pemberian hak veto yang dilegitimasi melalui Pasal 27 Piagam PBB bagi Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB adalah diberikan untuk negara-negara pemenang perang Artinya, pemberian hak veto setidaknya adalah ambisi tersembunyi negara-negara pemenang perang untuk tetap kembali memiliki kekuatan dalam mengendalikan jalannya dunia.

Semenjak dulu memang hak veto telah banyak ditentang oleh banyak pihak diantanya adalah seorang Kofi Anan, mantan Sekjend PBB yang pernah mengusulkan penghapusan hak veto karena telah menjadi penghambat reformasi di tubuh PBB. Bilamana yang diusung PBB adalah demokrasi dan kedamaian dunia bukankah lebih bijak bilamana keputusan PBB dalam menyangkut segala urusan tetap harus berada di Majelis Umum sebagai representasi seluruh anggota tanpa intervensi negara-negara di Dewan Keamanan PBB.

Keberadaan Veto dalam Tubuh PBB mesti dihilangkan guna terciptanya demokrasi sebagai elemen utama dalam piagam PBB, sekaligus membawa dunia menuju kekuatan yang Unipolar, sederajat dan salang menghargai, agara perdamaian dunia yang sejati dapat diwujudkan.

Tuntutan penghapusan Veto ini, adalah tuntutan yang wajib kita suarakan bila kita sepakat dengan demokrasi, karena mustahil ada demokrasi bila hak Veto masih bercokol dalam tubuh PBB. Untuk itu kini kita dituntut untuk menyuarakan penghapusan hak veto itu secara konsisten termasuk mendesak kelima negara pemilik hak veto agar bersedia melepaskan hak vetonya. [] 

*) Penulis adalah mahasiswa jurusan administrasi negara Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, anggota Kidal Collective.

Tidak ada komentar: