15 Desember 2010

Yang Menyesatkan dari Filsafat Postmodernisme

Oleh : Nurani Soyomukti

Pemikiran posmodernisme, sadar atau tidak, telah diterima oleh masyarakat kita, khususnya kaum terpelajar. Bahkan pemikiran ideologisnya juga merambah dan meluas, merasuki cara berpikir masyarakat kita. Di tingkatan akademik dan penelitian filsafat, kehadiran posmodernisme di Indonesia juga telah menghadirkan diskusi yang panjang. Di sini, baik yang pro maupun yang kontra, nampaknya juga telah berdebat terlalu jauh, tanpa sungguh-sungguh mendalami konteks sosial dan institusional di mana debat tersebut telah berlangsung awalnya di negeri-negeri maju.

Akibatnya, kita banyak melupakan persoalan-persoalan dasar yang harus dihadapi dan dipecahkan di negeri ini. Posmodernisme hanyalah sejenis eksperimen intelektual yang ‘kenes’, tak lebih dari teori yang bersandar pada ‘permainan bahasa’ (language game), yang justru membuat kalangan terpelajar lupa pada realitas penindasan yang membutuhkan keyakinan filsafat yang mampu merubah secara mendasar kapitalisme modern yang mengglobal yang menjadi sumber bencana umat manusia, yang imbasnya juga begitu terasa di Indonesia.

Relativisme seakan menjadi cara berpikir orang yang acuh terhadap realitas karena realitas seakan tak ada gunanya dipahami, tetapi hanya dimaknai. Seorang yang posmois barangkali akan mengatakan: ”Setiap orang unya makna dan punya kemampuan megembangkan pemaknaannya sendiri terhadap realitas. Jangan dicampuri, kalau mencampuri itu namanya penjajahan makna atau kolonialisasi pengetahuan [Sic!]”. Sangat tepat apa yang dikatakan Ernest Gellner bahwa:


Bagi posmo semuanya adalah makna, makna adalah segalanya, dan hermeneutika (kurang lebih bisa dipahami sebagai aliran filsafat yang bertujuan menafsirkan realitas sebagai ‘teks’) adalah nabinya. Apapaun sesuatu itu, ia ditentukan oleh makna yang ada di dalamnya. Adalah makna yang membuat sesuatu berubah dari sebuah keberadaan yang tidak jelas menjadi sebuah objek yang dapat dikenal. (Tetapi makna yang memberikan eksistensi juga menentukan status, dan demikian merupakan alat dominasi). Mungkin gabungan antara subjektifitas dan hermeneutika dengan janji yang mengabsahkan-diri sendiri-dan monopoli?—tentang kebebasan inilah yang menjadikan cara pandang ini berbeda. “Subjek” menjadi semacam alat perlindungan, semacam benteng; meskipun kita tidak pernah yakin tentang dunia luar, paling tidak kita merasa pasti dengan perasaan pikiran, dan indera kita sendiri. (Ernest Gellner. Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius. Bandung: Mizan, 1994, hal. 41)

Jika demikian, berangkat dari pendapat Gellner di atas, saya ikut mencurigai bahwa posmodernisme adalah cara pandang yang subjektif. Sedangkan subjektifisme harus dijauhkan dalam dunia ilmu pengetahuan karena ilmuwan dan intelektual tidak boleh bertindak atas subjektifitas, mereka harus berpihak pada kebenaran—kebenaran yang menurut Maxim Gorky, dalam Novel ”Ibunda”: “... bahkan samudra darahpun tak dapat menenggelamkan kebenaran”.

Sepemahaman saya, makna bukan hanya produk pengetahuan tetapi juga psikologis (perasaan). Artinya, dalam diri ini makna terlalu sublim. Makna juga dapat dimanipulasi, karena ia bukan hanya terungkap dalam mimik wajah tetapi juga bahasa—dalam banyak hal bahasa tak mampu mewakili makna sejati. Jadi “permainan bahasa” bukanlah pengetahuan/filsafat, bukan masalah bagaimana realitas (objek) diketahui. Dan hubungan antara subjek dan objek sebagai jalan mencari kebenaran memang dijauhi oleh cara pandang posmodernisme.

Makanya tak mengherankan jika suatu karakter yang paling dikenal dari posmodernisme adalah penolakannya pada objektifitas dan metode mencari objektifitas yang disebutnya sebagai “positivisme”. Kaum posmois biasanya menolak realitas struktur objektif san mereka disebut sebagai kaum “post-positivist”. Mereka juga menolak struktur objektif, sehingga mereka disebut “post-structuralist”. Inilah yang menurut saya akan mengacaukan ketika posmodernisme dipegang sebagai metode pendidikan. Pasti kaum posmois akan menghalangi para peserta didik untuk mengenal realitas objektif. Menganggap bahwa pendidikan adalah “permainan bahasa” atau tiap anak didik memiliki “makna”-nya masing-masing, yang terjadi adalam metode pendidikan yang tidak serius.

Apalagi istilah positivisme sendiri menimbulkan semacam kebingungan. Penolakan terhadap objektivitas tentu saja saja wajib dicurigai. Martin Hollis, seorang filsuf dalam Hubungan Internasional, mengomentari kebingungan yang menyertai penggunaan istilah ‘positivisme’ dan menawarkan versi dari apa yang bias diartikan oleh penolakan positivisme. Lebih jauh, ia menjelaskan apa yang dimaksud pos-positivisme dan kecenderungan-kecenderungan negatifnya (the danger of relativism). Bahkan dia mengkawatirkan dengan menolak objektivisme dan analisa material terhadap dunia sosial, kaum pos-positifis (posmodernis) juga menolak penggambaran realitas yang nyata. Lebih lanjut ia menyayangkan sikap skeptisisme kaum posmo terhadap objektivitas ilmu pengetahuan; dia justru “berkata banyak tentang objektivitas dan naturalisme” (say more about objectivity and naturalism) yang sebenarnya lebih menjadi dasar dari ilmu pengetahuan itu sendiri. (Martin Hollis, The Last Post?. Dalam Steve Smith, Ken Booth, Marysia Zalewski (eds.), “International Theory: Positivism and Beyond”, (Cambridge University Press, New York, 1996), hal. 308 ).

Dalam proses pembelajaran, tentu kita akan menekankan cara pandang universal dan mentotalitaskan suatu gejala agar anak-anak didik mudah memahami, agar anak didik memiliki ukuran dan patokan dalam menilai realitas kehidupannya. Anak didik harus mengenal alam yang sifatnya material (konkrit, objektif) dengan gejala-gejalanya yang universal; anak didik harus mengenal bagaimana hubungan sosial berjalan dan apakah hubungan-hubungan itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Kemanusiaan adalah patokan dan dapat diukur, hidup tidak mengalir seperti tai di sungai yang kotor yang membuat orang bebas mengikutinya. Dengan percaya kebenaran, generasi kita tahu mana yang salah, dan tahu bagaimana yang salah dan tidak manusiawi harus diubah.

Tidak berhenti di situ, untuk mengenali realitas alam dan kehidupan secara objektif, peserta didik harus terjun langsung ke dalam realitas, mnyelidiki, meneliti, dan praktek. Praktek adalah metode yang paling efektif untuk memahami kehidupan secara dialektis—suatu cara pandang bahwa hidup ini adalah material dan berubah, saling berhubungan antara bagian-bagian materialnya.

Tujuan pengetahuan dan filsafat adalah agar generasi kita mampu untuk mengenali dan mempelajari kenyatan ini dalam rangka untuk merubahnya. Tanpa pengetahuan objektif, berarti akan terjadi manipulasi terhadap realitas. Tanpa itu, yang akan lahir adalah ”generasi cuek”, permisif, malas, dan mengikuti maknanya sendiri. Pada hal otonomi makna adalah mitos karena makna tidak tercipta dengan sendirinya. Makna disangga oleh realitas material. Makna yang ada dalam kehidupan dalam setiap orang memang tidak sepenuhnya sama, tetapi tetap posisi materiallah yang tetap banyak menentukan makna apa yang akan tercipta. Apalagi hidup benar-benar nyata, material, dan hidup bukalah ilusi, mimpi, atau sandiwara.

Kaum relativis bukannya mencari sumber ilmu pengetahuan di mana realitas material yang akan dijelaskan menjadi acuannya, tetapi justru sibuk pada makna manusia dalam mempersepsikan realitas. Ketertarikan posmodernisme sebagai kegiatan intelektual memang terlalu sibuk menganalisa persepsi, citra, makna, simbol, dan lain-lain. Dan untuk melihat persoalan yang penting di masyarakat, yaitu adanya hubungan eksploitatif yang menebabkan kacaunya hubungan sosial dan berbagai kontradiksi moral, ideologis, dan mental, kaum posmois segera beranjak untuk mengambil ide, makna, subjektifitas (bukan materi da realitas) untuk menjadi bahan analisanya tentang persoalan masyarakat. Hal ini tentu saja menjadi sumber kecacatan kaum posmodernis-relativis, dimana filsafat dan pengetahuan bukan lagi persoalan bagaimana memahami objek, tetapi telah beralih menuju persoalan bahasa, struktur pikiran, ilusi, makna dan lain sebagainya.

Gunnar Myrdal mengatakan: “Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran ‘objektif’. Kepercayaan seorang mahasiswa ialah keyakinannya bahwa kebenaran itu adalah segala-galanya dan bahwa khayalan itu merusak, terutama khayalan-khayalan oportunistis. Ia mencari ‘realisme’, suatu istilah yang salah satunya menunjuk pada suatu pandangan ‘objektif tentang realitas’. (Gunnar Myrdal. Objektivitas Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES, 1981, hal. 1).

Tujuan ilmu pengetahuan adalah membantu upayanya untuk mengubah realitas kenyataan alam atau kenyataan sosial. Dan tidak mungkin pendekatan posmo akan bisa mewakili realitas dari hubungan global karena mereka tidak menjelaskan dari sudut realitas, mereka anti-materialis historis. Hanya dengan dasar material sejarahlah hubungan global akan mampu dijelaskan karena, sebagaimana ditegaskan Gellner:

“Masyarakat manusia adalah sebuah interaksi kompleks dari berbagai faktor eksternal—paksaan dan produksi—dan berbagai makna internal. Ini tidak diragukan. Ciri sebenarnya dari interaksi itu tidak bisa dimulai sebelum penyelidikan, demi predominasi unsur-unsur semantis atau ‘kultural’. Fakta utama mengenai dunia sebagaimana yang dipahami sekarang adalah bahwa dunia sedang berada dalam sebuah transisi yang fundamental dan krusial, sebagai akibat dari asimetri yang mendasar dan tidak sepenuhnya bisa dimengerti antara satu gaya kultural tertentu dengan lainnya.

Posmodernisme adalah suatu gerakan yang—sebagai tambahan dari cacat-cacat lain: ketidakjelasan, kepura-puraan, ikut-ikutan, berlagak—melakukan kesalahan-kesalahan besar dalam metode yang direkomendasikannya. Kesukaannya akan relativisme dan perhatian berlebihan terhadap keanehan semantik membuatnya tidak dapat melihat aspek non-sematik yang ada dalam masyarakat dan, yang paling penting, asimetri yang muthlak meluas dalam kekuasaan kognitif dan ekonomi di dunia ini.

Relativisme yang menjadi sumbernya tidak memiliki, dan tidak bakal memiliki, satu programpun, apakah itu politik atau bahkan dalam penelitian. Satu hal, itu adalah suatu hal yang dibuat-buat. Siapapun yang mengajukan, ataupun mempertahankannya dari serangan kritikusnya, akan terus—setiap kali berhadapan dengan isu serius ketika kepentingan mereka mereka libatkan—bertindak berdasarkan asumsi non-relativistik bahwa satu visi khusus secara kognitif akan lebih efektif ketimbang yang lainnya… para praktisi ‘posmo’ telah sangat jauh melangkah pada arah untuk menanggalkan penelitian dan teori, dan menggantikan keduanya dengan suatu usaha untuk membawa objeknya sendiri, yaitu Makna dari Yang Lain, dengan memaksa objek berbicara mewakili dirinya sendiri… pada akhirnya mereka tidak bisa berbuat lain kecuali kembali pada suatu penelitian yang menempatkan objek dalam konteks dunia sebagai mana dipahami oleh suatu kebudayaan yang ‘ilmiah’ dan dominan…

Berkompromi dengan kekacauan global, yang diakibatkan oleh suatu kekuatan kognitif serta teknologi tertentu, tidaklah mudah dan tentu saja tidak akan dilakukan di sini. Relativisme hanyalah sebuah daya tarik…bagi anggota budaya yang mendapat hak istimewa, yang berpandangan sempit dan naif, yang mengira bahwa pembalikan pandangan menjadi relativisme akan mengurangi hak istimewa mereka dan, pada saat yang sama, dapat memahami orang lain dan diri mereka sendiri serta saling memahami kesulitan yang dihadapi bersama”.( Ernest Gellner. Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius. Bandung: Mizan, 1994, hal. 101-102)

Pandangan itu ekuivokal dengan apa yang dikatakan Andre Gorz:

“Mengatakan bahwa kontradiksi mungkin tidak atau tak akan dirasakan sangat berbeda dengan mengatakan bahwa kontradiksi itu tak akan bisa dipahami. Jika ada kontradiksi, maka pastilah kontradiksi itu merasuk ke dalam level tertentu dalam alam pengalaman massa. Yang menjadi problem kemudian adalah bagaimana membuat yang tak terasa itu dipahami”.

(Andre Gorz. Sosialisme dan Revolusi. Yogyakarta: Resist Book, 2005, hal. 16).

Konsekuensinya, karena cuek pada realitas objektif, cita-cita “kebebasan” dan “otonomi” yang digembar-gemborkan posmois Nampak utopi. Tepatnya, mereka hanya gembar-gembor tetapi tak mau berbuat. Karena realitas kehidupan yang menjadi sumber dari ketidakbebasan dan penindasan itu pada dasarnya tertotalitaskan secara material, dan penjelasannya juga harus universal—dan cara merubahnya juga membutuhkan suatu kekuatan yang bersifat menyatukan karena penindasan dapat bertahan justru karena tidak terjadinya penyatuan sejati dalam kenyataan riilnya. Penindasan ditimbulkan oleh disharmoni suatu totalitas material.

Posmodernisme seakan tidak memahami pentingnya kedekatan manusia dengan dunianya, realitas dengan objektifitas dan totalitasnya. Pada hal, hanya dengan hidup secara total dengan realitas, anak-anak didik akan mampu mempercepat pemahamannya akan berbagai persoalan yang ada di dunia. Semakin ia dekat dengan realitas, kian objektif pandangannya terhadap suatu masalah yang berakar pada realitas, kian dewasalah cara berpikir dia. Filsuf Jerman, Goethe, pernah mengatakan: “Manusia mengetahui dirinya sebanyak pengetahuannya tentang dunia; manusia mengetahui dunia hanya dalam dirinya sendiri dan dia menyadari dirinya sendiri dalam dunia ini. Setiap objek yang benar-benar baru dikenal membuka sebuah organ baru dalam diri kita”.( Dikutip dalam Erich Fromm. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 38).

Dengan mengajak Anda untuk melakukan gugatan terhadap cita-cita filsafat posmodernisme, melalui buku ini saya mengajak pembaca untuk mengenali lebih jauh suatu filsafat humanis yang membuat manusia sadar akan realitasnya—itulah tujuan proses pendidikan untuk pembebasan yang dicita-citakan Marx(isme). Konsep manusia Karl Marx, yanga awalnya banyak dipengaruhi Hegel, bertugas untuk “membedakan yang esensial dari proses realitas yang tampak, dan untuk menangkap hubungan antara keduanya”. Lebih jauh Hegel juga pernah mengatakan:

“Dunia ini adalah dunia yang asing dan keliru jika manusia tidak menghancurkan objektifitas yang tumpul dan mengenali dirinya dan kehidupannya di balik bentuk dan benda-benda serta hukum-hukum yang tetap. Ketika manusia akhirnya memenangkan kesadaran diri ini, berarti dia sedang menuju bukan hanya pada kebenaran diri sendiri tetapi juga pada kebenaran dunia. Dan dengan pengenalan ini, proses tersebut berjalan terus. Manusia akan menaruh kebenaran ini pada tindakannya, dan membuat dunia menjadi apa yang secara esensial merupakan pemenuhan kesadaran-dirinya”. (ibid., hal. 37).

Berbeda dengan dialektika historis, filsafat posmodernis bukan hanya abstrak, tetapi ‘mbulet’ dan bermain pada wilayah ‘permainan bahasa’, tidak realistik. Paradoks dari filsafat bahasa ala posmodernis seperti Jacques Derrida, misalnya, disebabkan oleh filsafat bahasa yang anti-realistik yang menyangkal kemungkinan kita untuk mengetahui realitas yang independen dari diskursus. Sebagaimana ditegaskan Alex Callinicos, sikap anti-realisme ini menghalangi kita untuk mempersoalkan kemungkinan untuk membicarakan relasi antara bentuk-bentuk diskursus dengan praktek-praktek sosial, entah praktek-praktek ini melestarikan ataupun menentang dominasi yang ada. Secara kontras pos-strukturalisme ‘duniawi’ ala Michael Foucault dan Deleuze memberikan arti penting yang sentral terhadap relasi ini. Keduanya mencoba untuk mengkontekstualisasikan diskursus tersebut. Dan Foucault mengatakan:

“Saya percaya bahwa titik rujukan orang itu bukanlah model agung bahasa dan tanda-tanda, namun model agung perang dan pertempuran. Sejarah yang mengusung dan membentuk diri kita lebih berbentuk perang ketimbang berbentuk bahasa: SEJARAH ADALAH RELASI-RELASI KUASA, BUKAN RELASI-RELASI MAKNA”.

(Alex Callinicos. Menolak Posmodernisme. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. 124)

Sedangkan Deleuze dan Guttari berpolemik menentang ‘imperialisme penanda’ (imperialism of the signifier) dan berusaha untuk mengembangkan teori bahasa yang pragmatik yang bermula dari karakter sosial yang paling mendasar dari ucapan (uterrance). Sifat pragmatik ini sendiri telah termuat dalam gagasan Foucault mengenai ‘pengetahuan-kuasa’: “Tak ada relasi kuasa tanpa ada pembentukan sebuah medan pengetahuan yang berkorelasi dengannya, dan juga pada saat yang bersamaan tak ada pengetahuan tanpa mengandaikan dan pada saat yang bersamaan membentuk relasi-relasi kuasa”.

Ini sebenarnya menunjukkan bahwa pertarungan kuasa yang paling nyata memang terjadi bukan pada aras bahasa atau makna, tetapi dalam wilayah yang lebih konkrit dan nyata, yaitu ekonomi atau kekuatan-kekuatan produktif—sebagaimana dipahami filsafat historis-dialektis.

Posmodernisme berakar pada ‘The Dada Craze’ di tahun 1920-an dan dikembangkan oleh sejumlah intelektual Perancis seperti Jacquez Derrida dan Michel Foucault. Berbeda dengan pencarian Enlightment terhadap estetika, etika, dan pengetahuan yang rasional, posmodernisme sibuk berurusan dengan pertanyaan tentang otentisitas berbagai ideal yang ada. Gerakan ini mengembangkan kosa kata yang tak jauh beda dengan retorika untuk mempertanyakan dan memutarbalikkan otoritas dengan menggunakan metode yang dikenal dengan dekonstruksi. Ketidakpercayaannya pada kebenaran universal, ia akan mentertawakan anak Anda yang sedang tumbuh dan berkata: “SAYA TAHU SESUATU!”

Posmo mencurigai berpikir kritis dengan berpendapat bahwa pengetahuan kritis dan rasionalitas tak lebih dari perwujudan nilai masyarakat Barat yang didominasi oleh pria dan karenanya mengajarkan pembelajaran dan mempraktekkan berbagai metode yang secara alami mengarah pada sebuah masyarakat yang meremehkan etika dan pandangan budaya lain. Tentu saja, pertama-tama, klaim posmo tersebut tak didasarkan pada bukti: Karena penggunaan rasio dan penalaran bukan hanya ciri khas masyarakat Barat. Penggunaan nalar dan logika telah ditemukan di berbagai komunitas dan budaya, termasuk di Mesir Kuno, Babilonia, dan Maya. Sekarang ini semua ras dan jenis kelamin terlibat dalam penelitian ilmiah.

Tidak sedikit penelitian sejarah yang menunjukkan tentang peran subjektifitas dalam memundurkan berbagai peradaban yang agung dan besar. Yang jelas, objektifitas berada pada luar dunia kita, berbagai hukum fisika, fungsi masyarakat, berbagai kebutuhan praktis manusia; Sedangkan subjektifitas terpaku pada dunianya sendiri, kontemplasi kesadaran dan arti dari berbagai kondisi emosi. Objektifitaslah yang memotivasi manusia untuk mengukur dunia dengan pengetahuan (sains) dan matematika, menciptakan bahasa, membuat perkakas dan gerabah, membangun ‘aqueduct’. Objektifitas memungkinkan munculnya nalar dan pemikiran kritis, sebuah pemahaman yang digunakan oleh bangsa Yunani Kuno untuk mengubah dirinya menjadi sebuah masyarakat baru yang demokratis. Objektifitas dan ilmu pengetahuan kritis yang masih dapat kita gunakan untuk menciptakan tatanan yang adil di era sekarang ini.

Maka, simaklah hasil renungan Charles Van Doren dalam bukunya ‘A History of Knowledge’ berikut ini:

“… Singkatnya, tiba-tiba muncul masyarakat baru di dunia ini, yang disebut bangsa Yunani Kuno sebagai episteme, dan kita menyebutnya sains. Pengetahuan yang terorganisir. Pengetahuan public, didasarkan pada berbagai prinsip yang dapat ditinjau dan diuji secara periodis—dan dipertanyakan—oleh semua orang… ada sangat banyak konsekuensi. Pertama ide tersebut mengatakan bahwa hanya ada satu kebenaran, bukannya banyak kebenaran, mengenai apapun: orang-perorang mungkin saling menentang, tetapi memang hanya itu yang mereka lakukan, maka harus ada yang benar dan ada yang salah”.

(Charles Van Doren. A History of Knowledge. Ballantine Books, 1991, hal. 57).

***

Tidak ada komentar: