18 November 2010

Kaum Oportunis

Oleh : Nurani Soyomukti

Saya tidak tahu pasti dari mana kata “Oportunis” berasal. Tapi saya teringat pada kata berbahasa Inggris, “Opportunity” yang artinnya “kesempatan” atau “peluang”. Dan kemungkinan besar kata “oportunis” berasal dari kata berbahasa Inggris “opportunist” yang artinya orang yang rajin menangkap peluang atau menangkap kesempatan.

Dalam pelajaran dan mata kuliah Ekonomi atau Manajemen dulu, “Opportunity” diajarkan sebagai konsep yang penting karena keberhasilan ekonomis dan kesuksesan orang salah satunya adalah akibat kemampuan memanfaatkan kesempatan dan peluang. Apalagi dalam ilmu ekonomi di sekolah-sekolah dan universitas yang telah dirasuki oleh kurikulum, ideologi, dan cara pandang kapitalistik, kemampuan membaca dan memanfaatkan peluang merupakan keutamaan untuk memenangkan persaingan.

Prinsip ilmu ekonomi kapitalis, karena menegaskan cara pandang dan kepentingan kapitalis (pemilik/penumpuk modal), adalah seperti ini: “Dengan modal sekecil-kecilnya, untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya”. Masih ingat betul saya harus menghafal doktrin itu dan harus menuliskannya sebagai jawaban ketika salah satu soal ulangan dalam pelajaran Ekonomi Koperasi (Ekop) waktu sekolah SMP dulu berbunyi: “Bagaimanakah prinsip ekonomi?”


Aneh memang, dan memaksa. Bagaimana bisa, saya bukan seorang kapitalis, bukan pengusaha. Saya juga bukan anak seorang pengusaha, bapak bukan seorang manajer pemasaran. Saya sendiri tak pernah punya cita-cita seperti itu. Bapak saya adalah seorang petani, ibu saya juga bukan pedagang. Jadi terasa aneh pula jika manusia harus menghafal doktrin-doktrin itu untuk menjalankan kehidupannya.

Keanehan paling terasa saya alami ketika saya sudah memahami bagaimana kita hidup. Saya merasa bahwa hidup itu tidak harus dijalani dalam nuansa persaingan membuta yang seringkali mengakibatkan akibat tidak manusiawi. Apalagi persaingan yang menghalalkan segala cara. Bukankah akibat persaingan untuk hidup itu pula seringkali kejahatan itu muncul. Karena harus hidup maka orang harus mencari makanan, untuk mendapatkannya orang harus cari uang, dan untuk mendapatkan uang maka orang harus bekerja. Lalu apakah dengan bekerja saja orang akan mampu memenuhi kebutruhannya? Ternyata tidak, masalahnya ternyata bukan hanya KERJA tetapi juga HUBUNGAN KERJA atau lebih tepatnya HUBUNGAN PRODUKSI. Dari sinilah kita melihat bagaimana kontradiksi (masalah) itu muncul.

Sebagai contoh seperti ini: mereka yang paling keras bekerja dan menghasilkan banyak waktu, justru mendapatkan sedikit—tetapi yang ongkang-ongkang kaki dan nyantai-nyantai saja bisa hidup lebih enak dan nikmat. Inilah kontradiksi. Inilah akar masalah kehidupan. Kontradiksi dalam hidup yang membatasi dan mengatur kehidupan secara umum. Ada kontradiksi umum, tetapi juga ada kontradiksi-kontradiksi khusus yang dilandasi oleh kontradiksi umum (kontradiksi pokok).

Jadi ternyata sudah ada hidup yang memiliki sistem dan hubungan yang punya kemampuan membentuk (konstitutif). Ia adalah tatanan yang menyangga bentuk hubungan-hubungan dalam kehidupan manusia. Lalu di manakah letaknya peluang ketika hidup sudah ditentukan oleh tatanan dasar dan kuat itu?

Peluang dan Hubungan Produksi

Ketika ada ucapan ”semua orang ingin sukses”, kita sebenarnya itu bukan bermakna individualistik. Artinya ada kebutuhan universal, sama-sama dimiliki oleh semua manusia dari bentuk warna kulit, agama, suku, budaya, jenis kelamin apapun. Semua manusia (meskipun berbeda-beda identitas dan kelompok) memiliki kebutuhan yang sama. Yang harus sama-sama dipenuhi. Ia adalah kebutuhan material. Meskipun beda agama, semua orang juga harus makan, punya rumah, sehat, tumbuh berkembang dengan syarat-syarat material yang cukup.

Tetapi dalam sebuah tatanan masyarakat yang hubungan produksinya eksploitatif (kapitalisme), hal itu tidak terjadi. Seharusnya peluang untuk hidup bermartabat dengan sokongan material yang cukup yang dapat digunakan untuk melangkah pada tahap estetik, etik, dan spiritual dan pembangunan karakter kemanusiaannya. Tetapi dengan hubungan produksi yang sudah ada, terutama hubungan kepemilikan yang kapitalistik, peluang untuk hidup layak menjadi sempit. Kenapa? Sumber daya alam, alal-alat produksi, dan hasilnya dikuasai oleh segelintir orang dan mayoritas lainnya tidak memiliki dan mendapatkan hasilnya.

Nah, bicara peluang itu kan bicara soal alat produksi dan kemampuan apa yang dimiliki. Peluang bagi orang-orang yang tersingkir dari alat dan proses produksi (wilayah produktif) adalah sangat kecil. Ok, katakanlah kapitalis butuh pekerja yang akan diajak untuk masuk pada tempat dan proses produksi, misalnya dalam proses pembuatan produk yang akan dijual dia akan merekrut orang-orang yang akan dikerjakan agar proses produksi berjalan, agar komoditas dihasilkan dan kemudian didistribusikan untuk dipakai masyarakat (dijual). Dibutuhkan orang-orang yang terlibat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi dalam masyarakat kapitalis. Tetapi keuntungan besar tetap ada di tangan kapitalis, karena buruh (pekerja) terutama sektor pekerja fisik akan diupah serendah mungkin. Upah yang rendah ini akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup, dan karena kapitalis selalu mematuhi hukum kapitalisme (mencari keuntungan sebanyak-banyaknnya dengan cara mengupah serendah mungkin), maka upah itu selalu tak cukup. Sementara pekerja berkerah putih (manajer, dll) yang paling banyak ada di sektor jasa dan periklanan, misalnya, memang lebih banyak upahnya dibanding buruh rendahan (berkerah biru).

Tetapi kita lihat saja berapa persen dari jumlah penduduk yang tertampung dalam wilayah produksi kapitalis seperti sektor produktif di pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan itu? Paling banter hanya 30% saja. Ini contoh Indonesia. Lainnya adalah sektor pertanian yang paling banyak karena kita masih agraris dan belum sepenuhnya industrialized, dengan tanah-tanah sepetak dan sempit. Inipun tidak semua. Banyak juga orang yang tak bertanah. Kebanyakan menganggur dan menjadi kuli tidak dalam negeri sendiri, tetapi di negeri orang (TKI).

Nah lalu peluang apa yang ada di tengah-tengah situasi perekonomian Indonesia yang kian krisis di mana PHK kian menggejala dan penurunan produktifitas sektor formal seperti kian banyak gulung tikarnya perusahaan-perusahaan karena bangkrut akibat kalah bersaing dengan produk asing akibat pasar bebas (neoliberalisme)? Sektor Industri manufaktur banyak yang gulung tikar, terutama sektor garmen pada hal tingkat penyerapannya terhadap tenaga kerja (terutama kaum perempuan) sangatlah banyak.

Sektor tambang membutuhkan keahlian yang harus mendatangkan ahli-ahli asing, toh modal yang mengendalikan proses produksinya adalah modal asing. Demikian juga berbagai macam sektor pekerjaan di negeri ini kalau tidak semakin berkurang juga menunjukkan fakta bahwa mereka yang bekerja pun masih kesulitan meningkatkan kesejahteraannya, akibat upah yang rendah dan hubungan kerja yang longgar dan mengkawatirkan, yaitu kerja kontrak dan ’outsorcing’ yang menyebabkan pekerja memang akan harus siap di-PHK oleh majikan sewaktu-waktu.

Meningkatnya Jumlah Kaum Oportunis

Nah, dalam situasi krisis ekonomi dan tingkat keselamatan hidup yang rendahlah akhirnya kita melihat dan menyaksikan sendiri munculnya kaum-kaum oportunis. Kaum oportunis di sini bukan lagi berarti orang yang pandai atau mampu membaca peluang, tetapi orang yang ingin mendapatkan kesempatan untuk dirinya sendiri dan menyelamatkan diri sendiri. Oportunisme menjadi ideologi, cara pandang dan mental, bagi orang-orang yang menunggangi situasi untuk menyelematkan dirinya sendiri, membangun kepentingannya sendiri dan tidak pernah memikirkan orang lain.

Awalnya dan pada dasarnya ia lahir karena keterpaksaan akibat situasi terdesak. Buruh-buruh muda yang di-PHK masih tetap tinggal di kota karena malu pulang kampung, karena pergi ke kota juga tidak sukses dan tak ada yang dijadikan bahan untuk hidup cukup di desa. Maka mereka pilih tinggal di kota saja ingin mencari peluang, toh tidak-dapat juga karena para pencari kerja lebih banyak dari pada ketersediaan pekerjaan. Semakin tersingkirnya rakyat akibat masuknya modal ke daerah pedesaan membuat kaum tak bertanah kian banyak, pengangguran di desa juga kian meningkat.

Bercocok tanam dan bertani juga tak lagi menarik bagi kaum muda. Kenapa? Banyak faktor, mulai ditindasnya kaum tani dan kegiatan tani yang gak menjanjikan karena harga hasil tani juga didominasi kaum modal (kapitalis), hingga rayuan tayangan media (TV, dll) yang menyuguhkan kisah-kisah hedonisme metropolis yang seakan mengatakan bahwa jadi petani itu gak modern dan gak gaul, dll.

Datangnya para pencari kerja dari pengangguran desa ke kota dan ditambah lagi keberadaan pengangguran yang sudah ada hingga pengangguran akibat di-PHK perusahaan, juga pengangguran akibat usaha berdagang kaki limanya digusur Satpol PP dan alat usahanya dihancurkan, ini menambah jumlah pengangguran di perkotaan. Maka peluang kerjanya adalah pekerjaan kotor dan jahat. Apakah di antaranya?

Antara lain menjadi gelandangan-pengemis (GEPENG), pelacur, preman, pengamen, dll! Pekerjaan kotor akibat kebijakan ekonomi kapitalisme neoliberal ini kian banyak. Resahnya masyarakat akibat banyaknya kasus kejahatan seperti pencurian dan bahkan melibatkan pembunuhan bukanlah hal terpisah dari situasi ini.

Pencuri adalah kaum oportunis yang benar-benar harus bekerja dengan memanfaatkan kesempatan dan peluang. Kalau oportunis adalah soal kesempatan, maka merekalah kaum yang lihai membaca ruang dan waktu, menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk melakukan pekerjaannya. Ideologi oportunis pada hakekatnya adalah ideologi (mental, kesadaran, karakter dan tindakan) pencuri.

Berawal dari kapitalisme yang merupakan sistem yang melembagakan pencurian terhadap hak-hak manusia, mencuri hasil kerja buruh dan kelas pekerja, mencuri kekayaan alam dan sumber daya manusia supaya kekayaan masuk ke pundi-pundinya sendiri dan mereka bisa hidup enaknya sendiri, maka salah satu cara yang paling banyak dilakukan oleh pengangguran untuk bertahan hidup adalah juga mencuri dan membunuh. Sistem pencurian melahirkan para pencuri-pencuri dan ingin membangun hubungan sosial dihiasi oleh ideologi pencurian tersebut! Ideologi pencurian sebagai ideologi oportunisme memang dikembangkan dalam kapitalisme yang menyokong budaya individualisme dan liberalisme.

Politik Oportunis

Jadi tak heran jika, pemikiran, mental, dan karakter, maupun tindakan oportunis ala pencuri inilah yang menjadi dasar bagi mental buruk yang menyebar di masyarakat menengah. Kaum oportunis dalam makna kaum yang suka memanfaatkan peluang untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keenakan hidupnya sendiri merambah bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi sosial, budaya dan politik.

Dalam bidang kebudayaan, budaya instan, produk budaya cepat saji, produk-produk budaya yang dihasilkan dari meniru dan menjiplak. Oportunisme sebagai ideologi picik adalah bukan terletak pada kemampuan membaca peluangnya, tetapi memanfaatkan sesuatu apapun selama bermanfaat untuk mendapatkan sesuatu bagi dirinya sendiri. Tak memikirkan proses menghasilkan sesuatu, yang penting hasilnya segera jadi dan dapat dimanfaatkan hasilnya untuk keuntungan diri.

Oportunisme bidang budaya hanya melahirkan anak-anak muda yang rajin meniru kosa kata, tindakan, trend pakaian, dari kelas borjuis tanpa mengetahui definisi diri mereka sendiri. Apa saja akan dilakukan selama mereka bisa ”gaul” dan tak ketinggalan trend atau mode. Budaya meniru ini menghilangkan nalar kreatif dan menambah ketergantungan kaum muda pada kekuatan penumpuk modal (iklan TV) untuk mendefinisikan dirinya, selebihnya budaya meniru membuang waktu mereka untuk belajar, menambah wawasan, dan memperoleh kesadaran sebagai manusia yang seharusnya tangguh dalam menghadapi realitasnya sendiri yang masih perlu jawaban.

Oportunisme ini melahirkan budaya praktis dalam mencari pekerjaan, seperti yang terjadi pada kasus ingin menjadi PNS dengan cara menyogok dengan uang. Menjadi PNS adalah jalan pintas bagi anak-anak orang beruang yang punya jalur pada calo jabatan di pemerintahan (terutama tingkat daerah) karena mencari pekerjaan sulit. PNS kerja yang menghabiskan uang negara untuk gaji dan dijalani dengan cara kerja-kerja administratrif dan tidak produktif—atau bahkan koruptif—adalah jalur paling oportunis dalam proses memberdayakan diri dalam kerja.

Jalur oportunis lainnya adalah jalur politik, yang sebenarnya juga masih berkaitan dengan mencari dan mendapatkan jabatan. Kalau pejabat birokrasi adalah posisi formal yang berasingnya ketat dan membutuhkan biaya, terutama yang melalui jalur rekrutmen tes CPNS dengan menggunakan jasa calo dengan mengeluarkan uang antara 100-175 juta (inipun masih harus bersaing), maka jalur oportunis di bidang posisi politik adalah apa yang akhir-akhir ini adalah posisi ”wakil rakyat” (DPR/D) yang juga menjadi jalan oportunis untuk mencari pekerjaan dan mengeruk kekayaan melalui penggunaan otoritas dan kekuasaan jabatan legeslatif.

Oportunisme pada Diri Kita

Nah, mari kita analisa kita sendiri bagaimana oportunisme dalam diri kita bekerja? Kita bisa menganalisis diri kita bersamaan dengan analisa sejarah sosial yang membentuk kita. Sejak kecil kita hidup dalam masyarakat yang membuat kita oportunis. Dalam masyarakat yang sehat ini kita dibiasakan dengan manipulasi mental. Kita belajar untuk memanipulasi diri kita dari lingkungan.

Saya tak menyebut semua di antara Anda, tetapi mungkin sebagian dari Anda. Bahkan saya. Dengan tingkat yang berbeda-beda, kita semua dijepit oleh ideologi oportunis. “Kalau gak oportunis gak makan”, kata Anda. Yang berkata seperti itu biasanya memang yang penting makan, orang kaya yang selalu sibuk mencari peluang untuk cari uang, kadang juga bekerja dengan keras dan tak memikirkan lainnya. Tetapi kebanyakan juga diantara mereka yang memang harus menjawab kebutuhan makan.

Ya, jujur saja, ini memang bagaimana kebutuhan diatur. Budaya oportunis memang tumbuh di masyarakat yang manusia-manusianya dihantui rasa takut bagaimana kalau tidak bisa makan. Dan masyarakat paling sesuai dengan hal itu adalah bangsa kita. Bangsa yang kebanyakan masyarakatnya kurang makan, bukan karena tidak ada makanan, tetapi karena makanan disimpan di lumbung-lumbung kaum kaya (kapitalis)!!!***

*) Penulis adalah anggota Sarikat Muda Intelektual Nusantara (SAMIN) dan ketua Quantum Litera Center (QLC)

Tidak ada komentar: