10 Agustus 2010

Marsinah : Sosok Kartini Revolusioner

Marsinah : Sosok Kartini Revolusioner 
Setelah Banyak Orang Sangsi, Apa Hebatnya Kartini

Oleh : Jajang Hanuar Habib, SE.

Kartini adalah perempuan yang dirisaukan budaya. Buah bimbang berpikir, dia korespondensikan via surat kepada relasi Belandanya, J.H. Abendanon. Dalam keterbatasan pengetahuan, Kartini muda yang mengalami friksi dirinya yang Jawa, Islam, dan hidup di negeri terjajah terhadap kehidupan modern Barat.

Belakangan kesimpulan guru besar UI, Prof. Harsja W. Bachtiar, Kartini waktu itu diincar Belanda untuk menyusupkan pemikiran pro Barat melalui sinkretisme budaya demi kepentingan penjajahan. Kepentingan penjajahan itu dilaksanakan Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, dengan direkturnya J.H. Abendanon sendiri.

Abendanon bekerja dengan support data dari Snouck Hurgronje, sekaligus penasihatnya. Sebagai mata-mata, Snouck Hurgronje menyamar menjadi muslim dengan nama Abdul Ghaffar (1885) untuk dapat memetakan perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang sedang dijajah. Sama halnya seperti yang pernah dilakukan orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menyamar menjadi murid Syaikh al-Azhar Kairo.

Kartini mungkin tidak sempat tahu, surat-suratnya kepada Abendanon kemudian dipublikasikan oleh Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Lich pada 1911. Publikasi surat-suratnya kemudian dijadikan legitimasi untuk melancarkan politik etis. Upaya Belanda mengiba dana dengan nama Kartini dan suratnya berhasil juga, hanya berselang dua tahuan didirikanlah Komite Kartini Fonds.
Hingga sekarang, keluguan Kartini dalam sejarah masih belum juga diluruskan. Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah mengatakan: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut”.

Adalah simbol, atribut yang dilekatkan pada sebuah identitas. Di alam kontemporer ini, perempuan Indonesia masih dibelenggu dengan kebimbangannya. Seperti Kartini yang dikurung dalam friksi pikirannya, dari Jawanya yang Islam digerus hegemoni Barat. Panjang usia lah apa yang diinginkan Penjajah masa itu pada Kartini…

Hampir satu abad Kartini, di usia 24, ada perempuan yang hanya berselisih lebih muda satu tahun pada 1993 dengan Kartini usia 25 pada 1904 saat pulang ke haribaan. Perempuan itu Marsinah.

Emansipasi yang diinginkan priyayi Kartini, pada generasi cucunya ini, kini tak hanya dilayangkan dengan surat mesra. Tanpa bimbang dengan friksi di kepala, Marsinah menuntut dengan lantang dalam barisan aksi. Tentang hidup yang kian mahal, tentang Marsinah yang buruh, yang masih juga dianggap alat produksi dibayar sekedarnya.

Hingga pada 9 Mei 1993, 200 kilometer dari tempat Marsinah kerja, dia dibungkam diam oleh kematian di sebuah gubuk. Dia ditusuk dengan benda runcing, luka perutnya sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selaput daranya, robek. Belum lagi tulang kelamin bagian depannya hancur.

Kiprah dan golak perlawanan emansipasi Marsinah, adalah tingkat lanjut emansipasi yang dicurhatkan Kartini pada Abendanon. Kita akan merenung jika kita ingat Rossa Luxemburg, buruh Jerman yang kepalanya ditusuk bayonet hingga mati. Dengan berat, “Jika saat ini, nyawaku mendahului pergi, aku tak sanggup lagi berkata-kata sebagai ungkapan perpisahan, dan hanya bisa menerawang dengan tatap kosong keputusasaan”.

Bagi Marsinah, perjuangannya justru tidak kenal putus asa. “Buruh belum mendapatkan keadilan sejati dari pemerintah. Buruh harus menyatukan kekuatannya. buruh harus bersatu, buang kepentingan individu, dan kedepankan kepentingan buruh dan rakyat”. Kita hari ini, pasti akan menginsyafi sosok revolusioner Marsinah, bukan emansipasi melainkan perempuan tetap lantang, perempuan harusnya bergerak.

Bagi kita, Sosok perempuan Indonesia ada pada epik Marsinah yang dilupakan.

Tidak ada komentar: