7 Agustus 2010

Entrepreneurship sebagai Inti Koperasi ?

Oleh: Firdaus Putra A.

Di beberapa forum koperasi, isu kewirausahaan atau entrepreneurship menjadi menu utama. Semakin dahsyat ditambah dengan klaim bahwa berwirausaha “lebih mulia” dibanding dengan bursa CPNS atau menjadi karyawan swasta. Ada beberapa klaim yang perlu kita uji terkait hal ini. Pertama, hubungan antara kewirausahaan dengan koperasi. Kedua, klaim “lebih mulia” berwirausaha dibanding bekerja pada sektor lainnya. Klaim yang kedua merupakan turunan dari klaim pertama, bahwa wirausaha merupakan core (inti) dari koperasi.

Saya akan mencoba menjawab dua klaim itu secara terbalik. Mengapa berwirausaha—jika merupakan inti berkoperasi—adalah “lebih mulia” dan seakan pantas bagi kita (insan koperasi) mencibir yang lain? Cibiran kepada yang lain seakan pantas dengan menyebut diri kita sebagai “gerakan”. Ada kesan sakral di istilah itu. Namun, mengapa kita tidak bisa menyebut mereka dengan “gerakan abdi negara” dan/atau “gerakan profesional ahli”? Mengapa istilah “gerakan” hanya pantas dilekatkan kepada koperasi, bukan kepada pegawai negeri atau karyawan swasta, jika inti dari koperasi adalah kewirausahaan?

Secara sederhana saya mendefinisikan kewirausahaan sebagai pilihan hidup untuk bekerja secara mandiri. Sedangkan pegawai negeri adalah orang yang bekerja pada instansi-instansi negeri. Kemudian karyawan swasta adalah orang yang bekerja pada perusahaan-perusahaan swasta. Dengan melihat domain yang sama pada ketiga istilah tersebut, yakni sama-sama berada pada wilayah mata pencaharian, mengapa kita tidak mengatakan bahwa ini masalah pilihan hidup seseorang dalam domain pekerjaan. Ya, seperti ia memilih untuk berpartai A, B, C atau lainnya. Atau juga seperti seorang mahasiswa memilih untuk belajar di fakultas humaniora, eksakta, ekonomi dan seterusnya.

Sedangkan klaim pertama, jika kewirausahaan adalah inti dari koperasi, lantas apa bedanya koperasi dengan apa yang sekarang sedang menjamur, sebutlah sekolah wirausaha, himpunan usahawan muda dan sebagainya. Tentu kita sebagai insan koperasi akan mengatakan, berbeda! Di sekolah-sekolah wirausaha, baik yang formal atau non-formal, hanya membahas tentang bagaimana individu dapat mengembangkan kapasistas dan kemampuannya berwirausaha. Sedangkan di koperasi, berwirausaha saja tidak cukup. Ada berbagai nilai dan prinsip yang harus diikuti agar usaha mewujud sebagai kebaikan bersama.

Saya pikir kapitalis-kapitalis besar seperti Bill Gates dan lainnya bermula dari semangat wirausaha. Hanya saja, mungkin semangat itu tidak dilandasi dengan nilai dan prinsip tentang kebaikan bersama. Sehingga semangat kewirausahaan itu cenderung egoistik dan hanya mengikuti prinsip—yang dalam bahasa Ralph Estes—bottom line (laba).

Dengan demikian, saya termasuk orang yang tidak setuju jika dikatakan bahwa kewirausahaan merupakan inti dari koperasi. Sebaliknya, kewirausahaan menurut saya hanya bagian dari koperasi. Sedangkan inti dari koperasi adalah berbagai nilai tentang kebaikan bagi bersama yang diturunkan dalam wilayah ekonomi, sosial dan budaya. Dalam domain ekonomi inilah, kewirausahaan harus tumbuh dan berkembang pada sebuah koperasi. Di sisi lain, domain sosial dan budaya juga harus digarap dengan serius sebagai konsekuensi bahwa koperasi bukan semata corporate.

Di sisi lain, saya melihat kecenderungan saat ini isu-isu yang berkembang lebih mengarah kepada good governance on cooperative. Isu tentang tata kelola yang baik dalam koperasi. Parahnya tata kelola ini menyempit hanya pada domain usaha. Sebagai salah satu pelaku ekonomi, insan koperasi nampak lebih sibuk dengan seminar atau pelatihan manajemen usaha modern, inovasi dalam bidang usaha, dan semacamnya. Dan anehnya, beberapa pengamat di luar koperasi—seperti aktivis sosial atau LSM—justru yang membawa koperasi dalam isu-isu besar; pasar bebas, neoliberalisme, CAFTA, dan sebagainya.

Gerakan koperasi masih sibuk dengan dirinya sendiri, menambah katalog barang, memperindah tampilan tokonya dan seterusnya. Gerakan koperasi nampaknya melulu inward looking dan terlihat melupakan masalah yang ada di luar dirinya. Jika dibutuhkan, silahkan uji berapa ratus gerakan koperasi mengadakan seminar atau pelatihan kemudian pilah berapa kali mengangkat isu besar dan berapa banyak mengangkat masalah manajemen, tata kelola, dan sebagainya. Prediksi saya, porsinya berat sebelah, berat ke arah masalah tata kelola!

Tentu saja masalah tata kelola adalah penting, namun persoalan sosial,ekonomi-politik dan budaya juga penting. Karena dua hal inilah koperasi pantas menyandang label “gerakan” yang secara strategik berbeda dengan LSM, Ormas atau parpol.

Melihat kondisi ini, kadang saya ragu dengan klaim bahwa koperasi merupakan lawan tanding sistem kapitalisme. Karena geliat itu sama sekali tidak terasa. Terlebih lagi di koperasi mahasiswa yang mustinya lebih progresif di banding lainnya. Padahal pemikiran Hatta enam puluh tahunan yang lalu demikian tegas dan jelas. Tegas dalam menyatakan sikap terhadap kapitalisme, jelas dalam detail strategi. Ironisnya, sedikit aktivis koperasi mahasiswa yang membaca berbagai referensi baik dari dalam maupun luar.

Menurut saya gerakan koperasi di Indonesia bak orang besar yang sedang tidur. Ada dimana-mana dengan jumlah yang banyak, 90.000 ribuan. Ditambah dengan struktur yang mencukupi, primer, skunder, pusat, induk dan sebagainya. Juga adanya sumberdaya yang dikelola secara mandiri. Begitu besar potensi gerakan ini. Sayangnya, sedang lelap dalam tidur.

Karena besarnya potensi itu, kadang saya berpikir nakal, jangan-jangan jejaring kapitalisme global memahami potensi itu dan dengan berbagai cara mulai menjinakan koperasi. Sibukan mereka (koperasi) dengan reformasi internal dan mereka akan terlupa bahwa ternyata modal asing sudah mengapling banyak tanah di negeri ini. Ya, bak skenario good governance yang disuntikan Bank Dunia pada negara-negara dunia ketiga. Maybe yes! []

*) Penulis adalah manajer organisasi KOPKUN (Koperasi Kampus Unsoed), tinggal di Purwokerto

Tidak ada komentar: