27 April 2011

Desentralisasi

Oleh : Henrikus Setya Adi Pratama

Pendahuluan

Indonesia adalah bangsa yang direkayasa dan diciptakan sedemikian rupa oleh sistem ketidakadilan yang berupa penjajahan, karenanya Indonesia adalah kolektifitas di mana individu bisa hidup (dan berharap untuk hidup) dengan pelbagai kepentingan, bangsa, agama, dan ideologinya. Dengan demikian, jika ada sebuah pemerintahan yang diatur berdasarkan kedzaliman politik, tentu ia adalah pemerintahan yang tidak acceptable oleh rakyatnya.

Orde Baru adalah misal dengan sentralisasi rezim dan kekejaman cara memerintahnya, kalaupun toh ia berumur panjang, pastilah ia akan menemui ajalnya juga (dengan tak terhormat). Karena itu, demokrasi di Indonesia menjadi sebuah barang yang mesti ditegakkan dengan segala resikonya, termasuk kealotan penyelesaian persoalan bangsa, ketidakefektifan, keruwetan dan sebagainya. Mau tidak mau, demokrasi menjadi pilihan tak tertolak bagi pemerintahan dewasa ini. Dalam situasi di mana segenap persoalan bangsa meluap dan minta segera diselesaikan, maka konsep demokrasi sesungguhnya merupakan konsep yang paling tidak diminati. Di samping terlalu bertele-tele, tidak efektif dan tidak efisien, demokrasi juga terlalu banyak menyita waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk memikirkan masalah yang lebih urgen lagi. Di sinilah titik nadzir yang paling lemah dari demokrasi. Semua orang dan semua bangsa mengakuinya. Namun kita lantas bertanya, mengapa demokrasi menjadi satu-satunya konsep yang dipilih hampir seluruh bangsa di dunia ini untuk menyelesaikan pelbagai macam persoalannya? Untuk bisa sampai pada jawaban pertanyaan ini, maka satu hal yang mesti kita sadari bahwa alam ini memang sudah ditakdirkan Tuhan untuk tidak sama. Pluralitas suku-bangsa, pluralitas kepentingan, pluralitas ideologi, pluralitas agama dan pelbagai macam ketidaksamaan yang lain adalah conditio sine qua non. Kondisi inilah yang menginginkan masyarakat dunia untuk segera merombak cara berpikir yang sentralistis, cara berpikir yang otoriter dan semaunya sendiri. Untuk menciptakan demokrasi, tentu tidak hanya melalui jalur kultural seperti paparan di atas, di jalur struktural pun jika kita jujur dan teliti, sesungguhnya ada jalur untuk menciptakan demokrasi.


Tata bangsa yang sehat dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah sesuatu yang pasti dari prinsip good governance ini, dan tentu saja merupakan sesuatu yang sangat dirindukan masyarakat Indonesia. Terpilihnya pemimpin-pemimpin baru merupakan bagian dari kehendak rakyat yang menginginkan terciptanya hal itu. Perdebatan yang sangat sengit ini paling tidak sudah dilakukan di sidang majelis kita selama sepekan kemarin. Dari upaya bagaimana melakukan amandemen UUD 1945 sampai pada tata pemilihan yang demokratis. Harapan-harapan rakyat adalah bagaimana agar mereka bisa hidup lebih sejahtera secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, rakyat Indonesia menginginkan kenaikan pendapatan perkapita, harga-harga kebutuhan pokok (merit goods) yang tidak mahal, berkurangnya angka kemiskinan, turunnya inflasi dan pelbagai indikasi kemakmuran lainnya. Secara politik, rakyat berkehendak agar demokrasi bisa berjalan sebagaimana mestinya: menghargai hak menyampaikan pendapat, menghormati hak asasi manusia, bebas berkreasi dan berorganisasi, dan penghargaan-penghargaan terhadap kebebasan berpendapat lainnya. Sebagai manifestasi dari harapan dan aspirasi rakyat banyak, terpilihnya mereka (yang dianggap reformis) tersebut tentu saja diiringi oleh berbagai agenda bangsa yang mendesak dan berat. Di sisi ekonomi, keduanya diharapkan agar mampu mengembalikan kepercayaan (trust) terhadap investasi, juga untuk mencegah dan mengantisipasi capital flight. Kepercayaan ini merupakan modal yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia masa depan. Kita tahu bahwa untuk mengembalikan kepercayaan yang hilang, tidak hanya dibutuhkan sosok pemimpin yang tegar, berwibawa dan dikehendaki rakyat, tapi juga sosok yang mampu berkomunikasi dengan baik di dunia internasional. Bersikap jujur pada rakyat adalah titik tolak untuk menciptakan pemerintahan yang tidak hanya kuat (stong government), melainkan juga pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Dengan kesadaran baru, Indonesia masa depan harus dibangun dengan mentalitas dan budaya berdemokrasi yang baru pula. Sehingga agenda mendesak pemerintahan kali ini adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab kepada rakyat tentunya.

Perumusan Undang-Undang

Kebijakan pemerintah pusat pada masa orde baru menunjukan betapa sentralistiknya kekuasaan di Indonesia saat itu, banyak daerah-daerah yang saat itu ingin memisahkan diri dari NKRI. Kepemimpinan politik dan pemerintahan yang dijalankan secara sentralistik oleh rezim Orde Baru adalah cikal bakal bagi terselenggaranya sistem pemerintahan yang tidak memberi kesempatan kepada daerah untuk maju dan berkembang. Meski pada saat itu sudah ada undang-udang yang mengatur tentang pemekaran daerah melalui UU No 5 Tahun 1974, namun tidak menunjukan bahwa itu benar-benar terjadi. Karena intervensi dari pemerintah pusat masih begitu terasa. Barulah setelah runtuhnya rezim orde baru, memunculkan wacana tentang tatanan reformasi, maka wajar bila terjadi perubahan pada salah satu substansi dari sistem pemerintahan sentralistik harus di rubah menjadi desentralistik untuk memberi kesempatan kepada daerah-daerah untuk mengembangkan potensi masing-masing daerah. Namun sungguh sangat ironis sekali bahwa makna otonomi daerah tidak didalami sebagai tercapainya democratic value yaitu menciptakan kemandirian daerah dan masyarakat. Terbukti adanya tarik menarik kepentingan antara pusat-propinsi-kabupaten/kota dilingkup eksekutif maupun legislatif. Pembongkaran UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 dan 34 Tahun 2004 yang berkaitan dengan pemerintah daerah dan perimbangan keuangan antara pusat-daerah, mendukung fenomena tersebut. Proses sosialisasi yang terlalu cepat dan belum siapnya mindset pemerintah menciptakan berbagai permasalahan yang dapat menggongcang tata pemerintahan. Dengan isu pembongkaran UU yang saat itu bergulir memiliki 7 poin yang akan di rubah.

  1. Perubahan kedudukan kabupaten dan kota, yang dahulu ditentukan berdiri sendiri dan tidak dalam hirarki, menjadi bagian dari propinsi.
  2. Perubahan kedudukan DPRD yang dahulu bagian dari legislatif, saat ini didudukkan dalam pemerintahan daerah.
  3. Pemilihan kepala daerah secara langsung akan menjadikan DPRD sebagai penonton, bukan lagi penentu.
  4. RAPBD kabupaten dan kota dapat di anulir oleh tingkat propinsi.
  5. Badan Perwakilan Desa (BPD) ditentukan sebagai Badan Permusyawaratan Desa.
  6. Dahulu telah ditentukan 11 urusan yang diserahkan kepada kabupaten dan kota, saat ini hanya ditentukan adanya Urusan Wajib dan Urusan Pilihan dan penyerahannya harus melalui syarat tertentu.
  7. Jabatan Sekretaris Desa adalah merupakan jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Isu ini menunjukan adanya rumor tentang resentralisasi, pembongkaran demokrasi lockl dan pengkotakan DPRD. Apabila UU No. 32 Tahun 2004 itu guna untuk mempercepat terjadinya otonomi daerah yang menciptakan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pelayanan umum dan daya saing tiap daerah, maka harus ada dukungan dari berbagai komponen. Tetapi jika itu semua hanya karena ada tarik-menarik kewenangan dan pengaruh yang diperebutkan, jelas harus di tolak. Karena semua komponen seharusnya menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik menurut tugasnya di tata pemerintahan, sehingga akan terciptanya koordinasi, interrelasi dan interdependensi yang baik antar semua komponen. Bukannya saling mengintervensi yang menyebabkan tata pemerintahan menjadi tidak teratur hanya karena perebutan kewenangan dan pengaruh.

Otonomi Daerah

Indonesia yang saat ini tengah mengalami masa transisi, sekitar 30 tahun berada pada tangan pemerintahan yang sentralistik dimana masyarakat tidak memiliki ruang untuk menunjukan keberadaannya sebagai civil society. Maka masyarakat bisa dikatakan belum terbiasa ketika harus menerapkan demokrasi yang justru malah hanya menjadi euphoria berlebihan. Seolah-olah baru terlepas dari penjara yang sekian lama mengungkung masyarakat Indonesia, oleh karena itu banyak terjadinya kewenangan yang digunakan secara berlebihan di pemerintah daerah (Khususnya DPRD). Hal ini juga menimbulkan miss interpretasi terhadap undang-undang yang dibentuk tanpa memahami makna, filosofi dan prinsip otonomi daerah. Akhirnya justru memunculkan firaun-firaun kecil di tingkat daerah yang justru mengulang rezim orde baru di tingkat daerah. Sebenarnya harus disadari makna, filosofi dan prinsip dari otonomi daerah ialah sharing of power, distribution of income dan empowering of regional administration untuk menciptakan kemandirian daerah terutama masyarakat yang mandiri. Bukan berarti seluruh kewenangan bisa diatur seekannya di tingkat daerah atau justru melupakan fungsinya untuk menampung aspirasi dari masyarakat dan justru menjadi raja-raja kecil di daerah mereka masing-masing. Kesadaran bahwa Negara kita merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh karena itu daerah juga merupakan bagian dari Negara serta keseluruhan nasional. Hal ini juga membutuhkan komitmen dari pemerintah pusat dan propinsi yang dengan kesediaanya membagikan sebagian kewenangan, keuangan ke daerah-daerah (yang selama ini terpusat).

Permasalahan yang selama ini terjadi pada susunan pemerintah daerah antara legislatif (DPRD) dan eksekutif (Kepala dan wakil pemerintah daerah) yang memiliki kedudukan politis serta perangkat daerah sebagai pejabat karir justru menunjukan arogansinya dengan tidak melakukan tugas dan fungsinya dengan tepat. Terkadang melakukan overlapping dan intervensi yang berlebihan. DPRD juga dianggap kebablasen dan fungsi birokrasinya belum menunjukan sebagai pelayan publik yang transparan, akuntabel dan yang memiliki inisiatif serta kreatif. Begitu pula pembagian daerah atas propinsi, kabupaten dan kota yang kedudukannya ditentukan berdiri sendiri dan tidak hirarkis, sering menimbulkan aroganisme dan eksklusiveme dalam perlaksanaannya sehingga sulitnya melakukan koordinasi dari berbagai pihak. Tanpa disadari hal ini mengingkari bahwa Indonesia merupakan NKRI yang berbasis bagian-bagian Negara. Dengan melihat gejolakn dan perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan pemerintah terutama di antara Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota serta pula dikalangan badan Legislatif (DPRD) bahkan dikalangan elit politik dan elit penguasa serta komponen-komponen di dalam masyarakat, yang diakibatkan oleh banyaknya misinterpretasi dalam pengartian undang-undang. 

*) Penulis adalah akademis, tinggal di Purwokerto

Tidak ada komentar: