13 Desember 2010

KEKUATAN PENGETAHUAN OBJEKTIF

KEKUATAN PENGETAHUAN OBJEKTIF:
Kenapa Orang Kaya Cenderung Bodoh dan Orang Miskin Cenderung Berlawan?


Oleh : Nurani Suyomukti

“Pengetahuan memberi kita kekuatan, atau setidaknya perasaan bahwa kita memegang kendali”. (Julian Short )

Menganalisa adalah kegiatan yang manusiawi dan sekaligus menjelaskan eksistensi manusia yang berbeda dengan binatang atau benda mati. Aristoteles, seorang filsuf terkenal, mengatakan bahwa nalarlah yang membedakan manusia dengan binatang, sedangkan seluruh fungsi tubuh yang lain sama dengan binatang. Binatang tak bisa menggunakan rasio, dan benda mati hanya menuruti perlakuan dari luar dirinya (dipindah kesana kemari sesuai keinginan kekuatan atau perlakuan di luar benda itu sendiri). Naluri (instink) utama manusia antara lain adalah rasai ingin tahu (curiousity).

Dari sini kita memperoleh satu gambaran dari manfaat berpikir kritis: Memiliki independensi (kemerdekaan) dan otonomi (kedaulatan) diri, tidak semata-mata tergantung pada kekuatan yang dijalankan orang lain.

Kita bisa melihat realitas masyarakat kita yang sejak dulu kala selalu diwarnai dengan kebodohan dan tidak memiliki analisa kritis. Mereka sangat mudah dijajah, dibohongi, dan dimanfaatkan oleh kekuatan yang menghisapnya dan mengambil keuntungan sendiri. Di jaman corak feodal dan kerajaan, tanpa berpikir rakyat begitu mudah dibohongi dan ditipu oleh para tuan tanah, kaum raja dan bangsawan, serta para pembantunya. Raja dianggap wakil Dewa atau Tuhan di muka bumi, hanya ia dan dan orang-orang sekitarnya yang berhak mendapatkan kekayaan: Rakyat jelata (tani hamba) harus bekerja keras dan hasilnya harus diserahkan pada kerajaan. Bahkan semua yang ada di muka bumi dianggap milik raja-raja, rakyat hanyalah budak. Kenapa penindasan semacam ini terjadi? Kenapa rakyat begitu menggantungkan nasibnya pada raja dan kaum bangsawan? Jawabannya jelas: karena mereka bodoh dan dibodohi, tidak dapat berpikir kritis, dan memang oleh para penindas berusaha ditumpulkan otaknya.


Tetapi bayangkan seandainya semua manusia memiliki pengetahuan—tentu dengan syarat mendapatkan pengetahuan (terutama dari sekolah) dan mampu mengembangkan teknologi, tidak seperti sekarang ini di mana sangat banyak orang yang tidak mendapatkan pengetahuan (tak bisa sekolah karena biayanya mahal). Tentu kualitas kehidupan ini akan maju, banyak hasil yang didapat karena pemikiran manusia kreatif dan produktif dan diwujudkan dalam karya-karya: teknologi, sastra, dan berbagai kreatifitas lainnya.

Pengetahuan mendukung produktifitas dan Kerja

Semua orang bisa menciptakan produk-produk yang mencirikan sesuai dengan inisiatifnya sendiri, bukan untuk diperjualbelikan guna mencari keuntungan, tetapi untuk menandai kreatifitasnya yang membedakan dengan kreatifitas orang lain. Bayangkan tidak ada monopoli terhadap teknologi dan pengetahuan, maka semua orang itu cerdas dan hidup indah.

Anak-anak dan kaum muda kita bukan lagi sekolah untuk mencari pekerjaan dan uang, tetapi untuk belajar agar menemukan suatu pengetahuan dan teknologi yang baru, karya dan kreatifitas yang baru. Bukan untuk dijual agar mereka mendapatkan untung untuk diri sendiri, bukan penelitian yang dijual-belikan, tapi untuk diketahui bersama. Semua tahu dan paham, semua mampu menggunakan, bukan memiliki. Maka kebanggaan adalah kebanggaan karena mencipta sesuai keunikan kreatifitas dan produktifitas kita masing-masing: bukan kebangaan untuk memiliki atau membeli yang dipamerkan dan membuat yang lain iri.

Pengetahuan Menguak selubung Ideologi lama yang palsu dan melanggengkan kebenaran

Maka kalau semua paham dan memahami dunia, selubung-selubung palsu ide lama hilang, maka antara satu orang dengan lainnya (antara satu kelompok dengan kelompok lainnya) tidak akan bentrok atau konflik.

Masalahnya, kebanyakan konflik dan percekcokan yang terjadi di masyarakat kita kebanyakan disebabkan karena tidak adanya pemahaman dan pengetahuan yang objektif. Misalnya, pada saat masyarakat mengalami masalah ekonomi akibat penindasan dan perbedaan kelas (antara kelas tertindas dan ditindas), mereka tidak paham bahwa sumber utamanya adalah masalah ekonomi (material—yang sesungguhnya bisa diketahui dan ditata kembali). Sehingga ketidaktahuan itu membuat mereka salah memahami persoalan, sehingga seakan yang muncul adalah masalah lainnya seperti masalah agama, suku, ras, budaya, dll. Tak heran jika konflik berdasarkan SARA (suku, ras, agama) banyak muncul di negeri kita pada saat masyarakat tidak paham kalau masalah sebenarnya adalah masalah ekonomi (penindasan dan ketimpangan ekonomi yang semakin parah).

Pengetahuan membuat orang mampu meninggalkan kesalahpahaman.

Pengetahuan mampu merubah suatu masyarakat dengan ide-ide kreatif dan produktifitas yang dihasilkannya.

Ketika setiap orang mampu mendapatkan pengetahuan dan keterlibatan (praktek), maka masyarakat itu pasti telah mampu mengatasi masalah penindasan dan ketidakadilan ekonomi. Karena kalau banyak orang masih tertindas secara ekonomi (miskin dan dimiskinkan), biasanya mereka masih sibuk untuk mengurusi urusan ekonomi (bagaimana bertahan hidup dengan makan, minum, dan kebutuhan-kebutuhan material). Waktunya dihabiskan untuk mengurusi hal-hal yang material-atau mendasar, tidak ada waktu—dan biasanya juga tidak ada akses—untuk mendapatkan pengetahuan: tidak bisa sekolah. Bahkan bayangkan, dinegeri yang di UUD ditegaskan bahwa tugas negara (pemerintah) untuk ”mencerdaskan bangsa”, masih banyak anak-anak yang terpaksa bekerja membantu orang tua, sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk sekolah. Celakanya, pemerintah yang pro-penindasan seakan memang mendukung jual-beli pendidikan, sehingga harga (biayanya) semakin mahal dan jarang tak terjangkau oleh orang miskin yang kian banyak jumlahnya.

Itu membuktikan kekuatan pengetahuan terletak pada tersebarnya pengetahuan bagi semua orang. Semakin banyak orang yang ”pintar”, ”sadar”, dan memahami berbagai macam persoalan hidup baik secara filsafati maupun teknis, maka semakin besar pula kemungkinan masyarakat bangsa-negara untuk maju. Setelah orang terbebaskan dari penindasan dan semuanya mampu memenuhi kebutuhan mendasarnya, maka mereka akan segera beranjak untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan estetik-otentik: berkarya demi keindahan dan keunikan masing-masing, bukan berkarya untuk dijual-belikan. []

Tidak ada komentar: