Samin namanya, Ia pemuda yang dilahirkan dari rahim masyarakat modern. tidak perlu ditanya, televisi merupakan sahabatnya yang paling setia, selain itu, handphone menjadi barang paling intim melampaui apa saja. Layaknya pemuda kebanyakan, Samin memiliki cita-cita serta harapan yang tertanam kuat di dalam kepalanya, menjadi sarjana, lantas secara formal bekerja. Terdengar standar, terlalu biasa, karena jutaan pemuda di luar sana juga memiliki harapan yang tidak jauh berbeda, tapi itulah Samin.
Di tengah usianya yang mendekati 24 tahun, Samin di ujung tanduk, selangkah lagi menuju perhelatan besar gengsi: wisuda sarjana. Tak jarang, Ia sengaja meluangkan waktu untuk berpikir keras menyusun strategi dalam rangka menghadapi dunia baru yang kejam, konon katanya, kerja. Samin dengan mimpinya terus menapaki riak waktu, hingga toga bersarang di atas tempurung kepalanya, yang bertahun-tahun telah terasah oleh ratusan teori dari bangku kuliah. Tangis kedua orang tuanya meledak karena bangga, sekaligus sebagai bentuk harapan agar Samin mampu menjadi tunas kebanggaan keluarga. Drama.
Samin kencang melaju, terus, tak kenal lelah. Satu per satu mimpinya tergapai, kerja dan jabatan diraihnya. Hingga suatu ketika, Samin kelelahan, Ia mencapai puncak kepenatan. Semua hal yang telah diraihnya mendadak hambar, tanpa makna, Samin menjadi mayat berjalan, seolah tanpa tujuan. Ia termenung di bawah senja yang enggan memancarkan cahaya, sebatang rokok terselip persis di jemarinya, dengan kemeja berwarna lembut berlengan panjang yang digulung hingga ke sikut, Samin terlihat kusut. Di kepalanya bersemayam tanya.
Samin bosan dengan rutinitasnya, jemu dengan hal-hal yang telah diraihnya. Ia merasa diteror. Setiap langkahnya seolah dihantui, entah oleh siapa. “Ada hal yang janggal, ada yang hilang...” Samin bergumam. Detik demi detik berlalu, Samin belum juga menemukan dimana bagian yang telah hilang, dari mana teror berasal. Ia terlelap dibuai gelapnya malam.
Pada akhirnya, Samin kehabisan tenaga, Ia tidak mampu lagi bertahan di tengah teror. Ribuan pertanyaan meleleh, mendesak untuk dibekukan, tapi Samin terkulai tanpa daya. Ia diam, bisu. Asap terus menerus keluar dari sela bibrnya yang kecoklatan, tatapannya kosong. Hanya tinggal menunggu waktu.
Di tengah keramaian Samin merasa kehilangan dirinya, ketika bertemu keluarga, tak jauh beda. Samin goyah, kehilangan arah. Teror datang dari setiap tatapan mata, dari setiap kata, seolah mata dan kata yang berasal dari orang lain adalah hakim, adalah undang-undang yang kerap membatasi dan memaksanya untuk menjadi pribadi lain. Hingga di senja berikutnya, Samin benar-benar kelelahan, semangatnya padam, Ia tidak lagi memiliki semangat kerja. Ia kini bertanya, untuk apa bekerja dan mengejar lembaran harta? Karena ternyata Samin tidak merasakan apa-apa dari seluruh hal yang telah dilakukan dan didapatkannya, hanya hampa dan teror tentunya. Orientasi atau tujuan dalam dirinya sirna, tidak ada kehangatan, tanpa cahaya.
Batin Samin menggigil, Ia teramat kesepian. Tak tahu apa yang dituju, entah apa yang Ia mau. Semua meloncat, menggumpal dan meledak, hingga sebilah pisau menjadi saksi kebebasan Samin, dengan darah berceceran, nafas menguap dan raga mati. Samin bunuh diri.
***
Dalam kematiannya, Samin tidak sadar bahwa teror berasal dari lingkungan sekitarnya yang kerap memaksa untuk menjadi pribadi lain, atas nama kewajaran, nama baik, gengsi, dan sederet embel-embel lainnya. Bahkan Samin diteror oleh lingkungan terdekat yang paling dipercayanya: keluarga. Samin tak memiliki cukup daya untuk menolaknya.
Samin tetaplah Samin, Ia tidak memiliki kekuatan untuk membentengi diri, karena sekolah tidak pernah mengajarkan hal ini, begitu juga keluarga. Yang ada hanyalah, desakan, harapan, mimpi dan gengsi. Sekolah dan keluarga sibuk menebar teror dan menanam benihnya dalam setiap kepala, bahwa uang serta kedudukan adalah tujuan utama, bahwa menjadi pekerja kantoran itu lebih baik dari pada menjadi petani. Ya, semua terlanjur memiliki standar, Samin terjebak di dalamnya, hingga Ia tidak tahu apa yang Ia mau.
Sekolah tidaklah mengajarkan pada Samin tentang moralitas yang sesungguhnya, karena sekolah mengajarkan moralitas yang tersangkut pada kelamin Ariel Peterpan atau selangkangan Luna Maya, sempit dan lembab. Semua terlihat hitam putih, moralitas adalah polisi. Padahal moralitas sesungguhnya adalah bagaimana menjadikan Samin mengerti serta sadar apa yang Ia mau, apa yang sebenarnya Ia butuhkan.
Standar moralitas adalah teror yang mengorbankan nyawa Samin. Bahkan, setelah Samin mati bunuh diri, Ia masih menjadi korban dari standar moralitas, yakni gunjingan masyarakat. Wajar saja, karena masyarakat telah akrab dengan FPI yang gemar menggunakan jotos, mengatasnamakan moralitas dan tidak pernah ambil pusing dengan akar permasalahan, singkatnya, ketika seseorang menjadi PSK atau lesbian, generasi FPI langsung mengacungkan tinju dan meneriakan moralitas, tanpa melihat penyebab mengapa seseorang menjadi PSK atau lesbian.
Ya sudahlah, semoga Samin tenang di akhirat sana, meskipun kita semua tahu bahwa akhirat juga menggunakan standar moralitas kaku dan tegak, layaknya cerita dongeng masa kecil tentang betapa kejamnya penyiksaan di dalam neraka. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar