27 September 2010

G 30 S dalam Historiografi Orba

Oleh : Jarot Citro Winarno Setyoko

Semenjak kekuasaan Orde Baru berakhir, setiap hari kesaktian Pancasila tak lagi kita jumpai seremoni yang runtut dan ’tertib’ seperti tahun-tahun sebelumnya. Kini tak semua kantor dan sekolah melakukan upacara. Tak semua rumah mengibarkan bendera, termasuk yang setengah tiang sehari sebelumnya. Pun film bertajuk “Pengkhianatan G 30 S/PKI” yang menjadi tayangan wajib, kini lenyap dari list acara televisi.

Kita tahu, yang terjadi saat ini bukan sekedar hilangnya ghirah untuk memperingati peristiwa itu, namun keyakinan atas sejarah yang tengah longsor dan goyah. Semenjak Soeharto lengser, pertanyaan yang dulu dipendam menahun kini mulai diungkapkan secara terbuka: Apa yang sesungguhnya terjadi saat itu? Benarkah PKI menjadi antagonis tunggal dalam tragedi politik itu? Ataukah ada konstelasi kepentingan yang lebih rumit, yang selama ini ditutupi?

Aksioma ilmu sejarah menyatakan, ketika bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan, teks dan fakta sejarah selalu menjadi dua hal yang berbeda. Di negeri yang bermatra otoritarian, apa yang disebut sejarah adalah historiografi yang ditulis di bawah dikte kekuasaan. Sejarah tidak saja menjadi dalih legitimatif kenapa kekuasaan itu harus berdiri, namun juga menjadi instrumen hegemoni yang efektif kenapa kekuasaan harus bertahan dan dilestarikan. Yakni (meminjam istilah Antonio Gramsci) sebagai ideological state apparatus, interpretasi yang tunggal dan tak boleh ditepis.

Di tanah Jawa yang kita pijak ini, ’menggubah teks’ sebagai latar kesahihan kekuasaan, sudah dimulai saat Ken Arok ditulis sebagai putra Hyang Brahma dalam Kitab Pararaton. Atau juga dalam kisah perkawinan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul.

Soeharto yang priyayi Jawa pasti tahu metode itu. Sejumlah fragmen sejarah -- seperti Serangan Umum 1 Maret, G 30 S dan Supersemar -- ia reka ulang sebagai versi yang tunggal dan monolitik. Menjadi satu-satunya pangeling-eling yang boleh menghuni kotak ingatan komunal. Lantas PKI digubah menjadi semacam bayang-bayang kelam: meskipun tak pernah jelas wujudnya, namun terasa mencekam alam kesadaran.

Masalahnya setelah kekuasaan hegemonik itu telah lenyap, teks sejarah seperti apa yang layak dipercaya dari kekisruhan bertajuk Gerakan 30 September itu? Kita mencatat, kebebasan yang dijembreng sejak berakhirnya Orde Baru juga menghamparkan beragam versi mengenai peristiwa itu. Hampir semua versi sejatinya adalah tulisan lama, yang karena kontrol informasi oleh Orde Baru, tak terbaca oleh publik kita.

Satu versi tentu seperti yang dituturkan guru sejarah kita, bahwa PKI dan Biro Khususnya adalah antagonis tunggal dari peristiwa yang mengambil 6 nyawa jenderal ini. Dalam banyak bukunya, Nugroho Notosusanto adalah sejarawan yang paling giat mengkampanyekan versi ini. Sepanjang Orde Baru berkuasa, versi inilah yang menjadi instrumen hegemoni, yang harus diyakini semua orang ber-KTP Indonesia, tanpa reserve.

Versi lain menyampaikan, kemelut berdarah itu bermula dari sengketa internal ’di dalam markas’ Angkatan Darat. Faktanya, yang bertikai di level lapangan adalah para perwira dan kesatuan-kesatuan pendukungnya. PKI hanya disebutkan sebagai organ sipil yang terprovokasi melakukan dukungan secara politik. Penyokong versi ini yang paling terkenal adalah Cornell Papper, laporan yang ditulis Benedict Anderson dan kawan-kawan.

Kemudian penelusuran berbeda diungkap dalam artikel ”US and Overthrow of Soekarno”. Dalam artikel yang terkenal itu Peter Dale Scott mengungkapkan, CIA lah yang sejatinya menjadi biang. Motifnya, Amerika Serikat cemas dengan teori domino yang ditengarai dengan jatuhnya negara-negara Asia Tenggara ke dalam blok komunis.

Lantas dalam ”The Genesis of Confrontation: Malaysia, Brunai and Indonesia”, Greg Poulgrain ’menguatkan’ analisis Scott. Poulgrain menuliskan, kemelut bersimbah darah itu adalah modus pertemuan kepentingan Inggris-Amerika Serikat. Motifnya, kekuasaan Soekarno harus dijatuhkan demi mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia yang tengah mendaki klimaks di tahun itu.

Bahkan satu versi lain menuding Soekarno sendiri lah yang mendalangi operasi militer itu. Hulu analisis ini adalah Soekarno berkepentingan melenyapkan oposan di tubuh Angkatan Darat yang tak patuh pada perintahnya. Antonio Dake dan John Hughes adalah peneliti paling awal yang mengembangkan versi ini.

Dan satu teori lain meyakini, tak ada dalang tunggal dalam peristiwa itu. Sebentuk situasi chaos yang bercampur dengan konspirasi. Menurut teori ini, kemelut politik itu adalah pertikaian yang komplek dari banyak klik kekuasaan yang bermain kala itu.

Di luar versi yang beragam itu, masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Dua soal yang sering mengemuka adalah, kenapa para pelaksana operasi G 30 S itu cukup dekat dengan Soeharto? Adakah sejatinya hubungan Soeharto dengan gerakan itu? Lantas pertanyaan dari sisi lain, jika persitiwa itu merupakan gerakan politik PKI secara organisasional, kenapa pimpinan partai itu di daerah-daerah tidak mengetahuinya?

Andai pemerintah tak ingin rebyeg oleh silang pemahaman terhadap sejarah G 30 S, maka biarlah sejarah menemukan kebenarannya sendiri. Kewajiban pemerintah cukup menjamin ruang publik yang terbuka bagi pelacakan sejarah yang fair dan bebas. Selama bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, hasil penelusuran sejarah seperti apapun harus bebas dipresentasikan dan diinterpretasi oleh benak publik.

Namun jika pengungkapan atas kemelut sejarah itu dianggap penting oleh pemerintah, ada baiknya dibentuk tim independen yang bebas dari jangkauan politik dan kekuasaan. Lebih cepat tentu lebih baik, karena ada kesaksian pelaku (yang masih hidup) yang masih bisa dihimpun sebagai data.

Hanya saja kita pasti tahu, yang menyedihkan di sekitar G 30 S bukan hanya aksi pelenyapan sejumlah jenderal. Ada horor kolosal yang masih tertutup tabir sejarah: pembunuhan ratusan ribu partisan PKI. Majalah Time pernah mencatat 500 ribu nyawa tercerabut pada babak akhir tragedi tersebut. Sementara empat kali lipat dari jumlah itu dipenjarakan tanpa proses peradilan.

Kita sepakat, pembunuhan para jenderal adalah sebentuk kesalahan, namun pembantaian massal itu tentunya juga kebengisan yang tak bertara. Terlepas siapapun korbannya. Pernahkah kita berupaya mengungkapnya? Dan belajar untuk menerima sehitam apapun masa lalu kita?

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat sebagai kolom di beberapa koran di bawah Grup Jawa Pos. Direvisi ulang sebagai pengantar sarasehan "Menggugat Sejarah G30S/PKI Versi Orde Baru" yang digelar Forum Penegak Pancasila (ForPanca).

Tidak ada komentar: