1 Juli 2011

Dominasi Maskulin dalam Hubungan Gender

Oleh: Wildanshah

“Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki”- Annie Leclerc


Mitos yang mengakar dalam masyarakat kita, peran perempuan dan laki-laki sudah ditentukan secara biologis. Laki-laki umumnya diyakini ‘secara alamiah’ lebih mendominasi, berorietasi hierarkis dan haus kekuasaan, sebaliknya perempuan dilihat sebagai pemelihara, pengasuh anak dan berorientasi domestik. Memang, dalam ilmu genetika dan biokimia bahwa ada batas material, bersifat kimiawi atas beberbagai kemungkinan perilaku. Hormon contohnya, dalam tubuh manusia, ia berubah menjadi tombol yang mengaktifkan gen yang ‘memerintah’ otak dan tubuh, yaitu organ, perkembangan otot, struktur tulang dan lainnya. Juga diyakini bahwa hormon yang sama membentuk struktur otak kita sehingga laki-laki dan perempuan memiliki pola aktifitas otak yang berlainan, Berdampak pada pembentukan pola perilaku yang berbeda pula.


Sedikit berkaca, ada kasus filosofis bahwa bahasa biokimia kadang tak pernah mampu menjadi ‘penjelas’ hubungan kausal dengan berbagai kategori kesadaran karena dalam konteks pembentukan mental tidak dapat direduksi menjadi fisik. Begitu juga, perempuan dan laki-laki memang berbeda secara biologis, namun untuk menjadi maskulin atau pun feminim merupakan konstruksi dari produksi kultural. Mengingat Giddens, baginya, pada saat yang sama, arti jantan dan betina tetap merupakan pertanyaan kultural yang terkait dengan signifikasi dan ada bukti yang jelas bahwa berbagai sikap kultural tetang maskulinitas dan feminitas telah berubah seiring dengan berjalanya sang waktu. Seperti halnya, aliran feminisme lain yang menolak segala bentuk esensialisme, dengan meyakini bahwa femintas dan maskulinitas semata-mata dan hanya merupakan konstruksi sosial. Karena, gender adalah konstruk kultural, maka gender tidak dapat digambarkan sebagaimana penjelasan secara biologi.

Seorang filosof post-strukturalis, Foucalt, mengemukakan pendapat antiesensialisme, dimana tidak ada subjektivitas ahistoris yang bersifat universal. Menjadi seorang perempuan atau laki-laki bukan merupakan hasil dari determinisme biologis atau struktur kognitif universal serta pola-pola kultural. Baginya, gender secara historis dan kultural bersifat spesifik. Namun, Foucalt menambahkan, bahwa kita digenderkan melalui kekuatan diskursus.

Membicarakan gender tidak lepas dari hasil penelitian Margaret Mead. Dalam penelitiannya, Mead memukan bukti menarik di daerah Papua, bahwa sifat perempuan Papua berbeda dengan apa yang ia lihat di barat. Citra perempuan barat identik dengan kecantikan, emosional, merawat diri dan cenderung feminim. Tidak ditemukan oleh Mead, perempuan feminim di Papua. Namun, ia malah menemukan laki-laki yang berperilaku feminim. Data dari hasil penelitiannya, seolah dapat menjelaskan bahwa pembentukan gender tidak bersifat universal. Ternyata proses konstruksi sosial mempunyai perbedaan nilai dan norma berbeda tergantung dengan speksifik tradisi kebudayaannya.

Terlepas dari perdebatan asumsi pembentuk gender, keberadaan teori gender pada tahun 1960 hingga kini, tidak lepas dari semangat pertemuan kaum feminisme dan sosiolog melakukan emansipasi, George Rizert pun membagi menjadi dua, teori sosial makro tetang gender dan teori sosial mikro tetang gender, kedua teori ini berbeda diranah besaran ruang dan arena. Dipahami oleh kaum feminis, bahwa dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Seolah keberadaan perempuan selalu tersubordinat oleh dominasi laki-laki; perempuan menjadi tempat pelampiasan kekerasan; perempuan selalu termajinalkan; perempuan memikul beban ganda yang membuat semakin kerdil eksistensinya.

Dominasi maskulin, buku yang ditulis Piere Bourdieu pada 1998, sepertinya menjadi pendobrak hegemoni relasi kuasa pada hubungan gender---kebuntuan. Baginya, selubung dominasi bergerak melalui praktek simbolis. Dominasi tidak melulu di-identik-an dengan penaklukan secara fisik. Selanjutnya, pemahaman akan kekerasan juga tidak akan terjebak pada difinisi yang kaku pula, sebagai prinsip kekerasan merupakan tindakan yang mendasar diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Didalamnya kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dengan berbagai bentuk: bisa fisik, verbal, moral, psikologis atau memalui pencitraan media.

Bourdieu lebih menyoroti kekerasan dalam peraktek simbolik, “dalam dominasi simbolis, terlihat cara bagaimana dominasi itu dipaksakan dan diderita sebagai kepatuhan, efek dari kekerasan simbolis, kekerasan halus, tak terasakan, tak dapat dilihat bahkan oleh korbannya sendiri” ujar sosiolog Prancis ini. jadi, dominasi terlaksana melalui praktek simbolis komunikasi dan pengetahuan, atau dapat dikatakan korbannya tidak tahu terhadap dominasi tersebut. Prinsip simbolis berwujud berupa, gaya hidup, cara berfikir, berbicara, bahasa bahkan ciri tubuh.

Karena kekerasan yang paling sulit di atasi adalah kekerasan simbolis yang beroperasi melalui wacana. Disebut simbolis karena dampak yang biasa dilihat dalam kekerasan fisik tidak terlihat, tidak mengeluarkan darah, luka, tidak membuat ketakutan, bahkan sang korban pun merasa aman dengan posisinya yang didominasi.

Masyarakat tidak pernah sadar bahwa apa yang mereka lakukan tidak pernah bebas nilai, seperti halnya dalam pemilihan kata dan penggunaan kalimat tidak pernah netral, tetapi selalu mengandung kepentingan atau nilai maskulin. Dalam dominasi laki-laki melalui wacana, terlihat cara bagaimana dominasi itu dan diderita. Perempuan menjalaninya sebagai kepatuhan yang wajar. Dengan kata lain, bahasa atau wacana selalu ideologis. Maka menarik bila kita melihat, Annie Lecrlerc yang mencita-citakan kesetaraan gender melalui wacana.

Sebagai bentuk reaksi kaum perempuan, Annie Leclerc mengukapan “aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara padang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki”. Ungkapan ini merupakan ungkapan kerinduan akan kebebasan, kemerdekaan dan sekaligus pederitaan kaum perempuan akibat ketidakadilan gender.

Betapa tidak menyakitkan, dalam upaya menggambarkan kebahagiaan dirinya wanita harus melihat kepada laki-laki untuk bisa menemukan kata yang tepat dan disetujui. Hampir semua iklan produk kecantikan yang ditayangkan oleh media di Indonesia, sinetron-sinetron, bahkan model pakaian wanita, selalu didasarkan pada kemampuan untuk memikat laki-laki. Perempuan seolah hanya hidup untuk melengkapi kehidupan laki-laki. Kehadiran perempuan hanya menjadi objek bagi laki-laki, bahkan perempuan menjadikan dirinya sendiri sebagai objeknya. Tanpa pernah memikirkan diri sendiri sebagai perempuan, sebagai subjek yang merdeka.

Ini cukup tergambarkan secara baik di film garapan Ryan Murphy, berjudul Eat Pray Love yang dibintangi oleh Julia Roberts yang berperan sebagai Liz. Dalam satu adegan Lis mengatakan ”aku harus berubah... sejak umur 15, aku berhubungan dengan seorang pria atau putus dengan seorang pria. Aku belum sempat istirahat selam dua minggu. Untuk hanya berurusan dengan, kau tahu, diri ku sendiri”. Film ini menceritakan seorang istri yang selalu saja menurut dan patuh pada kemauan suaminya, memang Liz hidup sebagai orang kaya, berlimpah harta dan rumah mewah. Namun, suaminya sibuk mengejar kariernya hingga menomer-dua-kan Liz dikehidupannya. Hingga saat, Liz mulai muak dan menceraikan suaminya itu. Liz merasa selama delapan tahun pernikahannya. Ia tidak pernah bahagia, ia sadar bahwa waktunya sudah terbuang percuma hanya untuk menunggu suaminya memikirkan dia, ternyata penantian Liz percuma dan ia memutuskan untuk mulai memikirkan dirinya sediri yang telah lama dilupakan karena teralu menanti perhatian dari suaminya.

Bila kita cermati, fenomena pacaran dikalangan mahasiswa pun tidak lepas dari dominasi, lihat saja sinetron yang selalu muncul di televisi. Misalnya salah satu adegan, Ada seorang perempuan yang berpakaian berwarna kuning, berambut kriting, dengan lincah ia menemui pacarnya di kantin, tidak lama sang perempuan terdiam ketika kekasihnya berkomentar, mengenai pakainya yang cenderung berwarna menyolok, tidak hanya itu, lelaki tersebut lalu meminta perempuan tadi mulai meluruskan rambutnya agar terlihat cantik. Keesokan harinya, perempuan tersebut sudah merubah semua gaya berpakainya dan rambutnya hanya untuk menyenangkan hasrat pacarnya. Bahkan, situasi yang paling menyiksa dan tak bisa ditolerin namun tampak wajar. Seorang perempuan rela menanggung malu, tidak mau menyebukan nama kekasih yang menghamilinya untuk menjaga nama baik dan karier lelaki yang ia cintai agar tidak ternodai. Pederitaan dan penidasan yang diterima kaum perempuan kini disebut “pengorbanan”.

Seminggu sebelum menikah, seorang artis dan juga sebagai aktifis perempuan diwawancarai oleh wartawan tetang alasan mengapa ia memilih suami sesama artis itu sebagai suaminya. Jawaban dari aktifis tersebut sederhana: Karena calon suaminya itu mengijinkannya untuk melanjutkan gerakanya”. Jawaban ini mencerminkan kekerasan simbolik. Sadar atau tidak aktifis perempuan ini menerimaa hubungan dominasi, menerima posisi kepatuhan Bila dipahami seksama, kekerasaan simbolis adalah pintu gerbang menuju kekerasaan psikologis dan beresiko pada kekerasaan fisik.

Kemampuan menetapkan apa saja yang mesti berlaku merupakan kekuatan tatanan maskulin. Dalam kesehariannya, tatanan lelaki memaksakan diri seakan netral dan tidak perlu harus mengukap dalam wacana yang ingin legitimasi. Padahal, bagi Focault wacana tidak lepas digelayuti oleh kepentingan subjek tertentu. Dimana, wacana menjadi tempat bertemunya pengetahuan dengan kekuasaan. Tatanan sosial sudah berjalan seperti biasa, kekuasaan simbolis layaknya mesin yang bergerak ‘netral’ mengesahkan dominasi maskulin terutama dalam pembagian kerja, pembagian perkerjaan yang didasarkan perbedaan seks, semua bentuk dominasi itu seakan wajar karena struktur kognitif yang telah terintergasi dalam diri pelaku yang sesuai dengan struktur objek dan menjamin kepercayaan terhadap tatanan yang ada.

Kekuasaan simbolis bisa memaksakan pemaknaan secara sah dengan menyembunyikan hubungan kekuatan yang merupakan dasar kekuasaannya. Bourdieu menggunakan istilah teknis doxa, yaitu sudut padang penguasa atau dominan yang menyatakan diri dan memberlakuakan diri sebagai sudut padang universal. Penguasa atas wacana menjadi sumber kekuasaan dan dominasi laki-laki seakan wajar dan alamiah.

Logika dominasi berjalan karena prinsip simbolis yang diterima dua pihal; gaya hidup, cara berfikir, bertindak, bahasa dan kepemilikan atas dasar tubuh. bentuk tubuh laki-laki menetukan aturan main dalam kebanyakan cabang olah raga dan profesi. Selain itu, siklus hidup laki-laki menentukan dalam mendefiniskan syarat keberhasilan profesi. Tidak ada cuti haid dan hamil untuk laki-laki sehingga tidak dirugikan oleh tuntutan untuk displin dan kehadiran. Agresifitas dan dominasi mendefinisikan apa yang disebut sejarah. Sejarah ditulis mendasarkan pada fakta penaklukan, kemenangan. Dengan demikian, laki-laki diuntungkan dengan definisi tetang moral, kerja, karier, jasa dan kepantasan. Dan, kebanyakan masyrakat kin membuat tradisi, moral, nilai, norma bahkan agama cenderung mendorong perempuam bersembunyi di rumah. Dengan berbagai cara media selalu memproduksi pencitran “ke-ideal-an” perempuan dengan alasan melindungi perempuan justru malah membatasi ruang privat dan ruang publik bagi eksistensi perempuan.

Sudut pandang penilaian kuat ditentukan oleh budaya laki-laki. Tidak mengherankan tradisi dan moral lebih merupakan pembatas dari pada pelindung bagi eksistensi perempuan. Wacana laki-laki mendikte perempuan dalam kepatuhan. Ketidakpuasaan kaum perempuan harus mengikuti kemauan laki-laki. Namun, apakah perempuan nantinya akan sadar dan mulai memikirkan kemerdekaan dirinya sendiri untuk lepas dari penindasan. Mungkin, Julia Kristeva meyakini ini. Walaupun, Ivan illch terlalu pesismis, dengan lantang berteriak ”Gender telah mati”.


Refrensi tulisan

Buku

Chris Barker, Cultural Studies; teori & praktik, Yogyakarta, kreasiwacana. 2008.

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana, 2005.

Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Jakarta, Pustaka Jaya, 1992.

Joanne Hollows, Feminisme, Femininitas & Budaya Populer, Yogyakarta, Jalasutra. 2010.

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi. Jakarta, Lembaga penerbit Fakutas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004

Piere Bourdieu, Dominasi Maskulin, Yogyakarta, jalasutra. 2010.

Film

Eat Pray Love, director Ryan Murphy, Colombia Picture

Tidak ada komentar: