25 November 2010

Mutualisme : Belajar Koperasi dari Anarkisme

Oleh : Dodi Faedlulloh

Koperasi memiliki tingkat kekenyalan yang tinggi. Maka munculah beberapa pengejewantahan klaim bahwa koperasi adalah seperti ini, seperti itu. Dari anggapan koperasi hanya sebagai alat negara, bagian dari kapitalisme, sebagai sistem tandingan (countervailing) kapitalisme, atau bahkan koperasi telah menjadi substatantive power bermunculan dalam khazanah perkoperasian di dunia. Sifat kenyal dari koperasi adalah suatu keunikan tersendiri bahkan sekaligus bisa menjadi suatu kelemahan yang mendasar bagi gerakan koperasi karena hal ini malah bisa memudarkan jatidiri dan membengkakan kesalah-pahaman yang terjadi dalam penafsiran koperasi.

Awal sejarah gerakan koperasi didunia pun beragam. Koperasi Perintis Rochdale di Inggris misalnya yang telah berhasil menjadi pelopor koperasi modern dunia mampu meletakan dasar-dasar nilai koperasi yang menempatkan harkat manusia di atas capital. Kemudian gerakan koperasi di Uni Soviet yang mana koperasi dijadikan alat menuju tercapainya masyarakat komunis maka secara ideologis koperasi harus meleburkan diri dengan gerakan partai komunis. Atau dinegara-negara kesejahteraan (welfare state) seperti di Norwegia, Denmark dan Swedia yang mana disana kapitalisme masih bebas bergerak namun koperasi-koperasinya memiliki akar yang kuat, sebagai tradisi berekonomi masyarakat. Contohnya Denmark yang termasuk dalam deretan negara memberlakukan sistem ekonomi paling liberal di dunia. Namun, masyarakat negeri ini memiliki tradisi kuat dalam mengorganisasikan diri untuk kegiatan ekonomi, yang kelak menjadi landasan kuat bagi tumbuhnya koperasi pada 1800-an. Tradisi demikian ditemukan juga di negara serumpun seperti Norwegia dan Swedia.


Dari berbagai keragaman sejarah lahir dan tumbuhnya koperasi didunia ada satu benang merah yang bisa ditarik yaitu adanya tujuan untuk mendistribusikan capital secara merata agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Ada satu sudut pandang yang memang jarang dijadikan referensi berharga bagi para pegiat koperasi yakni gerakan koperasi yang dilakukan oleh para penganut anarkisme.


Anarkisme mungkin dianggap tidak terlalu penting untuk dipelajari karena kesan umum yang ada term anarkis diartikan sebagai bentuk kekacauan dan kerusuhan. Ya, dengan kekeliruan ini membuat anarkisme menjadi tidak menarik semana ketika kata koperasi banyak disalah-artikan oleh banyak orang hanya sebagai badan usaha kecil dan hanya untuk orang kecil saja yang membuat koperasi tidaklah begitu asyik untuk didalami.

Anarkisme dalam essai Zoro Sastrowardoyo yang berjudul Anarkisme Sosial didefinisikan sebagai sosialisme libertarian atau sosialisme berperi-kebebasan individual. Anarkisme menentang pemerintahan, negara, dan sekaligus kapitalisme. Karenanya, secara sederhana, Anarkisme adalah sebuah pemikiran dan gerakan politik sosialisme yang menentang segala bentuk otorianisme, terutama kekuasaan politik negara dan kekuasaan ekonomi kapitalis serta otoritas menindas lainnya terhadap individu.

Koperasi dalam prespektif anarkis bisa sangat relevan dengan kondisi koperasi di Indonesia sebagai kritik terhadap wacana koperasi dibawah naungan birokrasi (negara). Dan perlu diingat konsep koperasi dalam bentuk murni itu adalah kemandirian, kesukarelaan, kesetaraan, dan tentunya kebebasan.

Seorang tokoh anarkis Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865) menghadirkan sebuah konsep yang namanya mutualisme. Proudhon mendasarkan ekonomi masa depan pada “…sebuah pola kepunyaan (possesing) kelompok-kelompok kecil dan individu (bukan kepemilikan-owning) atas alat produksi, dan diikat oleh kontrak-kontrak pertukaran yang saling menguntungkan serta kredit yang akan menjamin masing-masing individual menghasilkan tenaga kerja mereka sendiri.” Jenis Anarkisme ini hadir ketika keberadaan Individualis mengambil ide mereka dalam praktik, dan hanya berharap untuk mereformasi kapitalisme dan membuatnya ‘koperasi’. Proudhon sendiri mendukung sistem pasar bebas anti-kapitalis dalam bentuk koperasi-koperasi pekerja, koperasi kredit, perserikatan, dan kolektif untuk skala besar.

Mutualisme berdasarkan pada bentuk sosialisme pasar yakni pertukaran hasil kerja yang dilakukan para pekerja/buruh dengan koperatif melalui sistem bank komunitas. Keberadaan bank komunitas ini dibentuk untuk kepentingan semua. Jadi memastikan bahwa mereka menyediakan dana investasi bagi koperasi daripada perusahaan kapitalis.

Kaum anarkis mutualis mendukung pembuatan apa yang oleh Proudhon disebut federasi agro-industri atau yang sering disebut Produhen sebagai komune untuk melengkapi federasi komunitas liberal. Tujuan susunan federal khusus ini adalah untuk melindungi warga negara federal dari kapitalis dan feodalisme finansial, baik di dalam maupun dari luar. Federasi agro industri akan diberikan untuk memastikan keadaan masyarakat yang anarkis dari destabilisasi efek pertukaran pasar yang dapat menimbulkan peningkatan ketidaksetaraan dalam kesejahteraan dan begitu juga kekuasaan. Sistem semacam itu akan menajadi contoh praktis solidaritas, karena “industri-industri bersaudara; mereka merupakan bagian dari tubuh yang sama; yang satu menderita maka yang lain juga merasakannya. Oleh karena itu mereka sebaiknya membuat federasi, bukan untuk dihisap dan atau dikacaukan, namun untuk menjamin kamakmuran bersama. Dengan membuat kesepakatan ini, kebebasan mereka tidak akan dikurangi; kesepakatan itu juga membuat kebebasan mereka lebih aman dan kuat.”

Kaum anarkis ini menyetujui dukungan kaum mutualis bagi pengelolaan mandiri pekerja terhadap produksi dalam koperasi namun melihat konfederasi asosiasi ini sebagai pusat perhatian untuk menyatakan bantuan bersama, namun bukan pasar. Otonomi tempat kerja dan pengelolaan yang mandiri akan menjadi dasar federasi apapun, karena “kaum pekerja dalam bermacam-macam perusahaan tak memiliki maksud sedikitpun untuk menyerahkan kontrol terhadap alat produksi yang telah mereka peroleh dengan susah payah kepada kekuasaan superior yang menyebut dirinya ‘korporasi’”. Lagipula untuk federsi industri yang luas ini juga akan terdapat konfederasi komunitas dan industri silang untuk melaksanakan tugas yang tidak berada di dalam yurisdiksi eksklusif atau kapasitas federasi industri tertentu apapun atau kapasitas federasi industrial apapun atau juga merupakan sebuah keadaan sosial. Sekali lagi, hal ini memiliki kesamaan dengan pemikiran mutualis Proudhon.

Cerita di Argentina

Mutualisme tidaklah usang, setidaknya ini pernah menjadi suatu inspirasi yang luar biasa juga pernah terbukti mampu memberikan jalan lain secara praktik empiris. Pada tahun 2001 Argentina terkena badai krisis ekonomi yang dahsyat yang diikuti dengan krisis politik akibat dari dampak diterapkannya sistem neoliberalisme. Karena alasan stabilitas maka banyak pabrik dan perusahaan yang ditinggalkan oleh pemiliknya (kapitalis) yang menyebabkan jutaan jiwa kehilangan mata pencahariaanya.

Singkat cerita para pekerja terbangkitkan kesadarannya lalu melakukan pemberontakan dan perebutan pabrik dan perusahaan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang kabur.

Setelah pendudukan perusahaan dan pabrik yang dilakukan para pekerja, mereka pun menjadikan perusahaan dan pabrik tersebut menjadi semacam koperasi pekerja, manajemen dalam perusahaan swakelola didesain horizontal, setara. Untuk posisi yang penting agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan mereka melakukan penggiliran dalam penempatan posisi tersebut. Di pabrik-pabrik yang diduduki dan diambil alih, sebuah bentuk hubungan sosial baru dibangun. Ditingkat perusahaan dibentuk komite antar perusahaan guna mengirimkan delegasinya untuk menjalin koordinasi di tingkat wilayah. Para pekerja mempraktekkan swakelola, dimana pekerja mengontrol seluruh jalannya produksi tanpa campur tangan para kapitalis pemilik lama, politisi dan partai politik, serta negara.

Tidak hanya ditingkat perusahaan/pabrik bahkan para guru dan pelajar juga menduduki sekolah-sekolah dan kampus untuk mengujicobakan pengelolaan pendidikan di tangan komunitas. Praktek-praktek swakelola juga melebar ke klinik dan pusat-pusat kesehatan, serta dapur-dapur umum yang kesemuanya dikelola secara otonom.

Mereka membangun solidaritas dengan buruh-buruh pabrik, karyawan-karyawan di perusahaan yang telah diduduki untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, bekerja sama dengan Komite Popular, dewan-dewan komunitas, untuk mengorganisasikan masyarakat dalam struktur yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.

Sampai saat ini masih perusahaan/pabrik banyak yang terus beroperasi dengan sistem swakelola pekerja walaupun tidak sedikit juga diantaranya harus kalah karena tindakan refresif yang dilakukan oleh negara dan kapitalis.

Para pekerja dari Argentina ini terinspirasi dari model koperasi itu sendiri, dan beroperasi seperti pasar. Tapi tentu penyebutan kata “pasar”, tidak tertuju kepada “Kapitalis”. Karena kapitalis membutuhkan pemisahan modal dari tenaga kerja, di mana hak istimewa dipegang oleh para pemilik modal, sehingga terbentuk hirarki.

Kontekstualisasi

Tampaknya koperasi sebagai sebuah gerakan harus lebih banyak belajar (lagi). Jangan sampai sifat kenyal yang dimiliki koperasi akan membunuh aktivitas koperasi itu sendiri. Sebagai sebuah organisasi yang otonom, koperasi bisa belajar dari gerakan anarkisme (mutualisme) yang berotonom ria dalam segala kegiatannya.
Konteks perkoperasian di Indonesia yang tampak jalan ditempat karena posisi negara yang over shimpaty namun malah menjadi hambatan bagi koperasi itu sendiri. Ketika suatu waktu peran negara malah menjadi rival karena tidak pernah mau melakukan affirmative action for cooperative dan lebih memilih berjabat tangan dengan kapitalisme maka tindakan subversif dengan tetap berangkat dari titik kemandirian, self help, dan otonomi seperti halnya yang dilakukan oleh para pahlawan di Argentina yang telah dipaparkan dimuka bisa dilakukan oleh (gerakan) koperasi. Why not ?

Contoh kecil kasus di Argentina, tanpa campur tangan para kapitalis, politisi dan partai politik, serta negara para pekerja tetap mampu berkoperasi dan berproduksi. Setidak-tidaknya ini bisa menjadi inspirasi tersendiri bagi koperasi di Indonesia yang gerakannya justru terhambat karena ulah negara. “Hikmah” lain dari sejarah di Argentina membuktikan pada dasarnya manusia adalah hidup untuk bekerja-sama.

Koperasi adalah gerakan perlawanan. Karena ketika negara bukan lagi menjadi tempat “meminta” yang baik karena telah dijinakan oleh imprealisme undang-undang (Semisal UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 ) yang dilakukan oleh para pemuja kapitalisme maka koperasi harus berani untuk menafikan peran negara. Koperasi harus sedikit berbuat nakal dalam memainkan dirinya sebagai wadah otonom dengan memberikan gertakan-gertakan kepada negara dengan tetap berpijak pada otonomitas murni. Bisa jadi ketika koperasi-koperasi telah tumbuh berkembang dan besar serta mampu berjalan mandiri, tanpa dijilatpun negara malah memilih koperasi sebagai teman kencannya. [ ]



Tidak ada komentar: