28 November 2010

Dengan Sastra, Kita Cintai Maritim Kita

Oleh: Nurani Soyomukti


tak seorangpun menulis laut

tapi ada penulis laut

dengan sekali sintuh

segalanya jadi gemuruh

kapan memantul kecemasan

dari rahang-rahang batu karang

ketika lenyap jeritan takdirpun tidak telanjang



Puisi berjudul "Laut" karya Zamawi Imron di atas ditulis pada tahun 1977. Penyair asal Madura ini seakan mengingatkan pada kita bahwa "tak seorangpun menulis laut", artinya bahwa laut dan potensinya masih jarang ditulis oleh para sastrawan kita. Laut memiliki pesona yang tidak pernah lekang dari manusia yang, sayangnya, masih belum dapat dimanfaaatkan untuk membangun negeri ini, untuk membangun kemanusiaan bangsa.

Menggali potensi laut sebagai bahan mentah estetika puisi, cerpen, atau novel masih belum banyak dilakukan. Seakan seiring dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mengolah sumberdaya maritim kita. Kebanyakan sastrawan kita masih terpesona oleh nuansa kehidupan urban dalam menginspirasikan karya-karyanya. Kehidupan perkotaan yang hedonis dengan suka-dukanya yang estetis dan seksualis seakan mendominasi wajah kesusastraan negeri ini. Para sastrawan lupa bahwa bagian terluas dari wilayah kita adalah laut.

Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau, tetapi hanya sekitar 5.700 saja yang bernama. Luas perairan kita sekitar 3,1 juta kilometer persegi. Terdiri atas 2,8 juta kilometer persegi perairan Nusantara dan 0,3 juta kilometer persegi laut teritorial, serta 2,7 juta kilometer persegi perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Panjang garis pantainya 80.791 kilometer atau 43.670 mil. Wilayah laut tersebut menyimpan kekayaan alam yang melimpah.


Ketidakmampuan dalam memanfaatkan alam telah membuat bangsa ini terbelakang. Mereka yang masih banyak tinggal di daerah pinggiran, di daerah pantai yang dekat dengan tempat meruahnya kekayaan tersebut, justru mengalami kehidupan yang paling parah, miskin, dan tertinggal. Hal ini disebabkan oleh minimnya teknologi dan ilmu pengetahuan untuk membantu mengolah potensi alam tersebut.

Keterbelakangan budaya dan pola pikir juga menyebabkan mereka tidak dapat memanfaatkan alamnya secara maksimal. Bahkan cara berpikir dan menjalani kehidupan juga mewarnai pola hidup yang tidak demokratis, bahkan terjadi ketidakadilan dan penindasan yang dilanggengkan oleh budayanya yang feudal.

Pramoedya Ananta Toer barangkali dalam bukunya Gadis Pantai, menceritakan gambaran feudalisme daerah pinggiran tersebut. Ketimpangan gender hendak diangkat dalam karya tersebut. Digambarkan bahwa di daerah pantai perempuan tidak lebih menjadi media pelatihan pria menuju kesejatiannya untuk menikahi perempuan lainnya yang lebih berderajat atau bangsawan, akan tetapi tetap dijadikan perhiasan dalam sangkar emas, tetap menjadi alat untuk memproduksi keturunan, tidak lebih dari itu.

Meskipun tragis, melalui karya ini Pram menampilkan perempuan yang memberontak. Tokoh Srintil adalah gadis yang melawan kesewenangan-wenangan terhadap dirinya justru dengan kesadaran untuk melakoni hidup sebagai seorang ronggeng yang dianggapnya adalah pilihan untuk memberontak.

Kisah kehidupan maritim nusantara secara komprehensif dan apik juga diangkat Pram dalam roman sejarah yang panjang dengan judul "Arus Balik" (1995). Plot cerita roman ini adalah sekitar paruh waktu abad ke-16, tepatnya masa-masa kejatuhan kerajaan Nusantara Majapahit. Dalam karya ini Pram mencoba merasionalisasi data-data sejarah Jawa yang dikenal lebih sebagai setumpuk mitos (misalnya Pararaton dan Negarakertagama). Arus Balik secara sederhana menggambarkan situasi arus laut. Pada kejayaan Majapahit, arus kekuasaan datang dari selatan menuju utara, yakni bagaimana Majapahit menguasai kedaulatan negara-negara sampai utara.

Pada kejatuhan Majapahit arus itu berubah dari utara ke selatan, atau dengan kata lain arus telah berbalik. Majapahit yang disibukkan oleh masalah "daratan" (perang saudara), mulai kehilangan kontrol atas lautnya yang luas itu, sehingga memungkinkan terjadinya arus balik. Inilah awal dari kejatuhan Nusantara dan masuknya kolonialisme Eropa melalui utara.

Arus Balik bisa menjadi jawaban mengapa Indonesia masih juga tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialis-imperialis dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya, meski telah bertahun-tahun menganggap dirinya telah merdeka.

Kenyataannya arus laut memang masih bergerak dari utara ke selatan, yang artinya belum juga berubah sejak kejatuhan Majapahit. Ini menandakan bahwa apa yang dilakukan Indonesia tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Majapahit saat kejatuhannya: Angkatan Darat lebih kuat dari Angkatan Laut.

Dalam wawancara dengan Kompas, Pram antara lain mengatakan: "Zaman Belanda yang berkuasa di pertahanan AD. Ketika diserbu AL Inggris tahun 1812, hanya dua hari, angkat tangan. Tahun 1942 diserbu AL Jepang, dua hari Belanda angkat tangan. Padahal AD Belanda itu menghasilkan banyak jenderal, seperti sekarang. Ini bukti historis, lho, sebab pertahanan laut Belanda tak punya."

Nusantara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas laut, memang sudah sepantasnyalah mendapatkan perlindungan atas lautnya. Laut Indonesia adalah sumber kekayaan yang melimpah. Darinya kesejahteraan rakyat sangat ditopang. Laut pula yang melindungi rakyat dari ancaman negara asing.

Jika laut telah diduduki bangsa asing (misalnya pencurian-pencurian sumberdaya laut oleh kapal-kapal asing), itu sudah merupakan penjajahan terhadap kedaulatan Indonesia sebagai negara, dan berarti ancaman terhadap rakyat di dalamnya.

Pram nampaknya ingin memberikan suatu penyadaran akan hal itu, dan hal itu dilakukan melalui sebuah roman Arus Balik yang ditulis dengan fakta dan data-data sejarah yang meyakinkan. Arus Balik menunjukkan kekuatan sejarah dalam arus penyadaran rakyat yang seolah-olah, karena tak mengenal sejarah, juga tidak mengenal dirinya sendiri.

Pram dan Zamawi Imron barangkali adalah dua sastrawan yang menginginkan kita untuk segera mencintai maritim melalui karya sastra. Maritim adalah predikat bagi negara kita.

Sejak masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan laut. Dalam catatan sejarah terdapat bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa kita menguasai lautan Nusantara.

Dan dengan warisan itulah seharusnya negeri ini bangkit sebagai negara yang maju secara ekonomi, mandiri, berbudaya, dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan kesejahteraan.***


*) Pernah dimuat di Suara Karya, Sabtu 2 Juni 2007, dipublikasikan ulang untuk pendidikan.



Tidak ada komentar: