6 September 2010

Mengenal Hasan Hanafi dengan Oksidentalistnya

Oleh : Ukon Furkonudin

Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti silam kiri, oksidentalisme, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.

Dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934, Hanafi kecil, layaknya orang Mesir lainnya, mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Pendidikan dasar dan tingginya ia tempuh di kota kelahirannya. Sedangkan gelar doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d'exegese (Essai tentang Metode Penafsiran).

Pada1971, disertasi ini memperoleh hadiah sebagai karya tulis terbaik di Mesir. Dari Paris, ia kembali ke almamaternya, Universitas Kairo dan mengajar filsafat Islam. Ia kini dipercaya sebagai ketua jurusan program tersebut.


Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang iacetuskan pada 1981. Konsrp itu merupakan kepanjangan dari gagasan Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh.Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.

Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat islam ditempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman internal.

Untuk proyek besar seperti itu, menurut dia, tak bisa mengandalkan kebaikan orang lain. ''Yang bisa menolong kaum muslim sendiri,'' ujarnya dalam satu diskusi yang diselenggarakan mahasiswa Indonesia di Mesir pada tahun 2000. Untuk dapat mengubah kondisi tersebut, yang mendesak dilakukan umat Islam adalah rekonstruksi (i'adah bina/pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurut dia telah terjadi stagnasi pemikiran. Dan itu, katanya, menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam.

Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk.

Denganupaya ini, Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi,dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, katanya, ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi tersebut harus diubah.[]

*) Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tinggal di Tasikmalaya.

Tidak ada komentar: