18 Agustus 2010

Mahasiswa dan Rakyat

Oleh : Chaerudin Affan

 Rezim Orde Baru di bawah kuasa Soeharto telah lama ditinggalkan, setidaknya sudah sebelas tahun silam rezim itu diruntuhkan. Saat itu mahasiswa mengambil peran yang tak kalah penting dengan para elit politik yang menginginkan Soeharto turun dari jabatannya. Bukan hanya pada tahun 1998 saja mahasiswa memiliki peran yang cukup vital dalam setiap perubahan sosial di negeri ini, pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, para intelektual muda sudah sibuk dengan konsepsi-konsepsi besar untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lalu
setelah kemerdekaan Indonesia berjalan sekitar 20 tahun di bawah kepemimpinan Soekarno, mahasiswapun terlibat terhadap penurunan Soekarno dari kursinya.

Runtuhnya Soekarno membawa angin segar bagi para investor asing, setidaknya setelah presiden terpilih selanjutnya, yaitu Soeharto menandatangani UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada tahun 1969. Akibat cita-cita atau bahkan bisa disebut ambisi Sang Presiden untuk membangun ekonomi Indonesia dengan cepat, membuat beberapa kalangan masyarakat jenuh dengan semakin maraknya produk-produk Jepang yang berceceran di atas tanah Republik Indonesia. Setelah kejenuhan itu berjalan selama kurang lebih lima tahunan, pecahlah tragedi yang hingga kini dikenal dengan nama tragedi Malari. Ya, mahasiswa saat itupun mengambil bagian dalam aksi masa itu.

Kini, di era Reformasi yang mana kebebasan mengeluarkan pendapat dan melakukan aksi massa telah dilindungi oleh pemerintah, kekuatan mahasiswa kini menghilang, “super hero” yang dinanti-nanti oleh masyarakat kini tak lagi nampak, bahkan tidak sedikit masyarakat yang menilai mahasiswa tidak lebih dari pembuat onar atau kemacetan belaka. Apakah mahasiswa hari ini tidak lagi mendapat restu dari masyarakat yang mereka bela, ataukah malah masyarakat tidak pernah merasa dibela oleh mahasiswa, atau masyarakat mulai jenuh dengan aksi-aksi mahasiswa yang hampir setiap bulan memacetkan jalanan tanpa ada perubahan di negeri ini. Tawuran antarmahasiswa, bahkan mahasiswa dengan warga setempat membuat cintra mahasiswa yang dahulu dianggap sebagai Dewi Fortuna bagi mereka yang tertindas, kini tak lebih dari para preman-preman yang masuk ke kampus yang berjas almamater.

Apakah citra mahasiswa kini telah seburuk itu? Belum lagi ditambah oleh mahasiswa yang mulai membuat film dokumenter adegan seks. Padahal restu dari rakyat adalah syarat mutlak untuk melakukan aksi masa. Tan Malaka pernah menulis di bukunya yang berjudul “Aksi Massa”, ia mengatakan, “Aksi masa tidak mengenal fantasi kosong tukang putch (tukang pukul) atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi masa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka”. Alangkah bijaknya apabila hari ini mahasiswa, melakukan refleksi atas gerakan yang belakangan dilakukan oleh kita, ya kita mahasiswa. Bahwasanya kita harus mengakui gerakan kita akhir-akhir ini tidak banyak mendapatkan respon positif dari masyarakat kebanyakan.

Kurang adanya respon positif dari masyarakat kebanyakan haruslah ditelaah lebih dalam oleh kalangan mahasiswa yang menginginkan perubahan dalam struktur pemerintahan yang dirasa sangat tidak memuaskan. Karena pada dasarnya gerakan mehasiswa sejatinya harus memperoleh dukungan masyarakat, ini terbukti di setiap aksi masa yang dilakukan pada 1966, 1974, 1998, tidak lepas dari dorongan masyarakat yang turut bergabung dalam aksi masa. Karena hakekatya mahasiswa berasal dari rakyat, maka tidaklah lupa untuk turut berjuang bersama rakyat kebanyakan dalam setiap aksi masa, dan bukan hanya mengatasnamakan rakyat. Hal semacam ini kerap kali terjadi berulang-ulang di era reformasi ini, yang pada akhirnya mahasiswa membuat gap. Gerakan mahasiswa semacam itu merupakan gerakan elitis semata, yang mana hanya kalangan tertentu yang bergerak atas nama kebanyakan orang atau massa.

Untuk mencapai titik kesempurnaan dalam sebuah pergerakan, aksi massa yang mana di dalamnya terdapat banyak harapan kebanyakan rakyat, maka kita harus mengingat apa yang telah disampaikan Tan dalam buku “Aksi Massa”nya, “Karena massa hanya akan berjuang untuk kebutuhan yang terdekat sesuai dengan kepentingan ekonomi”, hal ini yang semestinya disadari dalam-dalam oleh setiap kalangan mahasiswa yang hari ini terlihat mulai memisahkan diri dari masyarakat, dan membuat gap-gap baru.
Namun sebelum mencapai titik penyatuan kembali dengan rakyat, mahasiswa juga harus melakukan penyatuan di dalam tubuhnya sendiri. Maksudnya adalah, bahwa mahasiswa seluruh gerakan mahasiswa harus bersatu dalam satu langkah besar demi tujuan bersama untuk mensejahterakan rakyat, memberikan keadilan sosial, ekonomi, dan politik, dan menghapuskan diskriminasi, juga menghapuskan kolonialisme asing maupun kolonialisme lokal. Hal ini melihat bahwasanya akhir-akhir ini gerakan mahasiswa selain lepas dari masyarakat, juga terpecah- pecah. Setiap aksi, mahasiswa hanya berjumlah tidak lebih, bahkan jauh dari angka lima puluh orang, dan hanya nampak satu bendera golongan tertentu. Ini membuktikan, bahwa di dalam tubuh mahasiswa sendiri tak lagi nampak kesamaan tujuan, atau sama tujuan tapi tak mau berjalan bersama. Padahal untuk mencapai suatu tujuan dengan cara aksi massa yang belakangan ini mulai tenar di kalangan mahasiswa haruslah mulai melupakan ego masing-masing golongan, walau dalam tataran eksistensi golongan itu sendiri, dan hanya ada tujuan bersama, tentunya tujuan bersama rakyat.

Untuk menyatukan gerakan dan untuk mencapai aksi massa yang sesuai dengan rumussan Tan Malaka, hari ini mahasiswa membutuhkan sebuah forum yang dapat memfasilitasikan demi mencari kesemahaman bersama. Untuk itu saya mengutip dari tulisan Firdaus Putra Aditama salah seorang mahasiswa Sosiologi UNSOED, “kita perlu menggelar simposium gerakan sosial di Purwokerto”, saya rasa rumusan simposium yang ditawarkan oleh saudara Firdaus merupakan salah satu langkah demi mencapai suatu kesepahaman bersama diantara golongan-golongan mahasiswa, dan kembali dalam satu gerakan aksi massa demi kesejahteraan rakyat, dan bukan hanya sekedar eksistensi golongan.

Mengingat betapa memburuknya gerakan-gerakan mahasiswa akhir-akhir ini, haruslah kini sama-sama melakukan refleksi. Bukan hanya mengatasnamakan rakyat, tapi juga bergabung bersama rakyat.[]

*) Penulis adalah mahasiswa jurusan manajemen Universitas Jendral Soedirman, pegiat koperasi tinggal di Tanggerang.

1 komentar:

Ambae.exe mengatakan...

silaturahmi ke tempat sahabat