20 Agustus 2010

Ibu Kota ? Kenapa Tidak Mencoba Ibu Desa

Oleh : Yahya Zakaria

Pro dan kontra mengenai pemindahan ibu kota Indonesia yang merebak akhir-akhir ini bukanlah tanpa sebab, titik jenuh kemacetan pada tahun 2014 yang diprediksi akan melumpuhkan transportasi Jakarta menjadi alasan utamanya, tidak ringan memang masalah transportasi di Ibu kota, tahun ke tahun beragam inovasi dilakukan untuk memecahkan masalah kemacetan; mono rail, busway hingga rekayasa lalu lintas, tetapi tetap saja hasilnya tidak memuaskan, kemacetan tetap bertahan hingga kini.


Kemacetan di Jakarta disebabkan oleh beragam faktor, dari pertumbuhan penduduk di sekitar Jabodetabek yang selalu tinggi, tidak terkontrolnya konsumsi sepeda motor dan mobil, tidak bertambahnya luas jalan, hingga kurang inovatifnya para pejabat yang mengurus perihal transportasi. Dari beragam faktor tersebut, memang terdapat faktor utama yang menyebabkan kemacetan Jakarta tidak terkendalihingga hari ini, yaitu pertumbuhan penduduk di Jakarta dan sekitarnya yang selalu subur karena urbanisasi.

Urbanisasi merupakan indikasi nyata pembangunan di Indonesia berorientasi ke kota, sejak era Orde Baru, praktek pembangunan yang berorientasi ke kota sudah dikenal, kala itu rezim Orde Baru dengan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) menjadikan modernisasi sebagai kiblat pembangunan, segudang teori modernisasi dipraktekan, alhasil ketimpangan terjadi, pemerataan hanya isapan jempol.

Teori pembangunan yang melihat masyarakat sebagai entitas linear sangat akrab dengan rezim Orde Baru, selain itu, trickle down effect yang selalu didengungkan para ekonomi pendukung modernisasi, selalu saja menyebutkan jika kota atau sentra-sentra ekonomi berkembang, maka daerah pinggirannya akan terkena rembesan, dengan kata lain keuntungan yang didapatkan kota akan mengalir juga ke desa. Paradigma inilah yang hingga kini dipertahankan, bahkan hingga rezim SBY-Boediono saat ini.

Teori hanya teori tanpa bukti, kenaikan cabai merah baru-baru ini tidaklah dinikmati petani, tidak ada rembesan hingga ke desa, petani tetap saja berkecimpung dalam keterbatasan. Kota memang menjadi penimbun perputaran uang, sementara desa hanya mengais sisa-sisa. Masalah inilah yang menjadi alasan mengapa urbanisasi tetap tinggi, mengapa pengangguran begitu tinggi di perkotaan.

"...kota besar menjadi magnit..." itulah celoteh Iwan Fals karena melihat fenomena urbanisasi yang tak terkendali di Ibu kota. Jakarta memang selalu mempesona, selalu membuat silau mata, karena segala hal memang tersedia disana.Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan, juga menjadi pusat bisnis, tak pelak lagi ribuan orang tanpa pikir panjang berlomba-lomba mengadu nasibnya.

Sebelum jauh ke rencana pemindahan Ibu kota, seharusnya pemerintah dengan serius mengkaji masalah ketimpangan di desa dan kota, karena inilah masalah mendasarnya. Pemerintah harus menyusun sebuah mekanisme agar masyarakat desa mampu memiliki posisi tawar di tengah lonjakan harga, jika tidak, sejauh apapun Ibu kota dipindahkan, urbanisasi akan selalu terjadi. Masyarakat yang memiliki harapan tinggi untuk mampu bertahan hidup secara layak akan terus memburu Ibu kota, apalagi jika kenaikan harga sembako, kenaikan tarif dasar listrik, pencabutan subsidi BBM tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan di desa,terutama petani, maka perpindahan ke kota merupakan satu-satunya jawaban.

"...desa harus jadi kekuatan ekonomi, agarwarganya tak hijrah ke kota..." itulah petikan lirik dari lagu Iwan Fals yang patut dijadikan acuan bagi para pengambil kebijakan di negeri ini. Mutlak, desa memang harus dijadikan kekuatan ekonomi, bukan kota. Paradigma pembangunan di Indonesia harus dirubah secepatnya, sebelum pemerintah memutuskan untuk memindahkan Ibu kota dengan ongkos yang tidak sedikit.

Kota manapun, provinsi apapun yang dijadikan tujuan Ibu kota tidak akan merubah runyamnya masalah kependudukan di Ibu kota akibat urbanisasi, sebelum dilakukan perubahan paradigma pembangunan yang berpihak ke desa. Kesenjangan sosial selalu akrab dengan urbanisasi, sehingga ketika desa dan kota masih timpang secara ekonomi, maka pemburu rupiah yang melakukan urbanisasi tidak akan mampu dibendung. Sudah saatnya, rezim SBY-Boediono melakukan lompatan besar di tengah keterdesakan kondisi hari ini, melakukan langkah-langkah pasti untuk menjadikan desa sebagai kekuatan, sebagai sentra-sentra perekonomian yang baru, tempat dimana masyarakat Indonesia mampu menyandarkan kebutuhan hidupnya.[]

*) Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu politik Universitas Jenderal Soedirman

1 komentar:

Unknown mengatakan...

berkunjung...jadikan hidup ini indah krn persahabatan