23 Maret 2011

PKL di Purwokerto : Sebuah Analisis Awal

Oleh : Dodi Faedlulloh

... Setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 UUD 1945)

Jangankan manusia, semut pun bisa marah bila dia merasa dirinya diinjak-injak, begitu pula yang kini dirasakan oleh para pedagang kaki lima (PKL) di sekitaran Jalan Jenderal Soedirman dan Pasar Wage, Purwokerto. Beberapa waktu ini akibat letupan issu relokasi (penggusuran ?) PKL, Purwokerto sempat memanas. Aksi-aksi penolakan terus dilakukan baik dari pedagang. LSM sampai elemen mahasiswa yang senantiasa berkomitmen membantu PKL.

Wejangan orang tua dulu, “bekerja apapun yang penting halal”, kini tampaknya tidak berlaku lagi untuk masalah ini. Para pedagang yang berusaha bekerja untuk menafkahi keluarganya secara halal harus terusik oleh otoritas pemerintah daerah. Dengan alasan karena keberadaan PKL mengganggu pengguna jalan. Ya, memang alasan klise.

Mungkin dalam benak mereka (pedagang) hanya terpikirkan bagaimana caranya bisa bekerja untuk memenuhi kebetuhan sehari-harinya. Jika tiba-tiba ada pihak yang ‘merebut’ pekerjaannya, dengan kata lain si ‘perebut’ juga telah berhasil merebut jalan hidup dan masa depannya. 

Permasalah PKL memang menjadi suatu yang dilematis, kerena bagaimanapun keberadaanya adalah menjadi ruang penghidupan bagi banyak orang. Namun sayang mereka selalu dijadikan pula sebagai biang masalah pengganggu keindahan kota. Perlu pengkajian secara mendalam dan tentunya dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian, tidak melulu dilihat secara estetika, karena persoalan PKL terkait juga dengan aspek ekonomi dan sosiologis, dengan tujuan bisa menghadirkan solsusi yang benar-benar solutif. 


PKL adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang terpaksa menghadapi realita kegagalan pemerintah dalam membangun perekonomian rakyat. Robinson (2001) menjelaskan bahwa munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Mengacu pada pendapat ini, maka permasalahan PKL akan hilang dengan sendirinya jika program pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil dan menengah, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Jadi sangat tidak bijak bila pemerintah selalu menyalahkan mereka sebagai biang keladi pesoalan keindahan kota karena justru sebaliknya yang bertanggung jawab atas hal ini adalah pemerintah sendiri.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nizar dkk (2008) menunjukan semakin tahun jumlah PKL di Purwokerto semakin meningkat namun tempatnya terbatas sehingga pemerintah seringkali melakukan penertiban atau lebih tepatnya penggusuran. Seharusnya ini bisa jadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah untuk lebih responsif mengatur permasalahan ini. Menjamurnya PKL adalah jalan lain yang harus tempuh oleh para pencari kerja karena sebagaimana yang diketahui kesempatan kerja di sektor formal sangat sulit didapat. Padahal bila kita menggunakan ‘mata hati’ untuk melihat para PKL, sejatinya mereka adalah manusia-manusia yang memiliki etos kerja tinggi, jiwa enterpreneur dan keteguhan hati yang kuat. Tengok saja mereka tidak pernah merasa malu untuk bekerja sepanjang hari dengan penghasilan yang belum pasti, sembari pungutan-pungutan (retribusi ?) masih terus diberikan kepada petugas.

Raperda Telah Diketuk

Perda tentang PKL akhirnya diketuk (23/03/2011). Dalam perda tersebut ada point-point yang dianggap bisa ‘membahayakan’ masa depan PKL, tidak hanya yang ada di Jalan Jenderal Soedirman saja, bahkan seluruh PKL yang ada di Banyumas. Karena dalam isi perda tersebut memuat tentang otoritas penuh Pemda untuk melakukan tata letak PKL tanpa ada ruang interaksi dan feedback yang melibatkan DPRD, apalagi PKL, sehingga ruang demokratisasi akan tertutup rapat. Namun ternyata ada kecacatan dalam pengambilan kebijakan (perda) tersebut. PKL tidak dilibatkan secara langsung, bahkan beberapa draft solusi dari PKL pun ditolak mentah-mentah. 

Dalam teori sistemnya David Easton (1953), sebuah kebijakan adalah hasil dari input, sistem (proses) dan output. Sederhananya teori sistem seperti organisme dalam biologi, yakni masyarakat saling tergantung satu sama lain. Kelangsungan suatu sistem tergantung dari pertukaran masukan (input) dan keluarannya (output) dengan lingkungannya. Pengaruh lingkungan, baik yang intrasocietal maupun yang extrasocietal mengalir masuk dalam sistem politik sebagai tuntutan-tuntutan maupun sebagai dukungan-dukungan yang tiada lain dalam teori ini disebut dengan input.

Input dalam perda PKL tersebut cendrung reduktif karena tidak memperhatikan unsur tuntutan (demand) dari para PKL (masyarakat), bahkan menafikan juga energi lain yakni unsur dukungan (support) yang berasal dari LSM, organisasi massa dan gerakan mahasiswa. Jadi bagaimana mungkin kerja sistem bisa berlangsung tanpa adanya bahan dasar yang akan dijadikan produk akhir (kebijakan).

Issu yang mencuat kini adalah relokasi PKL. Relokasi yang dilakukan oleh pemda tidak bisa dianggap sebagai penataan, lebih tepatnya penggusuran, karena solusi relokasi baru di Pasar Wage lantai dua sama sekali tidak bisa memecahkan bahkan malah menambah permasalahan. Jadi sangatlah manusiawi jika para pedagang melakukan penolakan relokasi tersebut, apalagi landasan perdanya nanti bukanlah murni dari aspirasi masyarakat. Ditambah pedagang yang berlokasi di Pasar Wage pun turut menolak relokasi tersebut. Akhirnya program relokasi malah menjadi momok sangat menakutkan bagi masing-masing pedagang.

PKL bukanlah sampah kotor yang harus dibersihkan. Paradigma yang menjadikan PKL sebagai sebuah beban harus segera dirubah. Bila kita menyempatkan diri menengok PKL-PKL yang ada di Purworkerto, kita bisa menginsayafi secara penuh bahwa keberadaan mereka sampai detik ini masih bisa berlangsung justru karena adanya ‘demand’ yang menginginkan jasa PKL tersebut. Ada interaksi simbiosis mutualisme antara PKL dengan masyarakat.

PKL justru bisa menjadi mitra bagi pemda karena secara tidak langsung kehadirannya telah membantu mengurangi pengangguran, punya peran sebagai shadow economy, serta menjadi alternatif untuk supply pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Menimbang kemanfaatan PKL tersebut, lantas mengapa harus ada tindakan represif berupa penggusuran dari pemda ? Atau jangan-jangan keindahan kota dianggap lebih penting daripada masalah kemiskinan dan pengangguran ?.

Tuntutan dan Demokrasi

Tuntutan masyarakat dalam demokrasi selalu diibaratkan dengan suara Tuhan. Konsep dari, oleh dan untuk rakyat seharusnya bisa jadi pedoman langkah yang dilakukan setiap pemerintah daerah manapun. Konteks permasalahan ini, pemda cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan , input berupa tuntutan para pedagang tidak menjadi pertimbangan.

Negeri ini dikenal selalu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, sudah menjadi kewajiban bagi pemda untuk membuat kebijakan yang tentunya lebih humanis dan tidak menindas warganya. Penggusuran bukanlah solusi, karena para pedagang perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. 

Persoalan PKL tidak selamanya harus ditanggapi dengan bentuk penggusuran. Penataan PKL di Galabo (Geladak Langen Bogan), Solo misalnya bisa dijadikan salah satu inspirasi yang menarik bagi Pemda Banyumas. Yang diperlukan saat ini adalah solusi kreatif bukan solusi represif karena sekali lagi mereka bukanlah kotoran yang harus dibersihkan tapi asset yang harus diberdayakan. []


Tidak ada komentar: