2 Februari 2011

Demokrasi Ekonomi dan Koperasi

Oleh : Suroto
(Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia)

Wahai Kaum Revolusioner !
Sesungguhnya tugas perjuangan kita itu hanya satu,
mengikis kapitalisme sampai ke akar-akarnya,
bukan memperjuangkan yang lainya...

Pendahuluan

Hampir setiap rezim yang berkuasa dibelahan dunia saat ini mengklaim dirinya sebagai demokratis. Tidak yang “kanan” maupun “kiri”, mereka seluruhnya mendorong dan menjamin hak setiap orang untuk memiliki hak yang sama dalam proses penggunaan hak politiknya. Mereka semua juga memiliki ciri yang sama dalam hal pengaturan ekonomi, sama-sama minus demokrasi ekonomi.

Sebagai misal adalah praktek demokrasi di negara kita sendiri, kita semua tahu ada banyak kemajuan dalam rumusan demokrasi politik walaupun masih dalam batas demokrasi prosedural. Tapi kita sendiri lupa, demokrasi semacam ini ternyata hanyalah sebuah eforia demokrasi politik yang demikian pada akhirnya hanya mampu melahirkan biaya yang mahal dalam berdemokrasi dan sentrum kekuasaan pada segelintir elit partai dan para pemilik kapital besar. Demokrasi pada akhirnya adalah menjadi sebuah mimpi indah bagi rakyat kebanyakan, dan yang lahir dalam kenyataan sehari-hari adalah pembohongan dan penindasan dari sistem plutokrasi atau oligarkhi kekuasaan. Segelintir orang kaya, dan elit partai berkuasa.


Demokrasi ekonomi di negara kita ini sesungguhnya tidak hanya telah menjadi ketentuan yang mengikat setiap warga dan penyelenggara pemerintahannya dengan dicantumnya dalam konstitusi UUD 1945 (sebelum Amandemen), bahkan telah menjadi sebuah mandat khusus yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVI/1998 tentang Politik Ekonomi menuju Demokrasi Ekonomi yang sekaligus sebagai rumusan agenda awal untuk melakukan reformasi pada waktu itu. Tapi apa sebab sampai sekarang semuanya hanyalah menjadi pepesan kosong tanpa komitmen untuk mewujudkanya.

Secara sederhana, konsep dari demokrasi ekonomi itu adalah merupakan kata lain dari sistem perekonomian yang tersusun dari, oleh dan untuk rakyat. Disebutkan dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dan dibawah peimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang, sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Demikian bunyi penjelasannya secara eksplisit dari sistem demokrasi ekonomi kita.

Banyak model demokrasi ekonomi modern yang dianut oleh negara-negara di dunia. Dari model demokrasi konservatif, demokrasi liberal, maupun demokrasi sosial. Namun sebagai ciri khas yang melekat di dalam negara demokrasi kita sebagaimana disampaikan oleh Bung Hatta bahwa demokrasi kita adalah demokrasi cap rakyat, dimana dasar demokrasi kita adalah berdasarkan pada kedaulatan rakyat, rakyatlah yang berkuasa dan pemerintah sekali lagi musti bercermin dari hati nurani rakyat di dalam melaksanakan tugas-tugas pengurusan negara. Perbedaan yang kemudian ditegaskan sekali lagi oleh Hatta bahwa dasar demokrasi kita bukanlah pada semangat individualisme yang justru akan memperkuat semangat liberialisme dan kapitalisme sebagaimana diajukan oleh JJ.Rousseau, tapi adalah pada semangat kebersamaan di dalam arti kolektivitas bukan dalam kesepadanan.

Dalam sistem perekonomian yang demokratis persyaratan utamanya adalah demokrasi politik musti berjalan, ada persamaan dalam hal politik, hak untuk mengeluarkan pendapat, berkedudukan yang sama di dalam hukum dan seterusnya. Bangunan sistem politik yang berarti “cara mengelola” negara di dalamnya juga perlu diperjelas di dalam sistem demokrasi ekonominya. Pembangunan yang dijalankan, demikian tiap-tiap orang secara mandiri (self reliance) terlibat dalam proses pembangunan sebagai suatu proses yang “inner will”, yaitu proses emansipasi diri, penuh inisiatif dan partisipasi kreatif masyarakat.

Sebagai adagium demokrasi, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi adalah dua hal penting yang harus berjalan secara linier, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi itu sesunguhnya adalah anti demokrasi.

Namun perlu juga kita jadikan proses lesson learned bersama, sebagaimana yang terjadi dalam praktika ekonomi Orde Baru di masa lalu, model patron bisnis yang dilakukan penguasa (Rezim Despot Suharto) dengan melakukan “kongkalikong” dengan para konglomerat dalam sistem “kapitalisme yang diciptakan oleh Negara” (state-led capitalism) juga tak diharapkan di dalam sistem ekonomi yang demokratis. Orientasi perubahan paska reformasi yang menjurus pada sistem pasar (market-led capitalism)saat ini juga sesungguhnya telah menyimang dari sistem demokrasi kita, karena sistem yang memberikan yang memberikan kuasa pada penawar harga tertinggi ini tak lebih hanya akan sekali lagi memperkuat posisi kapitalisme dan memunculkan tiran minoritas di dalam struktur ekonomi kita.

Kapitalisme Adalah Musuh Kita Besama : Bukan yang lainya!

Istilah kapitalisme atau kapitalis sering kita dengarkan dalam berbagai pidato politik, hingga orasi jalanan. Setelah kurang lebih satu setengah abad silam, paska revolusi industri terjadi, istilah kapitalisme mulai digunakan untuk menunjuk pada suatu faham tertentu atau lebih tepatnya ideologi tertentu. Bagi mereka para penganut paham ini disebut sebagai kaum kapitalis yang berarti menunjuk pada orang dan atau penganut dari paham tersebut.

Istilah kapitalisme atau kapitalis memang multi interpretasi dan sama rumitnya ketika kita membahas istilah “ideologi” itu sendiri. Kapitalisme secara etimologi berasal dari kata dasar kapital, modal. Sementara “isme” diartikan sebagai ajaran atau faham. Sehingga dapat didefinisikan sebagai suatu ajaran yang didasarkan pada basis modal (capital base). Mereka yang menggunakan modal sebagai penentu (master) dari sekedar arti modal sebagai pembantu (servant) disebut sebagai kelompok kapitalis, penganut paham ini. Kapital (baca : modal finansial) yang tak terikat oleh nilai-nilai kemanusiaan menjadi sentrum dari setiap tindakan orang, pada akhirnya siapapun yang menjadi pemenang dalam kebebasan untuk mengakumulasi modal secara berlebihan menjadi penindas bagi orang lain. Kelompok “berlebih” pada akhirnya berubah menjadi penindas terhadap kelompok lain yang “berkekurangan”. Modal menjadi kuasa bagi orang lain dan modal berdiri diatas harkat dan martabat manusia.

Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, kapitalisme dalam bentuknya yang masih ortodok telah memunculkan suatu perangai yang cukup dasyat merusak sendi-sendi dasar moral kemanusiaan.. Efek revolusi industri dan penguasaan modal akumulatif kaum kapitalis borjuis telah menjadikan daya tawar pekerja atau buruh menjadi rendah. Upah buruh di Eropa Barat pada waktu itu dibayar tidak layak bagi perikemanusiaan. Bahkan mereka mempekerjakan anak-anak di bawah usia kerja dan perempuan di pertambangan-pertambangan karena mau dibayar lebih murah dengan kualitas kerja yang sama dengan laki-laki dewasa. Hasil-hasil pertanian dibeli dengan murah dan seringkali dibawah nilai biaya produksi mereka. Demikian akhirnya menimbulkan gejolak politik dan sosial dimana-mana.

Kapitalisme dalam perkembangan peradaban seperti saat ini, tentu tidak lagi sama seperti pada saat kapitalisme awal berkembang pada masa revolusi industri. Tapi perangai kapitalisme yang tidak berubah adalah model kuasa segelintir orang terhadap orang kebanyakan, dan modal dijadikan sebagai penentu ketimbang sebagai alat bantu, karena begitulah hukum yang berlaku dalam sistem kapitalisme. Sebagian kecil orang telah mendominasi dan berkuasa sementara bagian besar yang lain dalam keadaan tersub-ordinasi dan termarginalisasi.

Menurut Warner Sombart, kapitalisme adalah sebuah sistem pemikiran ekonomi yang bersifat netral. Sebagai sistem pemikiran, kapitalisme ditandai oleh semangat tiga hal : pemilikan, persaingan dan rasionalitas. Sementara itu banyak pakar yang menganggap bahwa kapitalisme itu adalah sebuah sistem ekonomi atau sosial. Lebih sempit dari itu kapitalisme juga sering disebut sebagai “sistem industri modern”. Tapi dari berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwa kapitalisme adalah sebuah bangunan sistem ekonomi yang diletakkan pada sebuah dasar pemikiran bahwa modal adalah sebagai penentu, diatas kepentingan kemanusiaan. Sebagai sistem ekonomi, kapitalisme dicirikan adanya ; kegiatan ekonomi dan kontrol keuangan oleh usaha-usaha besar milik privat dalam arti orang seorang maupun keluarga, akumulasi laba sebesar-besarnya dalam motif pencarian keuntungan (profit oriented), ekonomi pasar persaingan dominan yang ditopang dengan konsumerisme, penentuan harga tenaga kerja yang mengikuti mekanisme pasar.

Dalam sistem ini, negara bertindak untuk melayani kepentingan pasar yang didominasi oleh para pemilik modal kapital besar. Negara menyokong investasi dan kredit, perlindungan tarif bagi importir, serta hak-hak istimewa. Kapitalisme dalam tahap akumulatif dapat menjaga stabilitas dan memperbesar pembelanjaan militer. Bagi negara-negara penganut paham “kapitalisme pinggiran” seperti Indonesia misalnya, seringkali karena pendapatan melebihi pengeluaranya, negara tak ubahnya sebuah mesin pencari utang!. Karena kita hari ini masih hidup dalam sistem kapitalis itu, maka hingga hari ini kita telah terbiasa dalam kondisi krisis, konflik dan ketegangan sebagai akibat persaingan dan keserakahan.

Sebagai ilustrasi dapat kita lihat dengan apa yang terjadi dalam krisis keuangan di Amerika Serikat yang meluas ke seluruh penjuru dunia saat ini. Korporasi kapitalis besar karena untuk motif pencarian untung sebesar-besarnya telah turut pula merusak tata kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara luas. Sementara negara, bertindak tidak fair dengan justru memberikan dana talangan kepada mereka.

Begitupun dengan negara kita ini, bagaimana pemerintah lebih mempedulikan para bankir brengsek yang merengek untuk mendapatkan dana talangan (bail-out) dan kita saat ini masih melihat sandiwara dengan skenario yang telah ditulis sebelumnya ini berjalan. Diantaranya adalah kasus BLBI yang sudah sepuluh tahun lebih dan talangan Bank Century yang menelan uang rakyat sampai 6,7 Trilyun saat ini. Pemerintah seperti aktor yang membodoh, skema yang ditawarkan hanya satu dan satu satunya : talangan (bail-out). Sementara kita tahu ada mekanisme yang lebih memiliki visi dan menguntungkan masyarakat dengan mekanisme beli (buy-in).

Sistem kapitalisme global yang dibungkus rapi dalam topeng karitas tetap saja tak dapat menyembunyikan wajah buruk sejatinya. Fakta-fakta menunjukkan bahwa kapitalisme telah menyumbang persoalan berat seperti marginalisasi masyarakat kebanyakan dalam bentuk kemiskinan, pengangguran, dan kerusakan lingkungan. Joseph Stigliz (2007) dalam bukunya “making globalization work” menuliskan fakta-fakta nyata betapa globalisasi berjalan dalam kondisi yang tidak seimbang diantara negara-negara miskin dan kaya.

Korporasi Multinational(MNC) dan Korporasi Transnasional (TNC) sebagai anak kandung kapitalisme yang ditopang oleh ideologi “laissez faire” berusaha memupuk modal akumulatif tanpa mempertimbangkan dampak-dampak sosial yang ditimbulkan. Kapitalisme memasang agensinya seperti IMF (International Monetery Fund), World Bank, World Trade Organization (WTO) untuk mengkampanyekan ; liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Melalui transaksi finansiil spekulatif dan monopoli korporasi, kapitalisme telah menyajikan laju pertumbuhan yang asimetris terhadap persoalan kemanusian secara luas.

Kapitalisme global yang ditopang oleh kekuatan liberalisasi dan teknologi saat ini, telah menghasilkan sebuah gambaran dunia yang diametral. Kelimpahan di satu sisi dan serba kekurangan disisi lain. Kapitalisme Global demikian menjadikan mayoritas masyarakat tak berpunya (the have not) di dominasi oleh minoritas masyarakat berpunya (the have). Pasar bebas (free market) sebagai topangan hidup kepentingan dari kapitalisme mendikte segala bentuk kehidupan masyarakat, dan termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penjajahan saat ini telah berubah menjadi iklan sabun mandi dan karya cendikia yang di bengkokkan otaknya ke kiri. Berbagai jebakan-jebakan nyata yang disebut sebagai dunia pasar bebas (free trade area) muncul seperti CAFTA, AFTA, NAFTA. Trimantra mereka seperti deregulasi, privatisasi dan liberalisasi menghembus kencang melalui agen-agen mereka seperti World Bank, IMF dan WTO. Pasar bebas yang mendewakan pertumbuhan dan peniadaan segala bentuk regulasi perdagangan nasional sebuah Negara telah menginjak-injak kedaulatan sebuah negeri yang kaya akan sumberdaya ini.

Betapa kita ini adalah bangsa yang kebablasan, kemerdekaan ekonomi mandiri di terjemahkan jadi privatisasi, politik untuk kemartabatan diterjemahakan sebagai menipu rakyat dan menjunjung budaya adiluhung diterjemahkan sebagai komersialisasi.

Kondisi demikian memang tidak bisa dielak karena paham baru yang merupakan penjelmaan paham dari kapitalisme yang telah merangsek ke dalam kehidupan sehari-hari kita hingga kita harus terduduk pada materialisme dan hedonisme.

Pembagian yang tidak adil ini terlihat dari disparitas sosial ekonomi yang semakin meningkat, berdasarkan laporan PBB 1999 menunjukan bahwa 20 % orang di Negara maju menguasai 86% Produk Domestic Bruto dunia, menghasilkan 83% pasar ekspor dunia, 68% investasi asing dan 74 % saluran telepon dunia. Rata-rata pendapatan perkapita orang-orang kaya pada tahun 1966 adalah 30 kali lipat dari pendapatan kelompok miskin. Pada tahun 1999 perbandingan tersebut menjadi 82 kali lipat. Di Indonesia sendiri, total peredaran uang 70% ada di Jakarta dan 30 % lainnya tersebut ke seluruh pelosok tanah air. Dari total peredaran uang tersebut hanya dikuasai tidak lebih dari 3,5 % jumlah penduduk Indonesia. Sebuah ciri sentral dari sistem kapitalisme global. Perekonomian tidak hanya abai terhadap kepetingan lokal tapi sistem ekonomi ini bekerja menyedot keatas dalam meknika ekonomi trikle-up ( merembes keatas). Ekonomi orang keci menjadi penopang kemewahan para pemilik kapital besar.

Tata baru dunia tidak saja ditandai dengan ketimpangan, pihak yang amat kaya para tuan modal kapital ini juga menghancurkan Negara sebagai agen distribusi kesejahteraan, Negara kesejahteraan dengan pola barunya didorong untuk menjamin masyarakat yang tergantung pada perusahaan kapitalis. Pendidikan, kesehatan dan lingkungan menjadi kapling baru kepentingan akumulasi pemilik modal kapital besar. Bagi Indonesia sendiri, kelihatannya kecenderungan yang ada terlihat bahwa, setelah 32 tahun kita hidup di bawah system patron- klien Negara-kapitalis , orientasi yang ada saat ini hanya mengarah pada sistem kapitalisme pasar (market-led capitalism). Kalau yang pertama kapitalisme bersekongkol dengan kekuasaan seorang despot, yang kita jalani saat ini sesunguhnya Negara sendiri telah di belengu oleh tuan kapitalis besar yang datang membawa kuasa uang.

Ide Perubahan : Pelajaran Berharga dari Sebuah Kegagalan

Ide-ide perubahan sosial yang mendamba dunia yang lain dan atau mencita akan dunia yang lebih baik memang sudah sering muncul. Dalam hal ini sengaja saya menyebutkan sebagian saja. Sebut saja seperti ide besar ; Sosialisme-marxisme, atau sekadar konsep penjinakan kapitalisme itu sendiri dalam model Negara Kesejahteraan dan atau konsep Status Kewarganegaraan.

Sosialisme-Marxisme menghendaki pemusatan kegiatan ekonomi, kontrol yang ketat pada pemilikan pribadi, memfungsikan negara sebagai mesin ideologi menuju transformasi pada sistem masyarakat tanpa kelas. Namun kita melihat kenyataan bahwa ide sosialisme-marxis tak mampu juga membuktikan dirinya sebagai kekuatan pengimbang. Banyak persoalan yang tak terpecahkan seperti tidak adanya konsep yang jelas dalam proses pemilikan perusahaan paska revolusi, dan proses membangun masyarakat yang dilandaskan pada konsep kesadaran hakiki, kecuali pengandalan pada mesin “kesadaran semu” yang mereka citakan. Sementara fakta sejarah menunjukkan juga bahwa di negara asalnya Eropa Timur, Rusia dan Yugoslavia, Rumania, revolusi sejatinya menuju masyarakat kelas ini juga tidak pernah kita lihat sebagai fakta empirikal yang meyakinkan.

Sementara sebagai konsep penjinakan kapitalisme, konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) hanya menempatkan negara sebagai kontrol sosial dan promotor kesejahteraan agar pemiskinan tidak terjadi melalui berbagai produk perundang-undangan tentang jaminan sosial kesejahteraan warga negara. Atau teori Status Kewarganegaraan dengan institusionalisasi hak-hak warga negara di bidang politik ekonomi sosial dan budaya (poleksosbud), dimana kelompok borjuis dan kelas pekerja di integrasikan dalam masyarakat sipil dan kekuasaan dalam proyek “demokratisasi”.

Namun apa yang kita dapati bahwa karena dalam hal ini sejatinya kapitalisme tidak berubah substansinya maka yang muncul adalah justru imperialisme dalam bentuknya yang lain, negara-negara penganutnya seperti Eropa Barat dan Amerika Utara yang berubah wujud sebagai Kapitalisme Negara, dimana negara jadi instrumen modal dan perluasan pasar yang ditopang oleh penguasaan mereka terhadap organisasi-organisasi multinasional seperti IMF, World Bank dan WTO dsb.

Koperasi Sebagai Sistem Demokrasi Ekonomi

Koperasi sering disebut dan juga menyebut dirinya, organisasi demokrasi ekonomi, karena pertama koperasi adalah perkumpulan orang (people base association) sebagai versa dari perkumpulan modal (capital base association), dan kedua, koperasi bekerja atas dasar prisip dari, oleh dan untuk anggotanya yang juga berwatak sosial. Selain itu salah satu prinsip koperasi adalah pengelolaan secara demokratis. Dari pengertian itu, dapat diambil kesimpulan, bahwa konsep koperasi itu sendiri didekati dari sudut epistemologi ekonomi-politik yang mengaitkan proses ekonomi dengan proses politik dalam kerangka demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, masing-masing berisikan hak-hak sipil di bidang politik dan di bidang ekonomi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.

Koperasi memang produk barat, tapi sebagai suara kemanusiaan terus mengalir ke seluruh penjuru dunia dan sedikit banyak telah mampu membuktikan dirinya sebagai gerakan yang efektif dalam jalan yang damai. Motif koperasi ini jelas, secara ideologis berusaha menciptakan tatanan sosial masyarakat yang lebih berperikemanusiaan dan berkeadilan melalui jalan demokrasi partisipatif. Sementara itu dalam alasan praktisnya juga kongkrit, dimana dengan membentuk atau bergabung bersama di koperasi, manfaat-manfaat dari barang atau jasa dapat diperoleh, diproduksi atau di pasarkan lebih baik daripada di salurkan melalui saluran korporat swasta kapitalis atau negara.

Orientasi yang berbeda ini juga terlihat dari kemampuan koperasi untuk membangun sistem yang memang tidak hanya dapat dilihat dalam dimensi mikro organisasi saja, atau sebagai bangun perusahaan saja. Koperasi sebagai sistem nilai memiliki dimensi yang luas baik secara makro ideologi, mikro organisasi, sebagai wahana individualitas berikut sebagai bagian penting dari gerakan perubahan sosial (social change movement). Secara makro ideologi, koperasi bebicara tentang ideologi, sistem sosial ekonomi, politik (strategi) pembangunan, kebijakan. Secara mikro organisasi berbicara mengenai perusahaan, profesionalisme dan pengaturan/manajemen, kewirakoperasian dsb. Sebagai wahana idividualita koperasi bergerak dalam fungsinya untuk meningkatkan harga diri. Sebagai gerakan ingin mewujudkan nilai-nilai keadilan dan demokrasi partisipatorik.

Koperasi adalah organisasi orang-orang yang dilandaskan pada prinsip yang jelas, kerjasama adalah kuncinya, bagi si kaya maupun si miskin, tua atau muda, laki-laki atau perempuan. Siapapun mereka, apakah sebagai individu-individu atau merupakan representasi sebuah kelompok dan bagi mereka segala usahanya di tujukan bagi tegaknya keadilan, demokrasi partisipatif adalah afiliasi koperasi. Tidak ada sifat permusuhan bagi koperasi terhadap siapapun. Tapi koperasi dengan caranya sendiri sudah barang tentu menolak segala bentuk ekspolitasi, penindasan, pembodohan, pemelaratan, dsb. Kezaliman adalah musuh abadi koperasi.

Koperasi adalah bagunan sistem yang menginginkan terjadinya keadilan sosial ekonomi secara partisipatif. Dimana kita pahami bahwa suatu sistem ekonomi tentu tidak hanya sebuah perangkat institusional untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan yang ada, tapi juga sebagai suatu cara untuk menciptakan dan membentuk keinginan-keinginan di masa depan. Bagaimana manusia bekerja bersama-sama untuk memuaskan keinginan mereka saat ini bisa mempengaruhi keinginan yang akan mereka punyai kemudian, menjadi orang seperti apa kemudian. Karenanya harus di landaskan pada moral politik dan ekonomi. Mereka tidak hanya harus adil tapi juga disusun supaya mendorong sifat baik keadilan dalam mereka yang ambil bagian di dalamnya (John Rawl, 1995). Koperasi sebagai alternatif dari sistem yang ada, memiliki relevansi yang kuat untuk mewujudkan cita-citanya sebagai bangunan sistem sosial ekonomi yang memungkinkan terwujudnya keadilan. Sebab sesungguhnya tidak ada keadilan tanpa hidup bersama, dan tidak ada hidup bersama tanpa keadilan.

Sebagai bangunan mikro organisasi, perusahaan koperasi adalah bangunan perusahaan yang futuristik karena di dalamnya dijamin adanya akses sumberdaya, proses serta pembagian hasilnya secara adil dan merata dalam sistem perlindungan dana kembali (economic patrone refund). Di dalam bangun perusahaan koperasi segala hal yang menyangkut urusan privat (res-privata) dan urusan publik (res-publika) mendapatkan tempat yang seimbang. Konsekwensi sosial dan juga hak-hak privat dijamin dalam sistem koperasi. Melalui perusahaan koperasi, semangat kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dibangun dan profesionalisme berpengabdian (vocational) koperasi diajarkan.

Dalam dimensinya sebagai wahana individualita, koperasi memegang peran penting bagi terwujudnya masyarakat yang mandiri dan berkepribadian. Bagi masyarakat koperasi, struktur masyarakat yang pincang atas sebab dominasi, hegemoni, dikikis dengan selalu mengasah kepercayaan diri bagi tiap-tiap individu melalui model pendidikan koperasi. Ruang-ruang pendidikan koperasi adalah tempat belajar yang mencerdaskan dan memberikan inspirasi bagi munculnya pembaharuan-pembaharuan sosial di dalam struktur masyarakat.

Seperti halnya sistem nilai yang lain, koperasi membutuhkan sayap pergerakan, yaitu sebuah perjuangan bagi terwujudnya nilai-nilai universal ; keadilan, solidaritas, demokrasi, kejujuran/transparansi, dll yang merupakan nilai-nilai virtus yang selayaknya juga diperjuangkan bagi kita semua yang mencintai tatanan hidup yang lebih baik menuju masyarakat global yang lebih berkemanusian dan berkeadilan (humanistic global community). Karena sejarah pemikiran demikian maka koperasi bukanlah sub-sistem dari sistem mainstream yang ada. Kalau persoalannya dia dapat bertahan di dalam sistem apapun, itu karena sifat koperasi yang cukup kenyal. Tapi koperasi adalah memiliki identitasnya sendiri, dan karena identitasnya tersebut maka koperasi ada.

Perjalanan panjang perkoperasian di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa koperasi sebagai alternatif ternyata cukup efektif dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan dan arti keadilan sosial ekonomi bagi masyarakat. Hingga saat ini ada 228 anggota organisasi tingkat nasional maupun internasional yang menjadi anggota Internasional Co-operative Alliance(ICA)sebagai organisasi gerakan koperasi di tingkat global. Dilaporkan oleh ICA bahwa sekurang-kurangnya telah merepresentasikan 90 negara dengan 1 milyard juta anggota individu yang sebagian besar diantaranya tinggal di kawasan Asia dan Pasifik. (lihat pada situs www.ica.coop).

Dilaporkan oleh Sekretaris Jenderal ICA, Ian Macdonnald(2005) bahwa menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kurang lebih 3 milyard orang atau separuh dari penduduk dunia mendapatkan mata pencaharian dari perluasan usaha-usaha koperasi, 40 % penduduk Amerika Serikat adalah anggota koperasi, di Iran 25 % dari penduduknya, di Kenya menyumbang PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 45 %, di New Zealand 22 % dari PDB, di Perancis beberapa bank koperasi seperti Credit Mutuel, Banque Populaire, Credit Agricole menjadi bank-bank besar tingkat dunia, di Switzerland koperasi konsumen Migros dan Suisse menguasai 90 % perdagangan ritail disana. Di Columbia menguasai 24 % dari jasa kesehatan dan menyediakan pekerjaan yang luas bagi penduduk, di Sweden memberikan kontribusi 66 % dari pusat layanan pribadi sehari-hari, 13 % jasa layanan listrik di Amerika Serikat disediakan oleh Koperasi. Dalam urusan lapangan kerja, telah dihasilkan sebanyak 100 juta pekerjaan yang berarti 20 % lebih dari yang diciptakan oleh Korporasi Multinasional (Multinational Corporation).

Dilaporkan oleh ICA bahwa Koperasi dan bisnis secara mutual menghasilkan perputaran bisnis lebih dari US $ 1000 Milyard, lebih besar dari GDP (Gross Domestic Product) negara Canada sebesar US $ 979 (World Bank, 2006). Swiss adalah pemberi kontribusi pekerjaan terbesar, Perancis member kontribusi bank terbesar, New Zealand adalah pemberi perdagangan susu nomor tiga dunia, di India pemrosesan makanan terbesar, di Belanda sebagai pelayanan jasa kesehatan terbaik, di Amerika Utara sebagai pemimpin pasar jus botol dan kaleng dan di Canada adalah pemberi layanan asuransi terbesar. Untuk melengkapi data-data diatas, ICA telah merilis secara khusus keberhasilan koperasi-koperasi diseluruh dunia dalam program Global 300.

Ada suatu fenomena yang menarik bahwa 10 negara-negara yang disebut sebagai pemilik Competitiveness Rangking Index 2009-2010 terbaik oleh World Economic Forum (WEF) adalah negara-negara dimana koperasi disana mampu menunjukkan dirinya sebagai pemberi manfaat-manfaat besar bagi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Seperti Swiss, Findland, Sweden, Denmark, Singapore, USA, Jepang, Jerman, Belanda, Ingrish dsb. Ini fakta bahwa koperasi telah mampu membuktikan dirinya sebagai countervailing dari sistem kapitalisme itu.[]

Tidak ada komentar: