22 Desember 2010

Orientalisme: Hegemoni Pengetahuan

Oleh: Firdaus Putra A.

Kesahihan, kehebatan suatu paradigma bukan karena kemampuannya
dalam membaca kondisi empiris. Tetapi lebih didasarkan pada dukungan
masyarakat ilmiah sebagai basis kekuasaannya.
(Thomas Kuhn)

Awalan
Mungkin kita tidak terlalu asing lagi mendengar istilah orientalisme. Sebuah istilah yang sarat akan kekuasaan, politik dan juga ideologi. Oriental secara gramatik kita artikan sebagai ‘timur’, akhiran isme dibelakangnya menunjuk pada sebuah gagasan, atau mungkin ideologi. Yang jelas istilah ini popular ketika masa kolonialisasi yang khususnya di Dunia Ketiga tengah melanda. Banyak kajian yang mengarah pada pembentukan deskripsi akan situasi; sosial, budaya, politik, ekonomi bahkan ideologi tentang negara-negara bagian Dunia Ketiga.

Menunjuk Dunia Ketiga, berarti menunjuk obyek penderita atas suatu perlakuaan. Perlakuan ketaksewenangan, perlakuan negasi atas eksistensi. Dan Dunia Pertama adalah bagian negara-negara yang melakukan perlakuan yang tak semestinya itu. Mereka mengeksploitasi, menguras, menyerap kekayaan intelektual, pengetahuan, informasi, data dari Dunia Ketiga untuk kemudian dijadikan umpan balik bagi pengambilan kebijakan.

Kajian orientalisme akhirnya dan memang sedari awal lahirnya adalah permasalahan kajian bukan kajian atas permasalahan. Ia lebih memfokuskan tempat di mana kondisi itu ada, bukan kondisi apa yang tengah terjadi. Orientalisme adalah kajian yang sarat dengan klaim kebenaran. Kebenaran bahwa eksistensi Dunia Ketiga di bawah kesadaran Dunia Pertama. Dalam bahasa yang lebih sarkastis, Dunia Ketiga tidak akan pernah ada jika Dunia Pertama tidak menyadarinya.

Lalu, kita menanya tentang eksistensi Dunia Ketiga yang diperlakukan sebegitu sub-ordinatifnya dan seakan-akan tak berarti. Hal apa yang melatari orientalisme hingga ia pongah dan mengklaim dirinya sebagai pusat kesadaran Dunia Ketiga. Kepongahan yang serigkali tidak kita sadari, karena konstruksi kekuasaan seringkali menyelimutinya dan tampil menjadi sebuah bentuk kebenenaran.

Awalan ini memperlihatkan kepada kita tentang relasi yang erat atas pengetahuan dan kekuasaan. Kebenaran pengetahuan tidak sebegitu polosnya, netralnya. Ia lebih merupakan konstruksi atas kekuasaan.

Pengetahuan – kuasa
Kunh telah jauh hari mengingatkan kita bahwa kesahihan, kehebatan suatu paradigma bukan karena kemampuannya dalam membaca kondisi empiris. Tetapi lebih didasarkan pada dukungan masyarakat ilmiah sebagai basis kekuasaannya. Artinya, Kunh telah melihat bahwa seringkali suatu kajian menyandang gelar ‘valid’ lebih disebabkan karena banyaknya orang yang mengamininya. Proses pengaminan inilah yang merupakan pembasisan kekuasaan atas kajian tersebut.

Dalam perjumpaan kontemporer, Michel Foucault, lahir di Poitiers, Perancis, tahun 1926 adalah intelektual yang produktif dalam melakukan penelitian berkenaan dengan pengetahuan. Meskipun ia sendiri tidak pernah secara utuh melahirkan teori tentang pengetahuan, tetapi analisis historis, teksnya mampu menggugat kemapanan paradigma yang sudah ada.

Senada dengan Kunh, Foucault mampu menjelaskan dengan detail bagaimana proses produksi pengetahuan dan relasinya dengan kekuasaan. Tentu saja, sebagai seorang intelektual sosial ia melakukan telisik tersebut dalam kerangka praktik sosial, praktik kekuasaan. Sehingga ia masih tetap konsisten dalam kerangka keilmuan, yakni tanpa melakukan justifikasi atas praktik yang berlangsung.

Ia menegaskan, (2002: 139) bahwa dalam sebuah ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran sampai akhir abad kedelapan belas, yang memiliki tipe wacana tertentu yang berubah secara bertahap dalam dua puluh lima atau tiga puluh tahun, tidak akan dapat dihancurkan sekalipun dengan proposisi-proposisi ‘kebenaran’ yang saat ini proposisi-proposisi tersebut mudah sekali dirumuskan, yang dihasilkan melalui pembicaraan mengenai seluruh rangkaian praktik yang mendukung pengetahuan medis. Ini bukanlah penemuan baru karena di dalamnya memang terdapat sebuah ‘rezim’ yang secara keseluruhan baru dalam wacana pengetahuan dan bentuk-bentuknya.

Foucault melihat bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki sebuah proposisi kebenaran, tetapi bukan proposisi itu yang sesungguhnya mampu mengeksiskan ilmu pengetahuan. Ia lebih sepakat dengan menunjuk ‘rezim’ yang telah mengeksiskannya. Rezim, tentu saja dalam konteks ini menunjuk pada sebuah jejaring kekuasaan yang terbentuk dalam praktik sosial. Jejaring kekuasaan yang rumit, dan tidak mudah untuk menerabasnya, apa lagi menghancurkannya.

Seringkali jejaring kekuasaan membentengi sebuah kebenaran-pengetahuan. Dan seringkali pengetahuan menampilkan diri dalam hegemoni kebenaran. Tali-kelindan kekuasaan – pengetahuan menjadi semakin jelas. Ia tampil dalam logika yang resiprokatif. Saling melahirkan, saling mengamankan. Mungkin tidak ada rezim yang sekuat dan sesempurna kecuali rezim kuasa-pengetahuan.

Dalam praktiknya, pengetahuan juga melahirkan relasi kuasa. Ia menjadi hegemonik dan dominatif. Atas nama klaim kebenaran, individu dapat dan mampu melakukan politisasi. Atas nama klaim kebenaran ia memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Untuk menggugatnya pun menjadi sulit, menggugatnya berarti melawan sebuah rezim kekuasaan.

Hal tersebut akan tampak lebih riil dan dramatik jika rezim tersebut adalah suatu negara. Negara yang memiliki aparatus-aparatus represif, pun ideologis. Jika boleh meminjam istilah Althusser (2004: 24), negaralah yang memiliki Aparatus Negara Represif dan Aparatus Negara Ideologis. Coba kita tengok, bagaimana sentralisme ekonomi di bawah rezim Orde Baru sulit digoyahkan karena ‘kebenaran’ akan paradigma pembangunan itu sedemikian ketat dikawal oleh aparat-aparat negara. Mengusiknya, mempertanyakannya sama artinya dengan subversif, makar. Inilah salah satu ikon relasi antara pengetahuan dengan kuasa dan sebaliknya.
Atau jika kurang lengkap, kita dapat menunjuk masa Galileo yang harus menerima hukuman mati dari geraja karena menyatakan bahwa Bumi adalah planet yang bulat-elips. Tesis tersebut berseberangan dengan kebenaran yang diyakini oleh gereja, bahwa Bumi adalah persegi, atau persegi panjang. Rezim kekuasaan memaksanya untuk menegasi keyakinan akan kebenaran itu. Sedangkan ia tidak mengindahkannya, akhirnya hukuman mati menjadi tragika kebenaran yang ironis.

Kebenaran (baca: pengetahuan) akhirnya sarat akan unsur ideologis, politis suatu kelompok tertentu. Dan boleh jadi kebenaran akan juga tampil pada proses represi atas kelompok lain. Satu kebenaran menuundukan kebenaran lain. Dan siapa yang paling benar? Maka, jawabnya adalah siapa yang memiliki basis kekuasaan guna mendukung kebenaran itu.

Dan ketika konflik kebenaran, alih-alih kekuasaan tersebut telah usai, pemegang klaim kebenaran akan menggunakannya untuk mengatasi kelompok yang lain. Proses negasi ‘yang lain’ dan proses afirmasi ‘aku’. ‘Aku’ menjadi titik tolak, dan ‘yang lain’ hanya sekedar menjadi obyek penderita. Logika semacam inilah yang sering dikenal dengan egosentrisme. Sebuah kesadaran akan realitas yang bertolak pada ‘aku’. Tentu saja kajian yang paralel dengan logika egosentrisme adalah orientalisme vis-à-vis oksidentalisme dengan perubahan semangat dasar.

Menelisik orientalisme
Hassan Hanafi (2003: 217) menggambarkan orientalisme adalah sejumlah kajian yang dilakukan oleh para peneliti Eropa ketika Eropa berada di puncak kebangkitannya dan sedang dalam gelombang pasang kolonialismenya, ketika bangsa Eropa ingin mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, maksudnya di negara-negara koloni di luar Eropa. Tujuan dari orientalisme dan misionaris melalui berbagai generasi orientalis pada saat itu adalah untuk melapangkan jalan, pertama, bagi masuknya pasukan militer. Kedua, bagi ekonomi dan ketiga adalah kebudayaan. Oleh karena itu kajian bahsa, sejarah serta budaya menjadi begitu dominan. Kajian bahasa dilakukan agar mereka mampu mendekati masyarat setempat secara langsung. Kajian sejarah agar sejarah bangsa tersebut dapat dikenali, dan kajian budaya dilakukan agar perdaban dan faktor-faktor mental yang membentuknya dapar dikenali. Tujuannya bukan ilmu an sich atau keinginan untuk menelaah, atau memperluas wilayah sejarah di luar pusat hingga mencakup pinggiran.

Jelas sudah apa yang digambarkan oleh Hanafi mengenai orientalisme. Bahwa memang sedari awal lahirnya orientalisme sangat ‘berlumuran darah’. Ia lahir bukan karena fenomena yang menarik, lantas diteliti, untuk menyumbang ilmu pengetahuan. Ia dilahirkan memang dalam rangka mendukung kekuasaan yang tengah berlangsung. Kekuasaan kolonialisme tentunya.
Boleh jadi, sedikit-banyak kajian ketimuran ini memiliki fungsi keilmuan. Minimalnya pada tingkatan akumulasi informasi, data, sejumlah metode dan seterusnya. Tetapi yang menjadi masalah berikutnya bahwa pencitraan Timur yang dibangun oleh orientalis selalu mengalami bias historis. Deskripsi yang ada selalu bersifat memojokan Timur, dan sedikit sekali untuk bersikap obyektif. Hal ini tentu wajar, ketika orientalisme memang dimaksudkan untuk kepentingan kolonialisasi, baik fisik (perang) maupun non-fisik (ideologi).

Semangat orientalisme sendiri adalah semangat etnosentrisme. Artinya pusat kesadaran adalah peradaban peneliti, etnik peneliti. Mereka enggan menggunakan pengetahuan lokal yang mungkin akan sangat fenomenologis. Mereka lebih menyukai dalam kerangka besar kolonialisasi. Hingga yang terpantul dari kajian ini adalah bias dan seringkali timpang.

Akhirnya orientalisme lebih tepat disebut sebagai kajian sampah dan tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai ilmu pengetahuan. Orientalisme yang etnosentris itu sering terjebak dalam kungkungan ego Barat. Bagi mereka ‘yang ada’ hanyalah Barat. Timur ada, karena kesadaran Barat telah menjamahnya. Tanpa aktifnya kesadaran Barat—masa petualangan samudera—Timur sama sekali tidak akan pernah ada. Pada titik inilah semangat orientalisme sangat menyukai akan truth claim, klaim kesadaran, klaim eksistensialisme.

Orientalisme dan jejaring kuasa
Yang menjadi masalah selanjutnya ketika orientalisme keberadaanya mendapat dukungan kekuasaan suatu rezim, sebut rezim kolonial. Dan perlu kita ingat, bahwa semasa kolonialisme terjadi, peradaban Barat masih hangat-hangatnya akan semangat Pencerahan. Semangat yang lahir dari saphere aude. Keberanian menggunakan pikiran sendiri. Masa di mana peradaban Barat berjalan menuju kejayaannya. Memang, hingga saat ini masih cukup hegemonik bahwa tradisi berfikir, menalar, me-reason seringkali ditujukan pada peradaban Barat. Klaim kebenaran yang datang dari Barat akan dengan serta merta diterima tanpa reserve.

Artinya, jika kita melihat konteks sosio-historis itu, orientalisme sangat rawan untuk terjebak pada kajian yang membabi-buta dan sulit terbendung. Sampai saat ini peradaban Barat masih hegemonik bahkan dominatif, yang akan terjadi adalah dengan dukungan kuasa itu, orientalisme akan lebih sesat dan menyesatkan.

Ketika orientalisme coba untuk digugat, semisal oleh oksidentalisme a la Hassan Hanafi, kultur masyarakat dunia belum siap menerima ‘ke-lain-an’ itu. Yang akhirnya oksidentalisme dituduh sebagai tidak akademik, reaksioner dan apologetik. Hal semacam ini terjadi karena begitu kuatnya hegemoni kebenaran yang ada dalam peradaban Barat. Sehingga merubah orientalisme pada maknanya yang obyektif seringkali harus melewati terlebih dulu jaring-jaring kuasa.

Lebih jauh dari itu, dengan dukungan kuasa pula, apa yang orientalisme lontarkan seakan-akan menjadi sebuah kebenaran yang final, tak terbantah, dan tak tergugat. Sekedar eksemplar, bagaimana citra Islam di dunia Barat seringkali paralel dengan agama teroris, seruan perang dan radikal. Masalahnya, gambaran tentang Islam yang demikian ini sejatinya adalah proses reduksi dari keadaan yang sesungguhya. Orientalis tidak pernah sadar ataupun mau menyadarinya, bahwa di dalam Islam terjandung semangat humanisme yang luar biasa.
Semangat kemanusiaan ini dapat kita temukan dalam tradisi Tasawuf yang begitu mendalam dalam mengikat makna hidup.

Sedangkan deskripsi orientalis akan Islam begitu dangkal dan menyesatkan. Ironisnya, gambaran tersebut menjadi kebenaran yang dianggap final dalam kesadaran Barat. Mereka tidak mau menengok kembali, dan lebih mendalam tentang Islam, tentang Timur. Mereka telah terjebak pada kesombongan intelektual.

Katak dalam tempurung
Membicarakan kaum orientalis tidak ubahnya melihat katak yang terkungkung dan tidak bisa keluar dari sebuah tempurung. Begitu juga orientalis, mereka selalu terkungkung dalam klaim ideologi, kepentingan kelompok dan egosentris. Sebenarnya mereka tidak tahu apa yang sebenarnya, dan ketika mereka ingin tahu, mereka diselimuti rasa ketakutan, malu akan klaim-klaim yang telah mereka lontarkan. Dalam kondisi seperti inilah sesungguhnya mereka inferior di tengah peradaban yang penuh warna ini. Mereka selalu berkelit, beretorika gar dirinya tetap menang. Kesadaran orientalis adalah kesadaran kanak-kanak, meminjam bahasa Freud.

Hanafi menegaskan, dari sinilah penilaian-penilaian subyek yang mengekspresikan gerakannya dalam membebaskan diri menjadi sekedar penilaian-penilaian subyektif, sekadar jeritan-jeritan eksistensial yang mengekspresikan sebuah krisis dan menyingkapkan kompleksitas inferior terhadap orang lain (2003: 219).

Sikap orientalis yang egosentris, etnosentris ini yang ke depan sebenarnya akan menumbangkan klaim-klaim kebenaran yang selama ini mereka yakini. Dan boleh jadi, sikap eksklusif yang demikian ini yang akan mengubur peradaba Barat dalam kesombongannya sendiri. Kesombongan intelektual yang semestinya tidak perlu diadakan. Kesombongan intelektual yang pada akhirnya hanya mengungkung diri dan kesadaran sendiri.

Hanafi (2003: 224) mencatat, meskipun demikian, orientalisme dapat memiliki kerdibilitasnya manakala orientalis modern menolak Eropa-sentris, tidak lagi membagi dunia menjadi pusat dan pinggiran, perdaban tinggi dengn peradaban tradisional, manakala orientalis yang jujur berusaha menjelaskan karakteristik kebudayaan bangsa-bangsa tersebut dan hasil-hasil kreatifitasnya di sepanjang zaman, manakala ia bersikap adil dan proporsional di dalam menulis sejarah kemanusiaan. Orientalis yang bebas dari rasisme yang terpendam dalam kesadaran Eropa yang paling dalam dapat memulai orientalisme dengan mengkritik Barat hingga ia dapat membebaskan dirinya dari Barat, kerangka-kerangkanya, konsep-konsepnya dan pandangan-pandangannya terhadap dunia. Setelah itu baru mengkaji bangsa-bangsa di tiga benua dan kebudayaan-kebudayaanya dengan pikiran yang bebas, metode yang murni bersumber dari permasalahan itu sendiri yang menyatu dengannya tanpa menghegemoni. Itulah bukti akan kebersihannya yang memungkinkan mendapat kredibilitas baru.

Pandangan optimistis masih ada bagi lahirnya orientalis yang memiliki insigth baru. Pandangan semacam itu sejatinya meletakan kembali orientalisme dalam koridor awalanya sebagai kajian atas Timur. Kajian yang dalam konteks ini mengacu pada sebuah kerangka keilmiahan, bebas dari kepentingan politik, ideologis maupun ekonomis dan melalui metode-metode yang valid. Orientalis yang demikian, menurut Hanafi, akan lahir ketika ia mampu membebaskan diri dari bias Barat. Ia mampu bersikap dewasa, melihat secara obyektif dan tanpa prasangka.

Sikap kedewasaan adalah sikap di mana sebelum ia melakukan kajian terhadap Timur, ia harus mampu keluar dari kesadaran Barat, bergerak dengan perspektfi baru. Hal ini mensyaratkan agar di awal, ia diharapkan mampu melakukan oto-kritik bagi peradabannya, untuk kemudian merambah ke bangsa-bangsa lain.

Yang menjadi catatan penting adalah bahwa orientalis yang ingin membuktikan kredibilitasnya, ia harus mampu keluar dari nalar ‘pusat-pinggiran’. Karena nalar inilah yang melahirkan relasi kekuasaan yang menempatkan Barat sebagai pusat kesadaran, dan Timur hanyalah pancaran dari kesadarannya. Relasi kekuasaan yang demikian akan musnah manakala orientalis ketika "mengkaji ‘yang lain’ oleh ‘aku’ melihatnya sebagai bagian dari hubungan umum antara ‘aku’ dan ‘yang lain’. Jika kajian ‘yang lain’ oleh ‘aku’ merupakan hubungan perbenturan, maka ilmu menjadi salah satu gejalanya. Jika kajian ‘yang lain’ oleh ‘aku’ merupakan hubungan saling belajar dan mengenal antara berbagai kebudayaan, maka orientalisme menjadi salah satu gejala pluralitas budaya yang mengarah pada semacam humanisme bersama yang ideal (dalam Hanafi, 2003: 225).

Penutup
Relasi pengetahuan – kuasa sangatlah signifikan. Seringkali keduanya tampil saling pengaruh mempengaruhi. Yang jelas, proses kuasa akan selalu mengalir di dalamnya. Dan konstruksi demikian ini akan melahirkan ‘kebenaran’ baru. Hal ini akan berlangsung secara dialektik.
Relasi pengetahuan – kuasa akan sangat kentara ketika kita membaca kajian orientalisme. Sebuah kajian yang sangat bias etnisitas, rasistik. Lebih jauh, semangat kolonialisme selalu menyelimutinya. Kajian ini menjadi sarat akan kepentingan, sarat akan politik, ideologis.

Dalam kerangka yang hegemonik, para orientalis akan menggali liang kuburnya sendiri, liang kubur dari sebuah bentuk kesombongan intelektual. Sebuah bentuk kesombongan akan klaim kebenaran. Sekali lagi jejaring pengetahuan dan kekuasaan akan nampak dalam kesadaran para orientalis. Mereka tidak mampu melihat, meraba, mendeskripsikan Timur, apa adanya Timur. Deskripsi Timur dari orientalis selalu bias Barat, timpang dan sarat kepentingan.

Praktik kuasa yang demikian akan menhancurkan struktur orientalisme sebagai sebuah kajian. Untuk itu, agar orientalisme mampu mengembalikan kredibilitasnya sebagai sebuah kajian, semestinyalah ia harus mau dan mampu meng-ada-kan dan menghargai ‘yang lain’.[]

*) Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di blog mengintip dunia, dipublikasikan ulang guna kepentingan pendidikan dan pencerahan.

Referensi
Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Foucault, Michel. 2002. Power/Knowledge. Yogyakarta: Bentang.
_______. 2002. Pengetahuan dan Metode; Karya-karya Penting Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Hanafi, Hassan. 2003. Oposisi Pasca Tradisi. Yogyakarta: Syarikat.

Tidak ada komentar: