11 Desember 2010

Kritik Ulil, Etnis Tionghoa Non Muslim & Bank Syariah

Oleh : Master Ibrahim

Obsesi untuk “mensyariahkan” semua hal sedang menjadi trend yang kian marak berlangsung di NKRI yang kental dengan nuansa keberagamannya. Kemunculan sistem ekonomi islam yang ditandai dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syari’ah seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, dan lainnya, menjadi mimpi buruk yang mengusik kegelisahan Ulil Abshar Abdala dari tempat tidurnya. Sebagai seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL),[1] Ulil melontarkan krtitik terhadap keberadaan sistem ekonomi islam atau sistem ekonomi syariah berserta perangkat-perangkat yang ada di dalamnya. Kekhwatiran ulil mencuat atas kemungkinan besar terjadinya respon emosional masyarkat dan hanya menerima begitu saja/ taken for granted menyalahartikan antara istilah-istilah yang menggunakan bahasa arab sebagai istilah yang sudah sesuai dengan “syariah”. Menurutnya ekonomi syariah “goes beyond symbols and Arabic labels”. Ulil menyatakan ekonomi syariah bukanlah ekonmi yang memakai istilah-istilah arab yang hanya akan menjadi alat untuk menipu umat yang terlampau menempatkan syariah dan islam sebagai istilah sakral dengan disertai kewajiban yang harus diikuti serta larangan yang harus ditinggalkan untuk mendapatkan pahala dan menggugurkan dosa.

Dalam sebuah situs mailing list Ulil sempat menuliskan pendapatnya terhadap ekonomi syariat beserta perangkatnya, “Saya percaya, hingga saat ini, sekurang-kurangnya di Indonesia, apa yang disebut sebagai Bank Syariah, Asuransi Syariah, Kartu Kredit Syariah, hanyalah transaksi biasa yang diberi embel-embel dan label Arab. Ekonomi syariah sejatinya ya kapitalisme plus label Arab. Memang ada perbedaan soal bunga; ekonomi syariah tak memakai bunga. Tetapi institusi ekonomi modern yang lahir dari rahim kapitalisme, yaitu bank, tetap dipakai. Namanya pun tetap Bank Syariah. Artinya, walau syariah, toh intinya ya bank itu sendiri. Institusi bank tidak pernah ada sejak zaman Nabi sampai ratusan abad sesudahnya. Institusi bank juga bukan kreasi orang Islam, at the first instance”.

Diakhir tulisannya, Ulil menyimpulkan secara tegas apa yang dimaksud dengan ekonomi syariat adalah kapitalisme yang diarabkan (arabized capitalism). Seolah membantahkan ekonomi syariat yang sering digembor-gemborkan menjadi solusi alternatif atas kegagalan kapitalisme dalam menjamin terciptanya masyarakat yang sejahtera. Ekonomi syariat tidak berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis selain perbedaannya terletak pada batas penggunaan istilah yang diarabkan. Lantas pertanyaannya, apakah kekhawatiran Ulil memang nyata terjadi dalam praktiknya?


Terlepas dari pro kontra masyarakat muslim yang masih memperdebatkan sistem perbankan syariah, dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ratu Homaemah2 terjadi fenomena yang cukup menarik pada PT. Bank Syariah Mega Indonesia. Banyak kalangan non Muslim beramai-ramai menikmati produk bank tersebut. Mayoritas dari mereka adalah etnis keturunan China (Tionghoa). Mereka adalah pedagang dan pebisnis yang menguasai perputaran uang di negeri ini dan berjiwa kapitalisme.

Sebanyak ± 42% nasabah PT Bank Syariah Mega Indonesia berasal dari kalangan China non Muslim, dan sebagian besar adalah orang-orang Katolik, pengurus yayasan Kristen, dimana citra Islam dalam pandangan mereka terkesan angker, Islam adalah kelompok garis keras dan menakutkan. Kenyataan ini patut dihargai, karena tidaklah mudah menarik nasabah dari kalangan Cina non-Muslim yang berjiwa bisnis dan mempunyai akar yang kuat pada sistem kapitalisme. Namun demikian, mereka memiliki ajaran yang sama mengenai pelarangan riba (bunga).

Karakteristk budaya China yang kurang bisa bekerjasama, dan jiwa kapitalisme yang lazim melekat pada kalangan Cina non-muslim, sewajarnya menjadikan Bank Konvensional yang memiliki sistem kapitalis sebagai sarana investasi yang menjanjikan. Namun kenyataannya, pada Bank Syari’ah Mega Indonesia sebagian besar nasabahnya terdiri atas China non-muslim. Sebagai outsider yang terlepas atau mampu melampaui batas-batas simbol dan istilah syariah, nasabah etnis tionghoa non muslim mampu memandang keberadaan perbankan syariah dalam kacamata yang lebih objektif dan lebih rasional.

Keputusan etnis China non muslim menjadi nasabah Bank Syari’ah Mega Indonesia dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor syariah menjadi salah satu faktor yang dianalisis dalam penelitian Homaemah. Homaemah menemukan adanya faktor larangan atas bunga karena termasuk riba dan tidak adil, ternyata sesuai pula dengan ajaran non-Muslim baik dari kalangan Kristen, Yahudi maupun Hindu Budha. Penyimpanan dana dan Peminjaman dana seperti kredit usaha dan lainnya berdasarkan penanggungan risiko bersama merupakan prinsip keadilan yang diterapkan bank Syariah. Sehingga adanya resiko dalam berinvestasi dapat diminimalisir. Etnis china non muslim pun turut mempertimbangkan faktor promosi dan sosialisasi, faktor lokasi, faktor pelayanan dan faktor produk yang menawarkan berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dari produk perbankan.

Saya teringat akan sebuah hadist yang menuntun umat agar menuntut ilmu sampai ke negeri China. Munculnya China sebagai negara penguasa baru ekonomi dunia, menjadi satu bukti nyata atas kemampuan bangsa China dalam memajukan perekonomian dan mengaitkan umat untuk belajar dari bangsa china seperti makna tersurat dari hadist tersebut. Meskipun hadist diatas dapat dimaknai secara tersirat bahwa ilmu dapat berupa apapun dan dapat diperoleh darimanapun. Sekurang-kurangnya hal itu dimulai dari tradisi pembuatan keputusan investasi pada bank syariah yang dilakukan berdasarkan pertimbangan rasional yang cukup matang bukan berdasarkan sikap emosional sesaat. Dengan demikian hal tersebut juga dapat mematahkan bahwa kekhawatiran Ulil atas keberadaan perbankan syariah maupun sistem ekonomi syariah sebagai ladang pembohongan umat tidaklah akan menjadi nyata. Kenyataanya bank syariah berlaku secara universal dalam nuansa keberagaman keyakinan di Indonesia.[]

_____________________

[1]JIL adalah sebuah lembaga yang konsisten memperjuangkan dibukanya kembali pintu ijtihad dalam mengamalkan keberislaman terutama dalam membedah permasalahan yang bersangkut paut dengan urusan sosial-keagamaan.

[2]Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi etnis china non-muslim menjadi nasabah di PT Bank Syari’ah Mega Indonesia.

1 komentar:

Adji mengatakan...

Menarik, cuma yang pasti cara memandang orang terhadap suatu hal berbeda, nah si cina tentunya faktor dunia yg dijadikan alasan ke bank syariah. Oh iya satu lagi, kadang faktor moral pun dijadikan alasan.

Pernah teringat diskusi dengan Mulya E.Siregar, beliau mengatakan bahwa pernah bertemu dengan cina yang membuka rekening di bank syariah karena bank syariah tidak membiayai sektor yg dilarang agama, misal prostitusi, dll. "Wah bagus nih, jadi suami kita tidak bisa main ke tempat gituan", ujar wanita cina tersebut.