27 Oktober 2010

Negara Yang Belajar Demokrasi ( Demokrasi Kita, Baru Belajar )

Oleh: Wildanshah

Dukungan rakyatlah yang meminjamkan kekuasaan pada institusi suatu negara dan dukungan ini merupakan kelanjutan dari persetujuan untuk mewujudkan hukum untuk memulai… semua intitusi politik merupakan manifestasi dan materialisasi kekuasaan; mereka membatu dan hancur begitu kekuasaan yang hidup dari orang tidak lagi mendukung mereka. Ini yang dimaksud Madison ketika mengatakan “ semua pemerintah bersandar pada opini”.- Hannah Arendt[1]

Cerita Pendek Sebagai Tahapan Belajar

Indonesia hadir setelah Soekarno membacakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, mulai saat itu pula demokrasi bergulir ditanah ibu pertiwi. Demokrasi, negeri ini menganut paham tetang makna kosensus dan musyawarah. Disaat yang bersamaan demokrasi selalu memiliki wajah berbeda tergantung siapa dan bagaimana para pemimpin mendandani wajah demokrasi. Pada masa orde lama, negeri ini dikenalkan sebuah demokrasi terpimpin. Cukup aneh ketika sebuah demokrasi menjadi keputusan yang sentralistik. Walaupun disisi lain, memang demokrasi terpimpin harus dilakukan pada masa kepemimpinan Soekarno yang memfokuskan diri pada semangat membangun persatuan ditengah keragaman kebudayaan, dipembukaan euphoria kemerdekaan untuk mempertahankan satu hal yakni kedaulatan Indonesia.


Roda sejarah terus berputar mencari kebenaran lewat pembelajaran, seperti halnya seorang anak yang berusaha mencoba berjalan tegak menggapai keinginannya. Begitu pula Indonesia yang sedang belajar tentang berdemokrasi. Runtuhnya demokrasi terpimpin berakhir pula rezim orde lama yang dipimpin Soekarno. Dengan demikian, kebangkitan rezim Soeharto mulai mengaung mendengungkan sebuah pembangunan di negeri ini, di ibu pertiwi. Berkaca pada masa lalu, Soeharto tidak lagi berbicara tetang persatuan dan menjargonkan ideologi yang tidak membawa kesejahterahan secara materil, melainkan ia lebih mempriotaskan pembangunan dari segi ekonomi bukan lagi menjual ideologi. Dengan demikian, munculah demokrasi pancasila, pada masa orde baru demokrasi seolah dipaksakan, kebebasan berekspresi pun dibungkam, azas tunggal mulai membuat resah gerakan yang berideologi lain, disaat itu demokrasi pada orde baru benar-benar menjadi sebuah ilusi, sebuah fatamorgana demokrasi yang menakutkan.

Demokrasi Pancasila menjadi sebuah cerita bisu, pers dibungkam aparat pemerintah dan ruang publik mengalami kematiaanya. Pers hanya menjadi humas penguasa, informasi mengalami sebuah penipuan karena pemutar balikan fakta berita, bahkan menyelimuti realitas dengan kebohongan yang mendistorsi kenyataan sebenarnya. Rakyat dibodohi oleh berita yang dibuat semu oleh penguasa. Masyarakat pada masa demokrasi Pancasila hanya memiliki sebuah kesadaran semu termakan oleh citra yang diciptakan rezim penguasa.

Tidak hanya itu, orde baru juga mampu melanggengkan kekuasaannya atas nama demokrasi. Meminjam istilah dari Lois Althusser, ideology state aparatur dan represif state aparatur orde baru mampu memainkan keduanya dalam pelanggengan kekuasaan. Aparat represif negara berjalan dengan “baik”, segala hal yang menentang orde baru langsung distigmakan sebagai anti-pancasila, dengan sigap pula para polisi dan tetara mampu menghabisi nyawa orang-orang yang dituduh anti-pancasila, dituduh sebagai komunis dan anti-pembangunan. Selain itu, ruang demokrasi tidak hanya di borgol oleh para aparat repsif dengan membungkam lewat kekerasan dan juga melalui jalur ideologisasi. Sekolah, media dan agama juga dijadikan alat penguasa yang berwujud aparat ideologi negara untuk mentransformasi nilai-nilai penguasa dan norma yang dibuatkan khusus untuk rakyat yang berbicara tetang demokrasi, berbicara tetang peraturan demokrasi ala penguasa.

Demokrasi pancasila selalu menjadi keraguan bagi masyarakat, demokrasi ini untuk siapa dan mewakili siapa, itu yang selalu menjadi wacana beku hingga ditahun 1998, dimana mahasiswa turun kejalan dengan semangat dan kemuakan terhadap demokrasi ala orde baru. Reformasi, itulah yang diteriakan seluruh mahasiswa yang mengharapakan perubahan dan demokrasi yang lebih terbuka.

Demokrasi lagi-lagi mengalami metamorfosis pasca reformasi, munculnya ide baru dengan semangat lama tetang Demokrasi Konstitusional. Di era yang “mengklaim” reformasi, demokrasi konstitusional malah berujung kepada semangat egoisme, keberutalan opini, semangat saling menguasai. Semua orang mulai banyak yang bertingkah, partai politik bermunculan bak jamur, ratusan orang bergaya layaknya pahlawan, jutaan reklame terpampang foto-foto yang haus kekuasaan. Benar, inilah semangat demokrasi yang tak terarah yang melupakan subtansi dari demokrasi, beraroma citra buatan mengotori sudut-sudut kota bahkan memakan desa dengan produk-produk kampanye. Pers membuas, memakan siapa saja tanpa peduli lagi kebenaran informasi, mendistorsi informasi untuk melakukan keberpihakan kepada siapa saja yang mampu membayar. Para wakil rakyat tidak jelas mewakili siapa, para pemilihnya dilupakan ketika sudah duduk dikursi kekuasaan. Seperti inilah wajah demokrasi yang semua dipilih langsung—Demokrasi konstitusional.

Kegilaan terjadi didemokrasi, negeri ini mengalami pesakitan ketika belajar demokrasi, tidak jelas demokrasi ini untuk siapa. Kekuasaan bukan lagi ditangan rakyat namun tangan rakyatlah yang digunakan oleh penguasa. Ketiga episode demokrasi mempunyai kesamaan, bahwa tindakan salah dimata hukum disesuaikan dengan selera para penguasa.

“Mencoba” Merayakan Belajar Demokrasi

Bagaimana pun juga, sejarah menunjukan bahwa ketegangan tersebut adalah bentuk dari belajarnya Indonesia. Walaupun hanya sesekali dan tidak perlu berlama-lama inilah saatnya kita merayakan demokrasi di Indonesia. Satu dasawarsa setelah reformasi 1998, Indonesia telah mengalami berbagai macam transisi demokrasi. Tetapi, pengalaman Indonesia juga relevan jika dibandingkan dengan beberapa negara lain yang keluar dari otoritarianisme. Contoh Rusia, negara ini lepas dari rezim komunisme dan melakukan reformasi pada 1991, bukannya semakin demokratis namun malah semakin kearah otoritarianisme. Setidaknya, Indonesia lebih “baik”.

Hampir semua tolak ukur menunjukan Indonesia tidak berhak menjadi negara demokrasi. Negara miskin yang berpendapatan rendah, pernah dihantam krisis moneter, bencana alam, dihadapkan oleh bentuk-bentuk pemberotakan pelepasan diri, kekerasan antar agama dan etnis, bahkan sampai isu terorisme. Namun sebaliknya, yang harus dingat bahwa bangunan demokrasi tidak dapat dipatok secara kaku, demokrasi tidak bisa dinilai hanya berdasarkan kemapanan dan kestabilan dari segi ekonomi, sosial, budaya bahkan kesiapan elit terhadap demokrasi.

Semua permasalah ini cukup menjadi patokan bahwa negeri ini mampu mengelola beberapa konflik yang terjadi dan terus bermunculan menghantam bangunan demokrasi di Indonesia. Harus sedikit diakui, pengalaman Indonesia menunjukan capaian-capain yang dapat diraih dalam demokrasi, beserta persoalan dan tatangan besar yang menimbulkan keraguan terhadapnya. tentu saja ini menjadi titik tolak bagaimana kita mampu memahami demokrasi di Indonesia, ketika negeri ini ternyata sedang membina demokrasinya sendiri. Demokrasi layaknya ruang kosong yang terus di isi berbagai kepentingan, demokrasi layaknya adonan yang di tekan dan dibentuk oleh tangan-tangan kekuasaan. Demokrasi adalah dunia ketidakabadian yang penuh dengan dinamika.

Memang kita perlu menyelengarakan demokrasi dalam bahasa filsafat politiknya, dengan mempertahankan “kesementaraan abadi” dari kebenaran, sambil terus mendorong pembelajaran publik untuk mempersoalkan ketidakadilan dan kekerasan sosial berdasarkan ukuran-ukuran sejarah dan hak asasi manusia. Setidaknya, ini mampu menjadi program minimal untuk menjaga ruang belajar demokratis yang sedang berlangsung dan menghalau semua retorika yang dikemas dalam jargon semboyan demokrasi. Pada akhirnya, memang perlu mengamini kritik posmodernis ( dan postrukturalis lacanian) bahwa demokrasi akan selalu dalam kondisi. Dengan cara ini toleransi dan kemajemukan dapat dipertahankan, dan ruang-ruang perjuangan keadilan sosial dapat dikerjakan tanpa adanya sebuah intimidasi kekuasaan.

Masihkah Negara Perlu Belajar

Indonesia seharusnya menyadari bahwa demokrasi adalah proses belajar bangsa bukan proses negara berguru dengan negara lain, yakni Amerika yang dianggap kiblat pembangunan. Demokrasi barat tidak bisa dicangkok begitu saja ditubuh ibu pertiwi. Inilah sebabnya, tubuh ibu pertiwi mengalami komlikasi, banyak penyakit yang menyerang Ibu pertiwi ketika jantung demokrasi Amerika dipaksakan pada ibu pertiwi.

Negara ini, seharusnya menggunakan sendiri jantung demokrasinya. Bukan lagi berbicara tetang belajar dengan negara lain, mari memulai belajar membaca dinamika bangsa berserta elemen-elemen kenegaraannya dan intitusi kenegaraan. Bahwa, sebagai arsitek demokrasi negara harus jeli melihat kondisi spesifik kebudayaannya, spesifik tempatnya bahkan bagaimana spesifik waktunya untuk membangun pondasi dasar rumah demokrasi di Indonesia. Negara yang mau belajar adalah negara yang membaca pola belajar bangsanya sendiri dan belajar mengenali diri sendiri. Inilah yang akan membawa kepada jati diri demokrasi rakyat yakni demokrasi ala Indonesia. Dengan demikian, rakyatlah yang kembali meminjamkan kekuasaan seperti yang disampaikan Arendt.

Negara yang belajar pembangunan politik haruslah mempunyai pembacaan filosofis, rencana jangka panjang dengan mekanisme yang jelas, bertahap, dan jeli melihat berbagai ancaman terhadap demokrasinya. Dimaksudkan, agar negara dan bangsa ini dituntut untuk mampu memprioritaskan hal yang dirasa paling bermanfaat untuk mencapai tujuan pembangunan berkarakter dan jatidiri demokrasi Indonesia.

Footnote
[1] Lihat Passerin, Maurizio, Filsafat Politik Hannah Arendt, qalam,yogyakarta,2003. hlm 134. Hannah Arendt dikenal sebagai salah satu pemikir politik internasional abab ke 2O.



1 komentar:

Rengga Kandha mengatakan...

Pendahulu kami bersumpah, namun dianggap sampah oleh mereka yang berkuasa saat ini dengan mengabaikan banyak hal. Maka hari ini kami kembali memperbaharui sumpah PEMUDA Indonesia menjadi:
Kami Pemuda Indonesia bersumpah:
Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan,
Berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan,
Berbahasa satu bahasa anti Kebohongan....