25 Oktober 2010

Kerbau dan Ayam (Sebuah Fabel Produksi)

Oleh : Mugi Descart

Kerbau yang selalu menjadi simbol kebodohan terpaksa mengasingkan diri dari kehidupan binatang. Sebabnya tidak diketahui secara pasti. Hal tersebut membuat hati Ayam sedih. Melihat hari-hari kerbau selalu menyendiri. Badannya bertambah kurus. Matanya cekung dan kering. Didekat kolam Kerbau berkubang, tumbuh semak dan rumput. Itupun diacuhkan. Biasanya sembari berkubang, rumput itu dijadikan makanan kecil. Entah kenapa nafsu makan Kerbau hilang begitu saja. Ayam memperhatikannya dibalik lorong semak. Rasa ingin tahu memaksanya untuk menyelidiki misteri Kerbau dipertengahan tahun ini. Perlahan Ia mendekati ke kolam.

“Kerbau...kamu kenapa? Kok murung terus? Ada masalah yang bisa Aku bantu? “

“Gak ada Ayam. Aku gak kenapa-kenapa kok.”

“Ah, jangan bohong. Kamu menutup-nutupi sesuatu jika Aku perhatikan. Lagian kamu kayak linglung gitu. Seharian Aku amati kerjaannya cuma berendam melulu.”

“Bener Yam, Aku sedang menikmati berendam saja.”

Ayam berjalan mundur beberapa langkah kebelakang. Lalu Ia ambil sikap ancang-ancang. Berlarilah Ia dan terbang ke punggung Kerbau. Sasaran mendarat Ayam meleset. Bukan ke punggung malah diatas kepala. Kerbau marah.


“Apa-apaan sih kamu Yam. Gak sopan banget dikepala. Mentang-mentang Aku bodoh apa?”

“Sorry..sorry Kerbau. Aku gak sengaja. Tadinya Aku berniat duduk dipunggungmu. Sensitif benget sih kamu.”

Ayam langsung loncat menempati punggung Kerbau.

“Ngapain kamu harus kesini sih. Aku mau balik ni!”

“Eh-eh, jangan gitu dong kerbau. Tega amat sama Aku. Aku kesini ‘kan butuh tenaga banyak. Hargai dong sama kawan.”

“Habisnya kamu ngeselin.”

“Kan Aku sudah minta maaf tadi. Apa belum cukup? Entar Aku bantu buangin kutu kamu deh..” rayunya pada Kerbau. Perlahan Ia mendekat ketelinga Kerbau. “Okey..”

“Okelah kalau begitu. Sebelah sini Yam gatal sekali,” ekornya memecut bagian badan yang dirasa gatal. Ayam cepat menangkap maksudnya.

“Siip... Aku segera melahap kutu-kutu itu,” tanpa banyak kata Ayam mengorek-ngorek kutu di badan Kerbau. “Aku ada satu pertanyaan buat kamu nih Kerbau?” ucapnya spontan.

“Apaan Yam?”

“Apa yang paling tidak kamu sukai?”

Kerbau terdiam. Berpikir sejenak. Ia ragu-ragu jika harus mengutarakan. Tapi ia ingin sekali sebenarnya bercerita kebencian hatinya terhadap seekor binatang.

Lama sekali kamu berpikir Kerbau. Itu bukan pertanyaan sulit,” ucap Ayam penasaran.

“Kancil! Kancil.”

“Hah! Memang kenapa dengan Kancil?” Ayam berhenti mematuk. Ia berhasil menjebak Kerbau berbicara. Dugaan Ia benar, Kerbau lagi ada masalah dengan Kancil. Pantas, belakangan ini Ia lebih sering menghindar jika berpapasan dengan Kancil.

“Gini Yam? Aku benci saja dengan tingkah laku dan tutur kata Kancil yang sombong dan congkak. Memang Ia dinobatkan sebagai tokoh binatang yang cerdik. Hampir disetiap sekolah guru mengajarkan muridnya untuk meniru sifat Kancil. Ia selalu dimuat dibuku seri binatang manapun. Ia terkenal di hutan. Semua binatang menghormati kepadanya. Lalu digunakan untuk apa kecerdikan dia Yam? Untuk disombong-sombongkan pada yang lain? Aku sering ditipu olehnya, kepalaku ditolol-tololkan dan dikatain binatang bodoh, tak berguna dan pemalas,” ungkap Kerbau dengan sedih.

“Kamu ditipu apa sama Kancil, Kerbau?” tanya Ayam penasaran.

“Kamu tahu ‘kan Yam. Saudaraku ditindas habis sama sang Raja. Ibu, Bapak, Adik, Kakak, Keponakan bahkan Bibiku telah jadi santapan pesta Raja. Tinggal Aku sendiri yang bisa meloloskan diri. Waktu itu, Aku minta bantuan Kancil untuk cari akal menghentikan kesewenang-wenangan Raja dan tentaranya. Kelangsungan hidup kami akan cepat punah jika kami terus dimangsa Raja Hutan. Kancil menyepakati untuk membantu kami, tapi dengan syarat bayaran seratus kilo timun. Lalu Aku menyanggupinya.” Kerbau berhenti bicara. Air matanya keluar. Ia menangis. Ayam iba juga melihatnya.

“Terus bagaimana Kerbau?”

“Ia mengkhianatiku Yam. Setelah Aku menyerahkan seratus kilo timun, dia bilang akan pergi menghadap Raja. Ia akan berdiplomasi dengan Raja supaya menghentikan pemangsaan terhadap kami. Tapi..?” Kerbau terisak-isak.

“Tapi apa Kerbau?” Ayam juga turut menangis.

“Ia malah memberitahu Raja dimana kami sembunyi dan biasanya ngumpul. Hanya demi mendapatkan kedudukan Yam?” Kerbau menelan ludah sembari menatap Ayam lekat-lekat. ”Jadi Kancil ternyata membuat perjanjian dengan Raja. Isinya pertama, Kancil diangkat menjadi dewan penasihat dan jubir Raja. Kedua, Raja berjanji tidak akan memangsa komunitas Kancil jika Kancil sendiri mau memberitahu keberadaan mangsa. Huhuhu,” tangisan Kerbau makin keras.

“Tenang Kerbau..kurang ajar juga Kancil. Kamu tahu dari siapa?

“Dari tikus. Dia menunjukan kertas perjanjian itu padaku. Mencuri secara diam-diam,” lalu Kerbau menelan air. “Ketika Aku menghadap Kancil, dia malah marah-marah. Mengatakanku bodoh mau dihasut tikus. Dongo. Punya badan gede tapi lemah. Sakitnya, dia mengatakan pada binatang yang lain bahwa Aku sengaja merelakan saudaraku jadi mangsa Raja hanya untuk kepentinganku sendiri. Supaya Aku bebas tidak dimakan.”

“Gila tuh Kancil! Pantesan kamu selalu menjauh darinya.”

“Aku tak tau harus ngapain Yam. Sakit hatiku jika mengingat itu.”

“Kita harus beri pelajaran si Kancil. Biar dia tahu rasa.”

“Caranya?”

Ayam mendekat ketelinga kerbau dan berbisik-bisik. Kerbau hanya manggut-manggut.

......

Kancil nampak riang pagi ini. Ia berjalan lenggak-lenggok sambil bersiul. Tak memperdulikan binatang disekitarnya. Dua hari yang lalu, Ia baru dinobatkan Raja hutan sebagai penasehat agung, sekaligus jubir sang Raja. Betapa bangga dengan pangkat yang kini Ia sandang. Hampir tiap pagi-siang-sore Ia bertandang ke tempat tinggal kawanan binatang. Ia bercerita tentang keseharian pekerjaan dia, terus fasilitas yang Ia dapat dari kerajaan hutan. Semua kebutuhan dan permintaan dia dipenuhi oleh Raja hutan. Jadi, Kancil tidak lagi harus mencuri timun diladang Pak Tani. Keluarganya mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, pangan secara gratis dan unggulan. Semua binatang yang mendengarkan cerita Kancil dipastikan berdecak kagum, iri dan heran. Betapa cepatnya Kancil mendapatkan gelar dan kedudukan tinggi di hutan. Macan yang bertahun-tahun setia mengabdi pada Raja hutan saja tidak mendapatkan gelar kehormatan secepat Kancil.

Semua media massa memberitakan kehebatan dan kecerdasan Kancil. Kabar Kancil naik kedudukan dan kehormatan sudah sampai ujung pelosok hutan. Tapi entah kenapa, Ayam dan Kerbau tidak tertarik mendengarnya. Mereka hanya tersenyum getir saat para binatang membicarakan kehebatan Kancil. Bagi mereka Kancil adalah seekor binatang penipu ulung.

Kumpulan Ayam dan Kerbau malam ini sedang berdiskusi membahas kenaikkan upeti yang begitu tiba-tiba. Pagi tadi rupanya Kancil membawa kabar untuk disampaikan keseluruh binatang bahwa upeti ke kerajaan naik lima puluh persen. Kabarnya kenaikkan ini digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi hutan. Ini atas ide dan usulan Kancil yang baru menjabat sebagai penasehat agung dan jubir Raja hutan. Banyak binatang bangga dan menerima kebijakan tersebut, alasannya biar lebih bersemangat untuk bekerja. Tapi tidak bagi Ayam dan Kerbau. Ini merupakan penindasan yang harus segera disikapi. Ide Kancil jelas tidak berpihak pada massa binatang. Media massa tentunya sudah bersekongkol dengan pihak penguasa.

“Kita harus gulingkan si Kancil! Mentang-mentang dia terkenal cerdik dan tokoh binatang di berbagai buku, seenaknya dia membuat ide kebijakan!” seru Ayam ditengah diskusi.

“Lawan kancil!” seru yang lain.

“Tenang teman-teman. Tetap rendah hati. Jangan terpacu emosi. Dia juga sudah menyakiti dan mengkhianati teman kita Kerbau. Saya bersama Kerbau sudah merencanakan sesuatu untuk memberi pelajaran pada Kancil. Kita harus memperbesar kekuatan terlebih dahulu. Perbanyak teman, perkecil lawan!”

Satu minggu kemudian seluruh binatang di hutan mendapatkan undangan pesta besar dari Kerbau. Undangan kehormatan diperuntukan bagi sang Raja. Pesta ini desas-desusnya diadakan sebagai ucapan terimakasih kepada alam yang telah mendatangkan hujan dan kesuburan. Rencana pesta tersebut juga akan mempresentasikan hasil penemuan Kerbau tentang tekstur tanah yang baik untuk bercocok tanam. Juga, bentuk bajak yang bagus guna mengelola tanah. Pesta itu akan dimeriahkan oleh penyanyi kondang: burung Murai Batu dan Cucak Rowo. Tak kalah, gajah juga akan menampilkan atraksi berdiri dengan satu kaki. Makanan lezat akan dihidangkan. Khusus sang Raja, akan dihidangkan daging yang paling empuk, enak dan muda.

Hari minggu, tepat ketika matahari tergelincir ke barat. Angin berhembus cukup ramah. Pepohanan bergoyang indah, dan daun-daun kering berguguran. Pesta yang dinamakan Animal Party dimulai. Para tamu undangan ada yang datang bersama pasangannya, sendiri atau sekeluarga. Mereka yang berias mempesona biasanya berasal dari kalangan istana. Dan bagi mereka yang tampil ala kadarnya, tak ber-make up dan sederhana, dapat diindikasikan dari klas binatang jelata. Para tamu sebelum masuk areal pesta terlebih dahulu mengisi daftar hadir dengan mengantri. Dari barisan antrian nomor delapan terlihat Kancil dan keluarganya. Mereka bergaya cukup mewah dan congkak. Kancil terlihat mengibas-kibaskan lembaran uang untuk mengusir hawa panas. Sungguh sangat sombong.

Didalam burung Murai Batu sedang melantunkan sebait lagu ‘Darah Juang’. Di iringi seperangkat alat perkusi dan elektrik. Suaranya sangat nyaring. Terutama ketika melantunkan bait yang berbunyi, ‘Mereka dirampas haknya. Tergusur dan lapar…’ Terlihat sang Raja duduk dengan tenang di bangku paling depan. Tubuhnya dikipasi oleh burung Garuda.

“Mana nih..santapan dagingnya?! Kok, belum keluar-keluar?” celetuk sang Raja. Ayam langsung menimpali dengan nada halus dan pelan.

“ Sabar tuan…lima menit lagi.”

Selesai Murai Batu menyanyi. Dari arah yang tak terduga, muncul dua ekor Ayam masing-masing membawa piring besar yang isinya masih tertutup. Segera piring tersebut dihidangkan persis di depan baginda Raja.

“Silahkan tuan…nikmati daging segarnya. Sebelah kiri daging Kerbau, yang sebelah kanan daging Kancil. Tinggal pilih mana yang dirasa sangat enak,” ucap Ayam dengan sangat sopan.

“Hahahaha, bagus kalau begitu.”

Tanpa pikir panjang lagi, Raja hutan itu membuka tutup piring sebelah kanan. Wow, dahsyat sekali aromanya. Nafsu makan Raja langsung memuncak. Dilahapnya daging Kancil dengan rakus. Hanya seratus dua puluh detik, piring itu langsung kosong.

“Ternyata sangat lezat daging Kancil. Baru kali ini Saya merasakan daging yang begitu empuk dan sangaaaat enak. Hahaha,” celoteh Raja.

“Betul tuan,” jawab Ayam datar sambil tersenyum.

“Kini, giliran Saya makan daging Kerbau. Ah, pasti rasanya biasa-biasa saja. Sebenarnya Saya sudah cukup bosan makan daging Kerbau. Tapi tak apalah, perutku masih lapar. Hahaha.”

Dibukanya tutup piring sebelah kiri. Aroma yang keluar biasa-biasa saja. Bau kecut. Dagingnya hitam. Raja melihatnya pun enggan.

“Tolong tutup kembali. Saya muak melihatnya. Mengurangi nafsu makanku. Tolong hidangkan Saya daging Kancil lagi!” bentak Raja pada Ayam.

“Maaf tuan..stock habis. Tuan ‘kan tahu, bahwa Kancil sudah menjadi terhormat. Katanya komunitas Kancil mendapat status quo untuk tidak menjadi santapan tuan. Saya menghargai tuan. Dengan rasa hormat, kami hanya punya stock daging Kerbau,” dengan tenang Ayam menjelaskan pada Raja. Tibalah Ia untuk memainkan sandiwaranya.

“Hmmm..” terdengar gigi Raja saling beradu. Nafsunya tak tertahankan. Lidahnya menyisir dari ujung bibir kanan ke kiri.

“Begini tuan, Saya pun tahu bahwa hal yang paling disukai tuan adalah daging Kancil. Tapi tuan sendiri telah terasing dari apa yang tuan senangi. Kepintaran Kancil telah menyihir tuan. Membenamkan tuan ke arah keadaan ilusi. Kesadaran tuan dikendalikan oleh kelicikan Kancil. Membuat tuan tak berdaya, lemah dan hilang kontrol. Independensi tuan sebagai Raja luntur. Hanya tuan percaya kepintaran Kancil yang dikonstruksikan lewat buku, lembaga pendidikan dan media. Taukah tuan? Supaya Kancil yang punya daging lezat itu tidak menjadi santapan tuan, Ia mensiasatinya dengan mengorbankan Kerbau. Yang hanya memiliki daging hitam, kecut, sengir, sepa, dan tak beraroma. Manusia saja tidak selera memakan daging Kerbau. Dalam sudut pandang tertentu, justru Kerbau mempunyai tanda jasa yang luar biasa. Mengolah tanah untuk bercocok tanam menghasilkan makanan untuk seluruh makhluk hidup di bumi ini. Seharusnya tuan sadar itu? Nah, akhirnya politik Kancillah yang lancar. Mengibuli tuan untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Kesenangan tuan ternodai oleh hegemoni Kancil sialan itu. Apakah tuan mau, jika akhirnya tuan menjadi boneka hidup Kancil?” terang Ayam memberi pengertian pada Raja.

“Benar juga kamu Yam, selama beberapa tahun saya sampai tidak mengetahui siapa diri saya sebenarnya. Bahkan hal yang paling saya sukai dan senangi. Ini gara-gara Kancil ternyata.”

“Bayangkan tuan, jika generasi kita semua termakan oleh ide-ide Kancil. Kecerdasan dan kepintaran hanya diabdikan untuk kepentingan kekuasaan dan politik praktis semata. Massa binatang jelata akan dibiarkan terbelakang, bodoh, sengsara, dan miskin. Kesejahteraan bersama akan semakin jauh dari harapan. Kerusuhan dan kejahatan akan semakin marak terjadi.”

Raja kemudian berdiri diatas meja. Menyerukan sesuatu pada binatang yang hadir dalam pesta.

“Para rakyat binatang yang saya banggakan! Ternyata hutan sedang terancam sebuah marabahaya. Bentuknya sangat soft sekali. Dominasi ide-ide dan pengetahuan dari kecerdasan seekor binatang yang haus akan kekuasaan. Sehingga kepintaran dan kecerdasannya tidak diabdikan untuk rakyat binatang. Pengawal! Tangkap seluruh binatang yang bernama Kancil!!”

Dalam hati Ayam berkata,”Akhirnya Raja bisa dimainkan juga, terlebih karena Ia juga mempunyai watak pragmatis dan kuasa. Begitupun Kancil. Kemenangan akan tercapai jika kita benar-benar tulus dan ikhlas berjuang ditengah massa, bukan karena kekuasaan elitis atau kepentingan pragmatis semata.”

*** 

*) Penulis adalah anggota Teater si Anak FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

1 komentar:

Dodi Faedlulloh mengatakan...

Setelah si kancil hilang kekuasaannya,si ayam dan kawan-kawan tinggal berpikir bagaimana menjungkirkan sang Raja. *revolusi ga boleh setengah-setengah* hehe