15 September 2010

Merayakan Kemenangan Teks Terhadap Makna

Oleh : Johan Sitorus

Lebaran tiba. Umat muslim di Indonesia mendadak sibuk. Para remaja memilih berburu baju baru di stand-stand mall, ibu-ibu berbelanja kebutuhan pokok di pasar tradisional, sampai anak-anak kecil yang merengek untuk dibelikan berbagai macam bentuk petasan yang dijual bebas di pasar malam.

Nan jauh disana, para pemudik memenuhi jalan-jalan protokol dan rela berdesakan di dalam bus ataupun kereta api yang akan membawa mereka pulang ke kampung halaman. Tidak ketinggalan para pekerja di toko yang (terpaksa) lembur untuk melayani pembeli, yang gentayangan sampai larut malam.

Rutinitas yang terus berulang di penghujung tiap ramadhan, dimana peralihan arus barang dan manusia berlangsung sangat cepat. Dan coba tebak tempat yang paling ramai dikunjungi oleh umat muslim setelah hampir sebulan penuh menahan lapar dan haus: pusat perbelanjaan!


Seperti layaknya perayaan hari-hari besar lainnya, akhir ramadhan merupakan ajang bagi pedagang meraup untung sebesar-besarnya. Dari pasar skala kecil di pelosok desa sampai yang termegah di metropolitan. Dengan konsumen yang melibatkan hampir setiap lapisan masyarakat, baik yang tua maupun muda, kaya dan miskin, anak kecil sampai orang dewasa maka tidaklah mengherankan jika pada hari-hari menjelang lebaran bisa melambungkan angka penjualan barang berkali lipat dari hari biasa. Seperti ketika menghitung pahala yang dilipat gandakan di bulan ramadhan, kini giliran menghitung keuntungan dari perputaran uang dan komoditi yang begitu massif di penghujung bulan.

Semarak di pusat perbelanjaan tentu tidak lepas dari gencarnya serangan iklan di televisi yang pada bulan ramadhan juga tampil dengan nuansa islami. Sederetan iklan akan muncul di sela acara TV yang menghadirkan sinetron religi atau konser band dengan lagu-lagu religius, menghipnotis para penonton dengan menawarkan produk dengan embel-embel islami di belakangnya. Busana muslim model terbaru, sendal yang cocok dipakai saat lebaran, ayam goreng siap saji sebagai hidangan, kartu perdana seluler dengan konten islami, motor yang handal untuk dipakai mudik, sampai iklan sirup yang nikmat disajikan di hari yang fitri. Kapitalisme telah sepenuhnya mengintegrasikan spiritualitas ke dalam produk-produk yang dijajakan.

Di bulan agustus tahun ini ada dua buah momen yang tersaji. Perayaan kemerdekaan dan bulan puasa. Keduanya tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh media yang memiliki peranan vital dalam membentuk opini massa. Dalam perayaan 17 Agustus, isu yang paling santer terdengar adalah perseteruan Indonesia dengan Malaysia. Pembakaran bendera sampai pelemparan tinja ke Kedutaan Besar Malaysia menghiasi headline surat kabar dan media elektronik. Korban-korban yang berjatuhan akibat ledakan tabung gas beberapa hari sebelumnya tiba-tiba hilang tertelan slogan “Ganyang Malaysia!”. Model pengalihan isu seperti yang pernah dilakukan oleh Sukarno agar masyarakat lupa akan harga kebutuhan yang melonjak naik dan minyak tanah yang semakin langka. Seperti halnya hari kemerdekaan dengan nuansa patriotisme, ramadhan adalah bulan dengan nuansa religius.

Kini agama hadir di tengah masyarakat berupa imaji. Hal-hal fundamental telah tersisihkan dalam masyarakat dunia tontonan. Tentu saja pusat perbelanjaan sangat lihai memodifikasi dirinya agar sesuai dengan event yang sedang berlangsung. Desain ketupat lebaran ketika ramadhan, pohon natal dan sinterklas ketika natal, desain terompet dan balon warna-warni ketika tahun baru. Imaji yang dilekatkan pada produk telah memberikan nilai tambah, kapitalisme tidak hanya menjual produk, tapi juga imaji. Maka tidak heran bila spanduk-spanduk dengan tulisan “Selamat hari raya idul fitri” bisa dengan mudahnya ditemukan diantara deretan tulisan-tulisan besar “Diskon 70 %” di gerai belanja. Semua luluh lantak di hadapan mekanisme pasar yang mendesain dirinya dengan mekanisme jual beli.

Produk-produk yang ditawarkan di balik etalase elegan, menegaskan hubungannya dengan keyakinan para pembeli. Bukan karena kebutuhan akan busana muslim di hari raya, tapi yang diburu adalah sensasi religius yang diperoleh ketika konsumen membelinya.

Dalam masyarakat konsumer, esensi hidup hanya bisa ditemukan ketika melakukan aktifitas belanja. Ketidakmampuan memperoleh spiritualitas yang nyata di tempat tempat ibadah telah mendorong manusia (dalam hal ini umat Islam) untuk mencarinya di etalase mall maupun di gerai gerai belanja lainnya. Nilai-nilai spiritual memang telah dihancurkan oleh sistem ini sedemikian rupa hingga yang tersisa hanyalah simbol.

Lebaran kali ini akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya, panggung raksasa perputaran modal. Tempat segala macam barang yang telah diproduksi dilempar ke pasar untuk mengetahui sejauh mana barang-barang tersebut mampu terserap oleh pembeli. Ya, ramadhan eksis sebagai musim untuk berbelanja. Kembali ke fitrah berarti kembalinya manusia ke kodratnya di bawah kapitalisme: konsumen!

*) Sumber tulisan dari kontinum, dipublikasi ulang dengan tujuan untuk pencerahan dan pendidikan.

Tidak ada komentar: